Perbandingan Antara Aliran : Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dari perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri? Atau manusia sendiri? Atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariyah dan free-will yang diwakili Qodariyah dan Maturidiyah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persoalan im kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk?A. PERBUATAN TUHAN
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan
di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan
untuk melakukannya.
Aliran Mu'tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran
kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas
pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak
mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Ia
mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al Quran pun jelas
dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim.[1]
Ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukungpendapatnya
di atas adalah surat Al-Anbiya[21]: 23[2],
dan surat
Ar-Rum [30]: 8)[3]
Qadi Abd Al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah
mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat
yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu
ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata
berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu?[4]
Adapun ayat yang kedua, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak
pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan
melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi
serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.[5]
Dasar pemikiran tersebut serta konsep
tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan faham adanya
batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah
untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia.
Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu ha1, yaitu kewajiban
berbuat baik bagi manusia. Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik
(ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazillah memunculkan
faham kewajiban Allah berikut ini :
a. Kewajiban Tidak Memberikan
Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan
manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat
baik dan terbaik. Hal im bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan
Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi beban yang terlalu berat
kepada manusia.[6]
b. Kewajiban Mengirimkan
Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan
bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu
penting. Namun mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi
salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak
dapat mengetahui setiap apa, yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan
alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik
bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh
hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.[7]
c. Kewajiban Menepati Janji
(al-Wa’d) dan Ancaman (al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari
lima dasar
kepercayaan aliran Mu’tazillah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar
keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji
untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik; dan menjalankan ancaman
bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan
tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia.
Oleh karena itu adalah wajib bagi Tuhan.[8]
Aliran Asy'ariyah
Menurut aliran Asy'ariyah, faham kewajiban
Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana
dikatakan aliran Mu’tazillah, tidak dapat diterima karena bertentangan
dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali
ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
Dengan demikian, aliran Asy'ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai
kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nva terhadap makhluk.
Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak
wajib (ja'iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.[9]
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan
dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy'ariyah
menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asya'ari
sendiri, dengan tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat
meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia. AI-Ghazali pun mengatakan
hal ini dalam Al-Iqtisad.[10]
Walaupun pengiriman rasul mempunyai arti
penting dalam teologi,[11]
aliran Asy'ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu
bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban
apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik.
Sekiranya Tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan
mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik
dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Namun,
sesuai dengan faham Asy'ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
hal ini tak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja
yang dikehendaki-Nya. Kalau Tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat
kacau. Tuhan dalam faham aliran ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.[12]
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, aliran
Asy'ariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati
janji dan menjalankan ancaman yang tersebut Al-Qur'an dan Hadis. Di sini timbul
persoalan bagi Asy'ariyah karena dalam Al-Quran dikatakan dengan tegas
bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini,
kata-kata Arab "man, alladzina" dan sebagainya yang menggambarkan
arti siapa, diberi interpretasi oleh As-Asy'ari, "bukan semua orang tetapi
sebagian." Dengan demikian kata siapa dalam ayat "Barang
siapa menelan harta anak yatim piatu dengan Cara tidak adil, maka ia sebenarnya
menelan api masuk ke dalam perutnya,” mengandung arti bukan seluruh, tetapi
sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat
hukuman bukanlah semua orang, tetapi sebagian orang yang, menelan harta anak
yatim piatu. Adapun yang sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah,
Al-Asy'ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan menjalankan
ancaman.[13]
- Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat
perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
Bukhara, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik
saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi
manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai
kewajiban Tuhan.[14]
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki
pandangan yang sama dengan Asy'ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, Tuhan pasti
menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik,
walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.
Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai
dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah
bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.[15]
Aliran Sumarkand memberi batasan
pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya
kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji
tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.[16]
Mengenai memberikan beban kepada manusia di
luar batas kemampuannya (taklif ma la yutaq), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya.
Tuhan, kata Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang
tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Maturidiyah Samarkand
mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazillah. Menurut Syarh al-Fiqh
Al-Akbar, Al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran Asy’ariyah dalam
hal ini karena Al-Quran mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan
kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. Pemberian beban yang tak terpikul memang
dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand
bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan
bukan Tuhan.[17]
Adapun mengenai pengiriman rasul, aliran Maturidiyah
golongan Bukhara,
sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariyah. Pengiriman rasul
menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Sementara
itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang persoalan ini dapat
diketahui dari keterangan Al-Bayadi. Dalam Isyarat Al-Maram, Al-Bayadi
menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu’tazillah mengenai
wajibnya pengiriman rasul.[18]
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan
ancaman-Nya, aliran Maturidiyah Bukhara tidak sefaham dengan aliran
Asy'ariyah. Menurut mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, tidak mungkin
Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.
Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada
orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh
kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampunan kepadanya,
Tuhan akan memasukkannya ke dalam surga; dan jika Ia berkehendak untuk memberikan
hukuman kepadanya, Tuhan memasukkannya ke dalam neraka untuk sementara atau
selama-lamanya. Bukan tidak mungkin bila Tuhan memberi ampunan kepada
seseorang, tetapi tidak memberi ampunan kepada orang lain sungguhpun dosanya sama.[19]
Uraian Al-Bazdawi ini mengandung arti bahwa
Tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan
demikian, Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan
dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya bahwa Tuhan sekali-kali tidak
mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut aliran Asy'ariyah,
sebagaimana diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-janji-Nya. Sebaliknya,
menurut Maturidiyah golongan Bukhara,
Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang
berbuat baik.[20]
Golongan Samarkand dalam hal ini
mempunyai pendapat yang sama dengan kaum Mu’tazillah bahwa upah dan hukuman
Tuhan pasti terjadi kelak.[21]
B. PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia
bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut
Ja'd bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad
Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazillah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Akar dari masalah perbuatan
manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di
dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang
bersifat mutlak. Dari sini timbullah pertanyaan, sampai dimanakah manusia
sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam
menentukan perjalanan hidupnya? Apakah manusia diberi kemerdekaan dalam
mengatur hidupnya oleh Tuhan? Atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak
dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Aliran Jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah
ekstrim dan Jabariyah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya
sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau
seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak
sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.[22]
Bahkan, Jahm bin Shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan
bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Adapun, Jabariyah moderat mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah
yang dimaksud dengan kasab (acquisition).[23]
Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan),
tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi
pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.[24]
Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa
segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula
memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila
seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, semua itu berdasarkan
pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas,
manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas
keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah
dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu
faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Menurut bangsa Arab, dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun
dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu
hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.[25]
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa
tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada
perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin
Islam sendiri. Banyak ayat Al-Quran yang mendukung pendapat im, misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]:
29:
Artinya :
“Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau
berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir”
Dalam surat
Ali Imran [3]: 165 disebutkan yang artinya :
“Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud),
padahal telah mendapatkn kemenangan dua kali (pada Perang Badar) lalu kamu
berkata, ‘dari manakah bahaya ini? Katakanlah, sebabnya dari kesalahan kamu
sendiri.”
Dalam surat
Ar-Rad [13]: 11, disebutkan yang artinya :
“sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali
jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”
Dalam surat
An-Nisa [4]: 111 disebutkan yang artinya :
“Dan barang siapa melakukan suatu dosa, sesungguhnya ia melakukannya
untuk merugikan dirinya sendiri”
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia
mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut
faham Qadariyah atau free will. Menurut AI-Juba'i dan Abd Al-Jabbra,
manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang
berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah
atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istitha’ah) untuk
mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[26]
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan
pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.
Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau
berasal dari manusia sendiri? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa
daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah
tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan
manusia.[27]
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah
yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada
dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku
Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang
berkreasi untuk mengubah bentuknya.[28]
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan
perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu’tazilah tidak
mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan
diperbuat manusia. Pendapat inilah yang membedakannya dari penganut Qadariyah
murni.[29]
Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazilah
mengungkapkan ayat berikut:
Artinya :
"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya.
(Q.S. As-Sajdah [32]: 7)
Yang dimaksud dengan ahsana pada
ayat di atas, adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian,
perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan manusia
terdapat perbuatan jahat.[30]
Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan
atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan
dari Tuhan tidak akan ada artinya.[31]
Di samping argumentasi naqliah di atas,
aliran Mu’tazilah mengemukakan argumentasi rasional berikut ini:[32]
a. Kalau Allah menciptakan
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batallah
taklif syar’i. Hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah
dan larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak
terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b. Kalau manusia tidak bebas
untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul
dari konsep faham al-wa'd wa al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini
karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak
sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c. Kalau manusia tidak mempunyai
kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali.
Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi
kebebasan pilihan?
Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu’tazilah
berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada
dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi'i. Ajal inilah yang
dipandang Mu'tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya.
Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya
membunuh seseorang, atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal
yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.[33]
Aliran Asy'ariyah
Dalam faham Asy'ari, manusia
ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak
memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan
faham Jabariyah daripada dengan faham Mu’tazilah.[34]
Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy'ari, pendiri aliran Asy’ariyah,
memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb
Asy'ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan
perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang
memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb
ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam
perbuatanperbuatannya.[35]
Argumen yang diajukan oleh Al-Asy'ari untuk
membela keyakinannya adalah firman Allah:
Artinya :
"Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perhuat."
(Q.S. Ash-Shaffat
[37]: 96)
Wa ma ta'malun pada ayat di atas diartikan Al-Asy'ari
dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu buat. Dengan
demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu.
Dengan kata lain, dalam faham Asy'ari, yang mewujudkan kasb atau
perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.[36]
Pada prinsipnya, aliran Asy'ariyah
berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia
tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk
manusia dan menciptakan pula –pada diri manusia– daya untuk melahirkan
perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb
(perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan
perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan
manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.[37]
Aliran Maturidiyah
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih
dekat dengan faham Mutazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat
dengan faham Asy'ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia,
menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam
arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan.[38]
Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat
tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang
demikian porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mutazilah.
Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah
sebebas manusia dalam Mutazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah
Samarkand Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya.
Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak
mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta,
dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan
baginya.[39]
Referensi :
Ilmu Kalam, Dr. Abdul
Rozak, M, Ag., Dr. Rosihon Anwar, M.Ag.
[1]
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta,
1990, hlm. 89.
[2]
(Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan
ditanyai)
[3]
(Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya,
melainkan dengan (tujuan) yang benar)
[4]
Yusuf, op.cit., hlm. 90.
[5]
Ibid.
[6]
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
UI Press, Jakarta,
1986, hlm. 129.
[7]
Ibid., hlm. 131.
[8]
Ibid., hlm. 132-133.
[9]
Ibid., hlm. 129-130.
[10]
Ibid., hlm. 129. menurut faham Asyariyah, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan
dengan daya Tuhan dan bukan daya manusia. Ditinjau dari sudut faham ini.
pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidak-lah menimbulkan persoalan bagi
aliran Asy,ariyah. Manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang
mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya
tuhan yang tak terbatas.
[11]
Pengiriman rasul-rasul mempunyai arti yang besar bagi aliran Asy'ariyah
karena mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam
gaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup
keduniaan. Untuk mereka, seharusnya pengiriman rasul-rasul mempunyai
sifat-sifat wajib.
[12]
Nasution, op.cit., hlm. 131-132.
[13]
Ibid., hlm. 133.
[14]
Yusuf, op.cit., hlm. 91.
[15]
Nasution, op.cit., hlm. 128, 132, 133.
[16]
Ibid., hlm. 128-129.
[17]
Ibid., hlm. 130.
[18]
Ibid., hlm. 132.
[19]
Ibid., hlm. 133-134.
[20]
Kontradiksi yang terdapat dalam Al-Bazdawi ini mungkin timbul dari keinginannya
untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tetapi dalam pada itu
ingin pula mempertahankan keadilan Tuhan. Mengatakan bahwa Tuhan dapat
memasaukkan orang yang berbuat baik ke dalam beraka, adalah bertentangan sekali
dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang
berbuat jahat ke dalam surga, tidaklah bertentangan dengan rahmat Tuhan.
[21]
Nasution., op.cit., hlm. 34.
[22]
Ibid., hlm. 34.
[23]
Ibid., hlm. 35.
[24]
Harum Nasution, Encyclopedia Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 522.
[25]
Yusuf, op.cit., hlm. 25.
[26]
Nasution, Teologi…, hlm. 102.
[27]
Ibid., hlm. 103.
[28]
Muhammad Imarah, Al-Mu’tazillah wa Musykliah Al-Hurriyyah Al-Insaniyyah,
1998, Dar Asy-syura, Kairo, hlm. 80-81.
[29]
Irfan Abd Al-hamid, Dirasat fi Al-Firaq wa Al-Aqa’id Al-Islamiyyah,
Mathba’ah As’ad, Baghdad,
t.t., hlm. 278.
[30]
Nasution, Teologi…, hlm. 105.
[31]
Ibid., hlm. 125.
[32]
Al-Hamid, loc.cit.
[33]
Imarah, op.cit., hlm. 81.
[34]
Nasution, Teologi…, hlm. 106.
[35]
Ibid., hlm. 107.
[36]
Ibid.
[37]
Al-Hamid, op.cit., hlm. 279.
[38]
Nasution, Teologi…, hlm. 112.
[39]
Ibid., hlm. 114.
0 comments:
Posting Komentar