Jumat, 29 Juli 2011

Perbandingan Antara Aliran : Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia


Perbandingan Antara Aliran : Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia

Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran­-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dari perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri? Atau manusia sendiri? Atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariyah dan free-will yang diwakili Qodariyah dan Maturidiyah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persoalan im kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk?

A.     PERBUATAN TUHAN

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
  1. Aliran Mu'tazilah

Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al ­Quran pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim.[1] Ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukungpendapatnya di atas adalah surat Al-Anbiya[21]: 23[2], dan surat Ar-Rum [30]: 8)[3]
Qadi Abd Al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu?[4] Adapun ayat yang kedua, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.[5]
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban­-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu ha1, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang ­terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazillah memunculkan faham kewajiban Allah berikut ini :
a.      Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal im bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.[6]
b.      Kewajiban Mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa, yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.[7]
c.       Kewajiban Menepati Janji (al-Wa’d) dan Ancaman (al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazillah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu adalah wajib bagi Tuhan.[8]
  1. Aliran Asy'ariyah

Menurut aliran Asy'ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazillah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy'ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nva terhadap makhluk. Sebagaimana dikatakan Al-­Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja'iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.[9]
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy'ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-­Asya'ari sendiri, dengan tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia. AI-Ghazali pun mengatakan hal ini dalam Al-Iqtisad.[10]
Walaupun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi,[11] aliran Asy'ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Namun, sesuai dengan faham Asy'ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Kalau Tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau. Tuhan dalam faham aliran ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.[12]
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut Al-Qur'an dan Hadis. Di sini timbul persoalan bagi Asy'ariyah karena dalam Al-Quran dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab "man, alladzina" dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh As-Asy'ari, "bukan semua orang tetapi sebagian." Dengan demikian kata siapa dalam ayat "Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan Cara tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya,” mengandung arti bukan seluruh, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukanlah semua orang, tetapi sebagian orang yang, menelan harta anak yatim piatu. Adapun yang sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah, Al-Asy'ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.[13]

  1. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.[14]
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy'ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.[15]
Aliran Sumarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-­kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.[16]
Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas kemampuannya (taklif ma la yutaq), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan, kata Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Maturidiyah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazillah. Menurut Syarh al-Fiqh Al-Akbar, Al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran Asy’ariyah dalam hal ini karena Al-Quran mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-­kewajiban yang tak terpikul. Pemberian beban yang tak terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan.[17]
Adapun mengenai pengiriman rasul, aliran Maturidiyah golongan Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariyah. Pengiriman rasul menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Sementara itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dari keterangan Al-Bayadi. Dalam Isyarat Al-Maram, Al-Bayadi menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu’tazillah mengenai wajibnya pengiriman rasul.[18]
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, aliran Maturidiyah Bukhara tidak sefaham dengan aliran Asy'ariyah. Menurut mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampunan kepadanya, Tuhan akan memasukkannya ke dalam surga; dan jika Ia berkehendak untuk memberikan hukuman kepadanya, Tuhan memasukkannya ke dalam neraka untuk sementara atau selama-lamanya. Bukan tidak mungkin bila Tuhan memberi ampunan kepada seseorang, tetapi tidak memberi ampunan kepada orang lain sungguhpun dosanya sama.[19]
Uraian Al-Bazdawi ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya bahwa Tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut aliran Asy'ariyah, sebagaimana diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-janji-Nya. Sebaliknya, menurut Maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.[20]
Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan kaum Mu’tazillah bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi kelak.[21]

B.     PERBUATAN MANUSIA

Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja'd bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazillah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbullah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah manusia diberi kemerdekaan dalam mengatur hidupnya oleh Tuhan? Atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
  1. Aliran Jabariyah

Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat dalam masalah perbuatan manusia.  Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.[22] Bahkan, Jahm bin Shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Adapun, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition).[23] Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.[24]
  1. Aliran Qadariyah

Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa Arab, dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.[25]
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak ayat Al-Quran yang mendukung pendapat im, misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]: 29:
Artinya :
Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir
Dalam surat Ali Imran [3]: 165 disebutkan yang artinya :
Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal telah mendapatkn kemenangan dua kali (pada Perang Badar) lalu kamu berkata, ‘dari manakah bahaya ini? Katakanlah, sebabnya dari kesalahan kamu sendiri.
Dalam surat Ar-Rad [13]: 11, disebutkan yang artinya :
sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri
Dalam surat An-Nisa [4]: 111 disebutkan yang artinya :
Dan barang siapa melakukan suatu dosa, sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri
  1. Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut AI-Juba'i dan Abd Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[26]
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.[27] Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.[28]
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang membedakannya dari penganut Qadariyah murni.[29]
Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazilah  mengungkapkan ayat berikut:
Artinya :
"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya. (Q.S. As-Sajdah [32]: 7)
Yang dimaksud dengan ahsana pada ayat di atas, adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat.[30] Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.[31]
Di samping argumentasi naqliah di atas, aliran Mu’tazilah mengemukakan argumentasi rasional berikut ini:[32]
a.       Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batallah taklif syar’i. Hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b.      Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa'd wa al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c.       Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi kebebasan pilihan?
Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi'i. Ajal inilah yang dipandang Mu'tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya. Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya membunuh seseorang, atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.[33]
  1. Aliran Asy'ariyah

Dalam faham Asy'ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada dengan faham Mu’tazilah.[34] Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy'ari, pendiri aliran Asy’ariyah, memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy'ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan­perbuatannya.[35]
Argumen yang diajukan oleh Al-Asy'ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
Artinya :
"Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perhuat."
(Q.S. Ash-Shaffat [37]: 96)
Wa ma ta'malun pada ayat di atas diartikan Al-Asy'ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu buat. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-­perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam faham Asy'ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.[36]
Pada prinsipnya, aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula –pada diri manusia– daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.[37]
  1. Aliran Maturidiyah

Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mutazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy'ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan.[38] Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mutazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam Mutazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.[39]


Referensi :
Ilmu Kalam, Dr. Abdul Rozak, M, Ag., Dr. Rosihon Anwar, M.Ag.


[1] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990, hlm. 89.
[2] (Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai)
[3] (Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar)
[4] Yusuf, op.cit., hlm. 90.
[5] Ibid.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 129.
[7] Ibid., hlm. 131.
[8] Ibid., hlm. 132-133.
[9] Ibid., hlm. 129-130.
[10] Ibid., hlm. 129. menurut faham Asyariyah, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan daya manusia. Ditinjau dari sudut faham ini. pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidak-lah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy,ariyah. Manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya tuhan yang tak terbatas.
[11] Pengiriman rasul-rasul mempunyai arti yang besar bagi aliran Asy'ariyah karena mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniaan. Untuk mereka, seharusnya pengiriman rasul-rasul mempunyai sifat-sifat wajib.
[12] Nasution, op.cit., hlm. 131-132.
[13] Ibid., hlm. 133.
[14] Yusuf, op.cit., hlm. 91.
[15] Nasution, op.cit., hlm. 128, 132, 133.
[16] Ibid., hlm. 128-129.
[17] Ibid., hlm. 130.
[18] Ibid., hlm. 132.
[19] Ibid., hlm. 133-134.
[20] Kontradiksi yang terdapat dalam Al-Bazdawi ini mungkin timbul dari keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tetapi dalam pada itu ingin pula mempertahankan keadilan Tuhan. Mengatakan bahwa Tuhan dapat memasaukkan orang yang berbuat baik ke dalam beraka, adalah bertentangan sekali dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang berbuat jahat ke dalam surga, tidaklah bertentangan dengan rahmat Tuhan.
[21] Nasution., op.cit., hlm. 34.
[22] Ibid., hlm. 34.
[23] Ibid., hlm. 35.
[24] Harum Nasution, Encyclopedia Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 522.
[25] Yusuf, op.cit., hlm. 25.
[26] Nasution, Teologi…, hlm. 102.
[27] Ibid., hlm. 103.
[28] Muhammad Imarah, Al-Mu’tazillah wa Musykliah Al-Hurriyyah Al-Insaniyyah, 1998, Dar Asy-syura, Kairo, hlm. 80-81.
[29] Irfan Abd Al-hamid, Dirasat fi Al-Firaq wa Al-Aqa’id Al-Islamiyyah, Mathba’ah As’ad, Baghdad, t.t., hlm. 278.
[30] Nasution, Teologi…, hlm. 105.
[31] Ibid., hlm. 125.
[32] Al-Hamid, loc.cit.
[33] Imarah, op.cit., hlm. 81.
[34] Nasution, Teologi…, hlm. 106.
[35] Ibid., hlm. 107.
[36] Ibid.
[37] Al-Hamid, op.cit., hlm. 279.
[38] Nasution, Teologi…, hlm. 112.
[39] Ibid., hlm. 114.

0 comments: