Jumat, 28 Oktober 2011

Kaidah-Kaidah Pengambilan Hukum


Kaidah-Kaidah Pengambilan Hukum

A.    Pendahuluan

Ta’rif Ushul Fiqh yang lengkap ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum. Hukum-hukum tersebut ada sumbernya, yaitu Al-Qur’an, hadits, Ijma’, dan Qiyas. Karena itu yang dimaksud Ushul Fiqh ialah sumber-sumber (dalil-dalil) tersebut dan bagaimana cara menunjukkannya kepada hukum secara ijmal. Ijma’ ialah dalil yang tidak rinci untuk sesuatu maskud hukum tertentu. Jadi hanya merupakan dalil semata-mata yang masih memerlukan keterangan, misalnya :

             a.       Suatu perintah menunjukkan wajib

(مطلق الأمر للوجوب حقيقة)

             b.      Suatu larangan menunjukkan haram

(مطلق النهي للتحريم حقيقة)

Akan tetapi, bila suatu hukum telah ditentkan untuk satu hukum disebut tafsil, seperti perintah wajib shalat fardlu. Di sini telah ditentkan hukum wajib shalat, yang berasal dari firman Allah :


Dan dirikanlah olehmu sholat. (QS. Al-Baqarah : 43)

Masalah yang dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh, ialah cabang-cabang hukum syara’ dengan maksud untuk diselidiki apakah wajib, atau sunnah dan larangan Allah apakah menunjukkan haram atau makruh. Oleh karena itu, baik yang wajib maupun yang sunnah, keduanya merupkan perintah Allah. Sedangkan haram atau makruh, merupakan larangan Allah. Agar praktis dan operasional maka penulisan makalah ini dirumuskan dalam bentuk perrtanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

           1.      Apa saja bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah Amr?

           2.      Apa saja bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah Nahi?      




Read more

Selasa, 25 Oktober 2011

Sejarah Kemunduran Pendidikan Islam

Sejarah Kemunduran Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai bagian dari khazanah masa lalu, Pendidikan Islam yang mulai dirintis sejak turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW pun mengalami pasang dan surut seiring dengan perjalanan panjangnya melintasi ruang dan waktu hingga masa sekarang. Layaknya peristiwa sejarah yang lain, pasang-surutnya Pendidikan Islam ini sangat bergantung pada bagaimana pelaku sejarah pada masa itu malaksanakan proses pendidikan.
Pendidikan Islam yang mulai dibina oleh Nabi Muhammad SAW di mekah yang kemudian dikembangkan di madinah terus mengalami pekembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat hingga mencapai suatu masa yang oleh para ahli sejarah dikatakan sebagai puncak kejayaan pendidikan Islam. Masa ini dimulai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah formal di berbagai pusat kebudayaan Islam. Hal ini dipengaruhi oleh jiwa dan semangat kaum muslimin pada waktu itu yang sangat dalam pengahayatan dan pengamalannya terhadap ajaran Islam.
Namun pendidikan Islam yang pernah mengalami masa puncak tersebut, lambat laun mulai mengalami kemerosotan jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Peristiwa ini belangsung sejak jatuhnya kota Baghdad dan Granada di samping beberapa faktor yang lain.
B.  Rumusan Masalah
       Dalam pembahasan kali ini ada beberapa rumusan masalah yang akan kami ajukan, yakni :
1.  Kapan pendidikan islam mulai menunjukkan kemunduruan ?
2.  Faktor apa yang menyebabkan kemunduran ?
C.  Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini selain sebagai pengetahuan adalah agar kita lebih menghargai warisan kebudayaan Islam labih-lebih yang terkait dengan masalah pendidikan. Selain itu, yang lebih penting bagi kita adalah menemukan cara untuk melestarikan warisan budaya tersebut dan mengembangkannya agar Islam kembali pada masa kejayaannya yang penah diraih dulu.
 
