Senin, 20 Mei 2013

Al-Khawarij

A.      AL – KHAWARIJ
1. Latar Belakang Kemunculan Khawarij
            Secara etimologis kata Khawarij berasal dari bahasa Arab kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak[1]. Berdasarkan etimilogis pula, Khawarij juga berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam[2].
Dalan terminologi Ilmu Kalam, yang dimaksud dengan Khawarij adalah suatu sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib  yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang siffin pada tahun 37 H/ 648 M dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah[3] Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani,  bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam[4] yang telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa khulafaurrasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik.
            Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana, baik dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.
Pada masa-masa perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat. Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok jazirah Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai tempat dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan pandangan di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.
Awal mulanya kaum Khawarij adalah suatu gerakan kaum muslimin dalam bidang politik yang kemudian beralih pada bidang teologi. Mereka adalah orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali, akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, menerima tahkim yang sangat mengecewakan[5], sebagaimana mereka membenci Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali sebagai khalifah yang sah. Mereka menyatakan konfrontasinya dengan fihak Mu’awiyah. Mereka juga menuntut agar Sayyidina Ali mengakui kesalahannya karena mau menerima tahkim. Jika Sayyidina Ali mau bertaubat, maka mereka bersedia untuk bergabung kembali kebarisan Ali untuk melawan Mu’awiyah. Namun bila tidak, orang-orang khawarij akan menyatakan perang kepadanya dan kepada Mu’awiyah.
            Kemudian awal mula penyebab kemunculan kaum Khawarij adalah kekecewaan mereka terhadap keputusan Ali yang menerima tahkim yang sangat mengecewakan dan berbau kelicikan dari Mu’awiyah. Sehingga Sayyidina Ali mendapatkan kekalahan dalam perang Siffin. Namun karena Ali menerima perjanjian damai yang ditawarkan oleh pihak Mu’awiyah, maka Sayyidina Ali berbalik memperoleh kekalahan yang seharusnya mereka dapatkan dan telah berada di depan mata.
            Ali sebenarnya telah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Mu’awiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu, namun karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’at bin Qois, Mas’ud bin Fudaki At-Tamami, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan komandan pasukan perang untuk menghentikan peperangan[6].
            Setelah menerima ajakan damai tersebut, Mu’wiyah mengirimkan Amr bin Al-Asy sebagai utusannya untuk melakukan perundingan perdamaian. Demikian juga Ali yang mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, namun orang-orang Khawarij  menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari golongan Ali sendiri. Sehingga pada akhirnya Ali mengirimkan Abu Musa Al-Asy’ari sebagi delegasi juru damainya, dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.
            Keputusan dari tahkim yang dilakukan oleh pihak Ali dan Mu’awiyah mengakibatkan diturunkannya Ali dari jabatan Khalifah, dan Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah sebagai pengganti Ali. Hasil tahkim yang di umumkan ini tidak lepas dari adanya kecurangan dan tipu muslihat dari pihak Mu’awiyah yang menyelewengkan hasil kesepakatan tahkim yang dilakukan secara tertutup dari kaum muslimin. Dengan menerimanya Ali dengan hasil tahkim yang penuh dengan kecurangan dan mengecewakan ini, kontan membuat orang-orang Khawarij kecewa dan menyatakan diri untuk keluar dari barisan Ali karena menganggap Ali tidak menggunakan hukum Allah dalam mengambil keputusan. Sehingga menyebabkan sebutan kafir bagi Ali dan Mu’awiyah, serta mereka kontan memberikan pernyataan perang melawan keduanya.
            Setelah orang-orang Khawarij menyatakan keluar dari golongan Ali, kemudian dengan jumlah pengikut sekitar 12.000 orang mereka pergi menuju Hurura. Oleh sebab itu mereka disebut juga dengan nama Hururiyah. Dalam perjalanan ke Hurura mereka dipandu oleh Abdullah Al-Kiwa. Dan di hurura inilah mereka melanjutkan perlawanan mereka terhadap Ali dan Mu’awiyah dengan mengangkat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi[7].
2. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij
Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka berusaha untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini[8] :
1.        Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
2.         Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
3.   Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
4.  Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
5.         Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
6.    Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
     Selain pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki pandangan atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
1.        Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
2.         Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri islam.
3.         Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
4.         Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka).
5.         Amar ma’ruf nahi munkar.
6.         Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan.
7.         Qur’an adalah makhluk,
8.      Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar). 
   Bila dianalaisis lebih mendalam, ternyata doktrin yang dikembangkan oleh kaum Khawarij dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yakni politik, teologi[9], dan sosial. Dari ketiga doktrin tersebut, doktrin sentral aliran Khawarij adalah terletak pada bidang politik. Hal ini terbukti bahwa mereka memiliki pemikiran yang radikal dalam bidang politik. Namun, dari sifat yang radikal tersebut membuat mereka menjadi fanatik dalam manjalankan agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang Khawarij adalah orang yang bersifat keras dalam menjalankan ajaran agama.
B.     AL – MURJI’AH
1.     Asal-usul Kemunculan Murji’ah
            Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pangampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah  artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
            Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
            Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
            Rohison Anwar dan Abdul Razak, dalam bukunya mengatakan bahwa ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Kelompok ini diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.
            Dilain fihak, gagasan irja’ diperkirakan muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang dibawa oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiah sekitar pada tahun 695M. Dalam teori ini dikisahkan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah dunia islam dikoyak oleh pertikaian sipil karna telah terjadi perpecahan umat. Menanggapi hal ini Al-Hasan kemudian memberikan sikap politik sebagai upaya penanggulangan perpecahan uma islam tersebut, sehingga kemudian ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang dibawa oleh Al-Mukhtar, yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari kaum Khawarij yang menolak kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan dari pendosa.
            Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukan lah tahkim atas usulan Amr bin Asy, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Pada saat itu kelompok ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok yang mendukung dan menentang Ali.  Kelompok yang menentang Ali pada akhirnya keluar dan membentuk sebuah kelompok bernama Murji’ah. Golongan yang keluar dari barisan Ali ini menganggap bahwa keputusan tahkim tidak berdasarkan hukum Allah, melainkan bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat yang kemudian disebut dengan Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Allah akan mengampuninya atau tidak.
2. Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah
            Doktrin-doktrin aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
            Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
            Berdasarkan itu, maka inti faham atau doktrin-doktrin Murji’ah adalah sebagai berikut :
1.      Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
2.      Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.
Rohison dan Abdul Rozak dalam bukunya mengatakan bahwa gagasan irja banyak diaplikasikan kedalam bidang politik dan teoligi. Dalam bidang politik kaum Murji’ah banyak dikenal sebagai The Queietists (kelompok bungkam) karena sikap netral mereka pada permasalahan politik dan sikap mereka yang selalu diam dalam persoalan politik.
            Dalam bidang teologi, pemikiran mereka cenderung mengacu kepada permasalahan iman, kufur, dosa besar, dosa ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, ada yang kafir di generasi awal islam, tobat, hakekat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan.         
C.    QODARIYAH
1.      Asal Usul Kemunculan Qodariyah
Qodariyah berasal dari kata qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan[10], secara terminologi qodariyah adalah aliran yang percaya bahwa tindakan manusia tidak diinvestasikan oleh Tuhan[11]. Kaum Qodariyah memiliki keeyakinan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dunia ini murni berdasarkan atas kemampuan dan kekuatan manusia itu sendiri, lepas dari pegaruh Tuhan
Kapan Qodariyah muncul dan siapa tokoh-tokhnya? Hal ini merupakan permasalahan yang masih diperselisihkan, menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qodariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma`bad Al-Juhani dan Ghailan Adilan Ad-Dimasyky[12]. Ma`bad adalah seorang taba`i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Bashri[13]. Sedangkan Ghailan adalah orator dari Damasykus yang Ayahnya merpakan maula Utsman bin Affan.