BAB II
PEMBAHASAN
KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM

(Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyyah)

A.    Sekilas Tentang Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah

A.1.    Sekilas Tentang Dinasti Umayyah
Dinasti Umayyah adalah kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Mu'awiyah ibn Abi Sofyan pada tahun 41 H/661 M. tahun ini disebut dengan 'Aam al-Jama'ah karena pada tahun ini semua umat islam sepakat atas ke-kholifah-an Mu'awiyah dengan gelar Amir al-Mu'minin[1]. Menurut catatan sejarah dinasti Umayyah ini terbagi menjadi dua periode, yaitu :
1.  Dinasti Umayyah I di Damaskus (41 H/661 M – 132 H/750 M), dinasti ini berkuasa kurang lebih selama 90 tahun dan mengalami pergantian pemimpin sebanyak 14 kali. Diantara kholifah besar dinasti ini adalah Muawiyyah ibn Abi Sofyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M).[2] Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Akhirnya, pada tahun 750 M, dinasti ini digulingkan oleh dinasti Abbasiyyah.[3]
2.  Dinasti Umayyah II di Andalus/Spanyol (755 – 1031 M), kerajaan Islam di Spanyol ini didirikan oleh Abd al-Rahman I al-Dakhil. Ketika Spanyol berada di bawah kekuasaan dinasti Umayyah II ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan. Terutama pada masa kepemimpinan Abd al-Rahman al-Ausath, pendidikan islam menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini desebabkan  karena sang kholifah sendiri terkenal sebagai penguasa nyang cinta ilmu. Ia mengundang para ahli dari dunia islam lainnya ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di sana menjadi kian semarak (Badri Yatim, 2003: 95).
Awal dari kehancuran dinasti Umayyah II di Spanyol ini bermula ketika Hisyam II (400 H/1009 M – 403 H/1013 M) naik tahta dalam usia 11 tahun. Pada tahun 981 M khalifah menunjuk Ibn Abi 'Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri akibat beberapa kekacauan. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M Dewan Mentri menghapus jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah menjadi beberapa negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu[4].
A.2.  Sekilas Tentang Dinasti Abbasiyyah
Dinasti Abbasiyyah adalah dinasti yang didirikan oleh salah satu keturunan al-Abbas paman Nabi SAW, yaitu Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dinasti ini berkuasa dalam rentang waktu yang sangat panjang, yakni mulai tahun 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M. Para sejaraawan biasanya membagi dinasti ini menjadi lima periode, yaitu :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), periode ini disebut sebagai periode pengaruh Persia pertama.
2.  Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), periode ini disebut sebagai masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), preiode ini disebut periode pengaruh Persia kedua. Pada masa ini dinasti Abbasiyyah dipegang oleh Bani Buwaih.
4. Periode Keempat (447 H/1005 M – 590 H/1194 M), disebut dengan masa pengaruh Turki kedua. Pada masa ini dinasti Abbasiyyah dipegang oleh Bani Seljuk.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), pada masa ini bani Abbasiyyah kembali memegang kekuasaan lagi, tetapi hanya efektif disekitar kota Baghdad.[5]
Menurut W. Montgomery Watt, sebagaimana dikutip oleh Dr. Badri Yatim, Dinasti Abbasiyyah mencapai puncak kejayaannya ketika berada di bawah pimpinan khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya yaitu al-Ma'mun (813-833 M). Terutama pada masa al-Ma'mun – yang dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan – gerakan penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Selain itu, beliau juga benyak mendirikan sekolah yang salah satunya adalah pembangunan Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang sangat besar (Badri Yatim, 2003: 52).
Prestasi menggemilangkan yang diraih islam pada masa dinasti Abbasiyyah hanya terjadi pada periode pertama saja. Adapun pada periode selanjutnya, pemerintahan dinasti ini mulai menurun terutama dalam bidang politik. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang telah dicapai oleh dinasti Abbasiyyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa pada periode selanjutnya untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Hal ini ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah al-Mu'tashim untuk mengambil kendali pemerintahan.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak abad ke-9. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat meraka benar-benar independent. Pengangkatan tentara Turki ini dalam perkembangan selanjutnya ternyata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga pada periode ketiga daulah Abbasiyyah berada di bawah kekuasan Bani Buwaihi. Kekuatan politik Bani Buwaihi tidak bertahan lama. Setelah generasi pertama, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka. Masing-masing merasa berhak atas kekuasaan pusat. Perebutan kekuasaan ini merupakan salah satu faktor internal yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Buwaihi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Abbasiyyah jatuh ke tangan Bani Seljuk (447 H/1055 M – 590 H/119 M). Namun, karena timbul konflik-konflik dan peperangan diantara mereka, kekuasaan mereka pun melemah, sehingga kekuasaan politik khalifah Abbasiyyah menguat kembali terutama untuk wilayah irak. 
Setelah kekuasaan Bani Seljuk atas Bani Abbasiyyah berakhir, khilafah Islamiyyah kembali dipegang oleh Bani Abbasiyyah (590 H/1199 M – 656 H/1258 M), tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya saja. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurluluhkan Baghdad tanpa ada perlawanan yang berarti.[6]