2.      Doktrin Qodariyah
Qodariyah Mempunyai doktrin yang sama Mu`tazilah, yaitu percaya bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan, sehingga seraing kali orang menamakan Qodariyah dengan Mu`tazilah,. Manusia memiliki daya selama dia masih hidup, dan selama itu dia berkuasa atas paerbuatannya[14].
D.    JABARIYAH
1.    Asal-usul Pertumbuhan  Jabariyah
Kata Jabariyahberasal dari kata jabara yangberarti memaksadan mengharuskan sesuatu. Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al- jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. dengan kata lain manusia mengerjakan  perbuatannya dalam keadaan terpaksa .
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan.dalam sejarah teologi Islam Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’Dirrar.
sebenarnya faham al-jabar sudah ada sejak awal periode Islam. Namun al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan. baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah. tetapi ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermadzhab Qurra dan Kristen yang bermadzhab yacobit. namun tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga dikalangan umat Islam. di dalam al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini, misalnya:
ما كا نوا ليؤمنواالا أ ن يشاء الله
Artinya :
“ Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendak “
(Q.S. Al-An’am:111)
والله خلقكم وما تعملون
Artinya :
“Allah menciptakan kamu dan apa  yang yang kamu perbuat.”
(Q.S.Ash-Shoffat:96)
Dari ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah, dan mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir aliran jabariyah masih ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada.


[1] Abdu Al Qohir bin Thohir bin Muhammad Al-Baghdady, Al-Farq bain Firaq. Al-Azhar, Mesir, 1037,hlm. 75.
[2] Ali Mushtafa A-Ghuraby, tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah wan nasy`atu `Ilmil Kalam, Haidah Al-Azhar, Mesir1985, hlm. 264.
[3] Harun Nasution, Teologi Uslam: Aliran Sejarah Analisa Peerbandingan, UI. Press, 1985, hlm. 11.
[4]Abi Fath Muhmmad Abd Jarim As-Syahrastany, Al-Milal wa An Nihal, Dar Al-Fikr , Libanon, Beirut, hlm. 114
[5]Dr. Rosihon Anwar, Dr. Abd Rozak, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm. 50.
[6]Ibid
[7] Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam .........., hlm. 51.
[8]Ibid
[9]Dr. Rosihon, Ilmu Kalam ......, hlm. 52.
[10]Luwis Ma`luf Al-Yusu`i, Al-Munjid, Bairut, 1945, hlm. 436.
[11]Dr. Rosihon Anwar, Dr. Abd Rozak, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm. 70.
[12]Ahmad Amin, Fajar Al-Islam, Maktabah An=Nahdlah, Kairo, 1924, hlm. 284.
[13]Ibid
[14]Dr. Rosihon Anwar, Dr. Abd Rozak, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm. 73.
Read more

Salafiyah

     A.   Pengertian Gerakan Salafi
Banyak definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi salaf. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, terkadang salaf dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’I, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke 3 H., dan parapengikutnya pada abad ke 4 yang terdiri atas para muhandisin. Sedangkan menurut As- Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil dan tidak menggunakan faham tasybih. Sedangkan menurut Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Alloh yang menyerupai segala -sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[1]
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyyah berkembang terutama di Baghdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan Hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerussalem dan Damaskus. Di Damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkanserangan Mongol atas Irak. Di antara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yait keluarga Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah adalah seorang ulama besar penganut Imam Hanbali yang kuat.[2]
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristi ulama salaf atau salafiyyah sebagai berikut.[3]
  1. Lebih mendahulukan riwayat (naql) dari pada dirayah (aql)
  2. Dalam persoalan pokok agama (ushuluddin) dan persoalan cabang agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan As-sunah.