[1] Lihat Mana' al-Qatthon, Tarik al-Tasyri' al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. 4, tanpa tahun) hlm. 257.
[2] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. RajaGrafindon Persada, cet. 14, 2003) hlm. 43.
[3] Ibid., hal. 47
[4] Ibid, hlm. 97
[5] Ibid, hlm. 49-50
[6] Lihat, Dr. Badri Yatim, op. cit., hlm. 61 – 80,. Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, cet. 3, hlm. 4 – 9.
Read more

Senin, 24 Oktober 2011

Konsep Pendidikan Islam

Konsep Pendidikan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

Al Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang dipedomani oleh umat Islam hingga akhir masa. Al qur’an memberikan bimbingan kepada umat manusia dengn untuk melaksanakan seruannya melalui dialog dengan manusia sesuai dengan stratanya. Al Qur’an tidak membedakan stratifikasi dan variasi kondisi mitra dialognya. Terhadap mereka-mereka itu al Qur’an berupaya menunjukkan mereka kepada tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupannya. Oleh karena itu al Qur’an sering mensifati dirinya sebagai petunjuk, peringatan, nasehat dan lain sebagainya. Ini merupakan penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Implikasi Konsep Pendidikan Al Qur’an dalam Proses Belajar-Mengajar

Secara sunatullah, jiwa manusia tercita dengan memiliki dua potensi dan kecenderungan yang saling berlawanan, taqwa disatu sisi, dan fujur disisi lain. Oleh karena itu manusia mempunyai potensi yang sama untuk melakukan kebaikan dan kejahatan, atau untuk menerima petunjuk maupun menerima kesesatan. Hal ini sebagaimana diungkapkan firman Allah dalam QS Al-Syams : 7 – 8 yang artinya :
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

Suatu hal yang tidak bisa diterima akal sehat, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya tidak mampu berbuat kebajikan dan menjauhi kejahatan, karena ia merasa tidak pantas untuk melakukan kebajikan. Sementara, al Qur’an menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat jahat, tinggal manusianya yang berperan untuk memilih mana yan i menangkan, berbuat baik atau memilih kejelekan.

Jiwa manusia bergejolak mengalami pasang surut, sesuai dengan intensitasnya dan kecenderungan yang dipilihnya. Oleh karena itu ada suatu hal yang harus diperhatikan jika ia mengalami pasang, maka manusia sebagai empunya (jiwa) hendaknya ia mengencangkan ikatan semangatnya agar ia selalu dalam kebajikan, dan jika ketika ia dalam kondisi surut, maka ia harus mengunci rapat-rapat pintu-pintu setan yang akan masuk menghembuskan isu kesesatan dalam dirinya.

B.     Penafsiran Para Mufassirin

Setelah itu, Allah melanjutkan sumpah-Nya dengan mengingatkan tentang jiwa manusia – dan inilah yang dituju – agar menyadari dirinya dan memperhatikan makhluk yang disebut oleh ayat-ayat yang lalu. Allah berfirman : Dan Aku juga bersumpah demi jiwa manusia serta penyempurnaan ciptaan-nya sehingga mampu menampung yang baik dan yang buruk lalu Allah mengilhaminya yakni memberi potensi dan kemampuan bagi jiwa itu untuk menelusuri jlan kedurhakaan dan ketakwaannya. Terserah kepada-Nya yang mana di antara keduanya yang dipilih serta diasah dan diasuhnya.

Kata (arab) fa alhamaha terambil dari kata (arab) al-lahm yakni menelan sekaligus. Dari sini lahir kata (arab) ilhaam/ilham. Memang ilham atau intuisi datang secar tiba-tiba tanpa disertai analisis sebelumnya, bahkan kadang-kadang tidak terpikirkan sebelumnya. Kedatangannya bagaikan kilat dalam sinar dan kecepatannya, sehingga manusia tidak dapat menolknya, sebgaimana tak dpat pula mengundang kehadirannya. Potensi ini ada pada setiap insan, walaupun peringkat dan kekuatannya berbeda antara seseorang dengan yang lain.

Kata ilham dipahami dalam arti pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya, tapa diketahui secara pasti dari mana sumbernya. Ia serupa dengan rasa lapar. Ilham berbeda dengan wahyu, karena wahyu walaupun termasuk pengetahuan yang diperoleh namun ia diyakini bersumber dari Allah SWT.

Ibn ’Asyur memahami kata alhamaha dlm arti anugerah Allah yang menjadikan seseorang memahami pengetahuan yang mendsar, serta menjangkau hal-hal yang bersifat aksioma bermula dengan keterdorongan naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti keinginan bayi menyusu, dorongan untuk menghindari bahaya, dan lain-lain hingga mencapi tahap awal dari kemampuan meraih pengetahun yang bersifat akliah. 
Thabathaba’i menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”mengilhami jiwa” adalah penyamapaian Allah kepada manusia tentang sifat perbuatan apakah dia termasuk ketakwaan atau kedurhakaan, setelah memperjelas perbuatan dimaksud dari sisi substansinya sebagai perbuatan yang dapat menampung ketakwaan atau kedurhakaan. Memakan harta misalnya adalah suatu perbuatan yang dapat berbentuk memakan harta anak yatim atau memakan harta sendiri. Yang pertama dijelaskannya bahwa itu dalah kedurhakaan dan yang kedua yakni memakan harta sendiri yang halal maka itu adalah ketaqwaan. Pelampiasan nafsu biologis juga demikian. Ini adalah substansi suatu perbuatan. Allah yang mengilhami manusia hal itu, dan Allah juga mengilhaminya bahwa apabila perbuatan tersebut didahului oleh ikatan pernikahan yang sah, maka dia adalah zina yang merupakan kedurhakaan. Demikian llah mengilhami manusia apa yang dilakukannya dari aneka perbuatan dan Dia pula yang mengilhaminya sehingga mampu membedakan mana yang termasuk kedurhakaan mana pula yang merupakan ketakwaan. Demikian lebih kurang penjelasn Thabathaba’i.
Read more

Minggu, 23 Oktober 2011

Makalah Psikologi Belajar

Makalah Psikologi Belajar

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bermunculan pula berbagai teori tentang belajar, teori belajar ini dapat dipahami sebagai prinsip umum yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar, maka psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang secara pesat.

Para ahli ilmu jiwa, dalam usahanya memahami, menduga dan mengontrol tingkah laku, terutama pada manusia, telah menghasilkan sejumlah teori belajar masing-masing teori saling berbeda, dan akibat dari perbedaan ini akan sangat berpengaruh terhadap praktek pendidikan.

Masing-masing kelompok teori belajar ini akan diuraikan dalam makalah ini sebagai wawasan bagi mahasiswi khususnya, yang selalu haus dengan ilmu pengetahuan, dan bermanfaat bagi semua tenaga pendidikan pada umumnya. Amin…

Ingat ! kesuksesan seseorang itu tidak terlepas dari peran dan pertolongan Allah, oleh karena itu ingat lah selalu kepada Allah.

B.     Rumusan Masalah

Apa sajakah teori-teori tentang belajar itu ? Sedikit banyak kami akan mengulas tentang tinjauan teoritis tentang belajar.

Read more