  3. Mereka mengimani Alloh tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
  4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Apabila melihat karateristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur diatas, tokoh-tokoh berikut ini dapat dikategorikan sebagai ulama salaf, yaitu Abdullah Abbas (68), Abdulloh Umar (74), Umar Abdul Aziz (101), Az-Zuhri (124), Ja’far As-Shodiq (148), dan para imam madzhab empat. Menurut Haru Nasution, secara kronologis salafiyyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu, arannya dikembangkan Imam ibn Taimiyyah, kemudian disuburkan oleh Imam bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam seara sporadis. Di Indonesia sendiri gerakan ini berkembang lebih banyak dikembangkan oleh gerakan Persatuan Isam (Persis), atau Muhammadiyah.[4]
Teori Ibn Hanbal tentang ayat-ayat mutasyabihat lebih condong menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan ta’wil, tertama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan da ayat-ayat mutasybihat. Contohnya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun ke langit dunia) dan ru’yah (orang-oarang beriman melihat Tuhan di dunia) beliau haya menjawab ‘’ kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya ‘’. Dan tentang status Al-Qur’an Ibn Hanbal berpendapat Al-Qur’an tidak bersifat qodim tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qodim di samping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan orang yang menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besaryang tidak diampuni Alloh.[5]  
Sedangkan Ibn Taimiyyah tidak menyetujui penafsira ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya ayat dan hadist yang menyangkut sifat-sifat Alloh harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya. Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyyah dalam masalah teologi tidak dapat diperoleh dengan metode filsafat maupun teologi.[6]
Namun, dalam buku Syaikh Idahram pada dasarnya setiapmuslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi SAW. Dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya tabi’in dan tabi’at-tabi’in. Sebab, maksud dari salafi itu sendiri sebenarnya adalah Islam. Begitu juga dengan pengakuan kesalafian seseorang, tidak pernah dapat menjamin bahwa yang bersangkutan benar-benar telah mengikuti jejak para as-salafu ash-shohih.[7]
    B.   Pengertian gerakan salafi wahabi
Sesungguhnya gerakan salafi yang akhir-akhir ini sering muncul adalah istilah lain yang dahulu di kenal dengan sebutan  “wahabi”.[8] Kedua istilah ini ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Sewaktu di jazirah arab mereka lebih dikenal dengan “wahabiyah hanbaliyah”. Namun, ketika di ekspor ke luar saudi, mereka mengatas namakan dirinya dengan “salafi”, khususnya setelah bergabungnya muhammad nashiruddin al-albani, yang mereka pandang sebagai ulama ahli hadits.
Salafi wahabi ini pengikut muhammad ibn abdul wahab yang lahir di uyainah, najd.[9] Saudi arabia tahun 1115 Hijriah atau 1730 masehi dan wafat tahun 1206 hijriyah atau 1792 masehi. Pendiri wahabi ini sangat mengagumi ibn taimiyah, seorang ulama kontroversil yang hidup di abad 8 hijriah dan banyak mempengaruhi cara berfikirnya. Ia belajar ilmu agama dasar bermadzhab hambali dari ayahnya yang juga seorang Qodhi. Pernah pula ia belajar kepada beberapa guru di makkah dan madinah. Namun, kembali lagi karena di tolak. Muhammad ibn abdul wahab tidak di perhitungkan di kampungnya bahkan dia tidak dikenal sama sekali ketokohan dan keulamaanya oleh para ulama yang hidup sezaman denganya.[10] Kenyataan seperti ini yang diakui oleh ulama-ulama wahabi lainya. Dalam buku mereka yang menjadi rujukan ulama-ulama wahabi, ad-duror as-saniyah[11] disebutkan :
ومحمد ابن عبد الوهاب رحمه الله ما دعى امامة الأمة, وانما هو عالم دعا الى الهدى, وقاتل عليه ولم يلقب فى حياته با لإمام, ولا عبد العزيز بن محمد بن سعود, ما كان احد في حياته منهم يسمى اماما, وانما حدث تسمية من تولى اماما بعد موتهما.
“ Muhammad ibn abdul wahab rahmat allah atasnya tidak pernah mengaku sebagai imam umat ini. Dia hanyalah seorang alim yang mengajak kepada hidayah, berperang untuk itu, dan semasa hidupnya tidak pernah digelari sebagai imam. Begitu juga dengan abdul aziz ibn Muhammad ibnu saud, tidak ada seorang pun semasa hidupnya yang mengakui sebagai imam. Adapun penamaan imam diberikan kepada orang yang hidup setelahnya. 
            Ibnu abdul wahab juga gemar membaca berita-berita atau cerita kenabian, seperti musailamah al- kadzab, dll. Sejak masa studinya yang singkat itu telah tampak darinya gelagat penyimpangan yang besar sehingga ayahnya dan para gurunya mengingatkan masyarakat akan bahaya penyimpanganya itu. Mereka bertutur “ anak ini akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang yang Allahsengsarakan dan jauhkan dari rahmat-Nya.
            Pada tahun 1143 H Muhammad ibnu abdul wahab mulai menampakan aliran dakwahnya kepada aliran barunya. Akan tetapi ayahnya dan para masyayikhnya menghalau dakwahnya itu sehingga dakwahnya tidak laku. Barulah setelah ayahnya wafat pada tahun 1153 H ia mulai menebar kembali ajaranya kepada orang awam sehingga mereka dengan mudah mengikuti dan mendukungnya.
 Wahabi juga sering berganti baju yang di sebut “ahlussunnah” tanpa di ikuti “waljamaah”. Menurut prof. Dr. Sa’id ramadhan al-buthi dalam bukunya as-salafiyah marhalah zamaniyah mubarokah la madzhab islami. Dia mengatakan bahwa wahabi mengubah strategi dakwahnya dengan berganti nama menjadi “salafi” karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan wahabi yang di nisbatkan kepada pendirinya, yakni Muhammad ibnu abdul wahab.[12] Kata salaf berarti pendahulu, kata ini sudah muncul dalam khazanah berbendaharaan kata dalam agama islam bahkan sejak zaman nabi muhammad SAW bukan untuk sekelompok orang yang memiliki keyakinan sama. [13]
Munculnya istilah salafi untuk menggelari orang yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penerus ajaran as-shalafus sholih adalah Nashiruddin al-albani yang merupakan pendatang di ranah wahabi, dan dia sangat berjasa bagi kelanjutan dakwah salafi wahabi dengan ide “salafi” nya itu. [14]
    C.   Perbedaan salafi dengan salafi wahabi
Perbedaannya adalah pada asal muasal pemunculan istilah tersebut. Istilah Salafi dimunculkan sebagai identitas atas sebuah dakwah tauhid yang menyeru kepada umat untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih. Sedangkan, istilah wahabi dimunculkan oleh musuh - musuh dakwah tauhid baik dari golongan kafir maupun kaum muslimin sendiri yang kian resah lantaran dakwah ini semakin berkembang dari hari ke hari. Siapakah golongan umat Islam yang tak menghendaki dakwah tauhid ini berkembang pesat menyinari hati para insan.


[1]Dr Abdur Rozaq,M.ag dan Dr Rosihan Anwar,Mag Ilmu Kalam hal. 109
[2] Ibid
[3] Ibid; hal 110
[4] Ibid; hal 110
[5] Ibid; hal 114
[6] Ibid; hal 117
[7] Sejarah berdarah sekte salafi wahabi Syaikh Idahram hal 25
[8]
[9] Uyainah sekarang masuk ke dalam kawasan kota riyadh, saudi arabia
[10] Ibid, hlm: 30
[11] Kitab ad-durroh as-saniyah adalah kumppulan risalah dan makalah pendiri salafi wahabi dan ulama-ulama mereka dari keturunanya, serta para muridnya. Buku yang menjadi salah satu refrensi utama dalam beragama dan menyimpulkan suatu hokum ini disusun oleh abdurrahmad ibnu Muhammad ibnu qoshim al- ashimi al- qhotani al- najdi. Terdiri dari 16 jilid, dan telah mengalami cetak ulang ratusan kali melalui berbagai penerbit berbeda salah satunya adalah penerbit dar- alqosim, Riyadh, Saudi Arabia.  
[12] Syaikh idahram, sejarah berdarah sekte wahabi, PT Lkis printing cemerlang, hlm; 27
[13] Ibid, hlm: 29
[14] Ibid, hlm:30
Read more