Selasa, 15 Maret 2011

Peradaban Islam pada Masa Pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin

Peradaban Islam pada Masa Pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin


Pada masa ini terbagi menjadi empat khulafa yakni :
1.      Khalifah Abu Bakar As-Shidiq 11 – 13 H (632 – 661 M)
2.      Khalifah Utsman bin Affan 13 – 23 H (634 – 664 M)
3.      Khalifah Umar bin Khattab 23 – 35 H (644 – 656 M)
4.      Khaifah Ali Bin Abi Thalib 35 – 40 H (656 – 661 M)
A.    KHALIFAH ABU BAKAR AS SHIDDIQ
Abu Bakar As-Shiddiq (Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Masud bin Taim bin Murrah bin Kaab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr at-Taimi al-Qurasyi berarti bertemu dengan nasab pada Murrah bin Ka’ab). Sedangkan ibunya bernama Ummu Al-Khair Salmah binti Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab bin Sa’ad.
1.      Beliau dilahirkan pada tahun 573 M. Dia dilahirkn di lingkungan suku yang sangat berpengaruh dan suku yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar.
2.      Beliau dilahirkan 2 tahun lebih beberapa bulan setelah kelahiran Rosulullah SAW
3.      Beliau selalu menemani Rosulullah SAW, sejak sebelum diangkat menjadi nabi
4.      Beliaulah orang yang pertama kali beriman kepada Rosulullah SAW dari kalangan orang pria dewasa
5.      Beliau adalah sahabat nabi SAW tertua dan terpandang
6.      Beliau terkenal sebagai seorang yang jujur dan berhati suci

Kesulitan-Kesulitan yang Dihadapi Abu Bakar
Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama pengganti Rosulullah SAW, mendapatkan reaksi yang beragam dari kaum muslimin, pada masa khalifah Abu Bakar telah terjadi pembelotan yang dilakukan oleh beberapa kabilah yang baru masuk Islam. Mereka tidak lagi mengakui pemerintahan Abu Bakar di Madinah. Motif pemberontakan ini beraneka ragam, ada yang keluar dari Islam (murtad), ada yang menolak membayar zakat. Ada pula yang hanya karena fanatisme kesukuan. Beberapa orang malah menyatakan diri sebagai nabi-nabi baru, seperti Tulaihah dan Musailamah. Nabi-nabi palsu ini umumnya didukung oleh suku asal mereka. Bahkan ’uyainah pernah berkata : ”Seorang Nabi dari suku Asad dan Ghafhfan lebih aku sukai daripada seorang Nabi dan suku Quraisy.
Setelah Nabi Muhammad berpulng ke Rahmatullah murtadlah kebanyakan mereka dari agama Islam. Dan orang-orang yang lemah imannya itu selalu saja memperlihatkan ketidak patuhan mereka kepada agama Islam.
Peristiwa wafat Nabi mereka jadikan suatu kesempatan untuk menyatakan terus terang apa yang selama ini tersembunyi dalam hati mereka. Mereka menyatakan kemurtadan mereka dari agama Islam.
Di kala Nabi telah wafat, dan kelihatan oleh bangsa Arab bahwa suku Quraisy tetap mempertahankan kekuasaan itu, dan tidak dibiarkannya terlepas dari mereka, bertambah kuatlah gerakan untuk melepaskan diri dari Islam, dan tampillah di antara suku-suku bangsa Arab orang-orang yang mengaku dirinya Nabi. Orang-orang ini didukung oleh warga sukunya semata-mata karena perasaan kesukuan, kendatipun jelas oleh mereka bahwa orang-orang itu bohong dan pendusta.
Orang-orang yang salah menafsirkan sejumlah ayat-ayat al Qur’an atau salah memahamkannya. Mereka menempuh jalan sesat yaitu jalan yang bukan ditempuh oleh kaum muslimin terbanyak. Dan orang yang tak mau lagi membayar zakat, mereka berontak terhadap zakat yang oleh mereka dinamakan ”upeti” atau ”pajak”
Setelah berhasil meyakinkan kaum muslimin, dipersiapkanlah pasukan besar yang diproyeksikan untuk menumpas semua jenis pemberontakan.
Peperangan pertama :
Untuk menggempur nabi palsu, Thulalhah. Pasukan Abu Bakar ini berhasil menumpas pasukan Thulalhah dalam waktu relatif singkat.
Peperangan kedua :
Untuk menaklukkan kabilah-kabilah yang melakukan pemberontakan/menolak membayar zakat
Peperangan ketiga :
Untuk melawan pasukan musallamah yang memiliki 40 ribu tentara. Dalam pertempuran ini, nabi palsu musallamah tewas.
Peperangan keempat :
Pada peperangan ini dibawah empat Jenderal yaitu :
  1. Abu Ubaidah
  2. Amr Ibn ’Ash
  3. Yazid Ibn Abi Sufyan
  4. Syurahbil
Awalnya yang memimpin itu Usamah yang masih berusia 18 tahun untuk memperkuat tentara ini Khalid bin Walid beserta pasukannya memerangi pasukan Romawi yang begitu besar jumlahnya dibanding pasukan Islam. Tapi peperangan ini belum berakhir ketika Abu Bakar sudah meninggal.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemerintahan Abu Bakar melanjutkan kepemimpinan sebelumnya, baik kebijksanaan dalam kenegaraan maupun pengurusan terhadap agama, diantara kebijaksanaannya ialah sebagai berikut :
  1. Kebijaksanaan pengurusan terhadap agama
  2. Kebijaksanaan kenegaraan
Faktor Keberhasilan Khalifah Abu Bakar
Faktor keberhasilan Abu Bakar yang lain adalah dalam membangun pranata sosial di bidang politik dan pertahanan keamanan. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari sikap keterbukaannya, yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada tokoh-tokoh sahabat untuk ikut membicarakan berbagai masalah sebelum ia mengambil keputusan melalui forum musyawarah sebagai lembaga legislatif.

Peradaban pada Masa Abu Bakar
Bentuk peradaban yang paling besar dan luar biasa dan merupakan satu kerja besar yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah penghimpunan al-Qur’an. Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hapalan kaum muslimin. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian al-Qur’an setelah syahidnya beberapa orang penghapal al-Qur’an pada perang Yamamah. Umarlah yang mengusulkan pertama kali penghimpunan al Qur’an ini. Sejak itulah al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk pertama kalinya al-Qur’an dihimpun.

B.     KHALIFAH UMAR IBN AL-KHATHTHAB
1.      Pengangkatan Umar bin al-Khaththab sebagai khalifah
Abu Bakar sebelum meninggal pada thun 634 M/13 H. Menunjuk Umr Ibn al-Khaththab sebagai penggantinya. Ada beberap faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk Umr menjadi khlifah. Pertama, kekhawatiran peristiwa yang menegangkan di tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret umat Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk seorang yang akan menggantikannya. Kedua, kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, umat Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang. Sementara sebagian pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah melawan tentara Persia di satu pihak dan tentara Romawi di pihak lain.

Ekspresi Islam masa Pemerintahan Khalifah Umar Ibn al-Khaththab
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (13 H/634 M – 23 H/644 M) sebagian besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam keluar Arab. Sejrah mencatat, Umar telah berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan imperium Romawi dan Persia yang dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak pemerintahan sebelumnya.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya konflik antara umat Islam dengan bangsa Romawi dan Persia yang pada akhirnya mendorong umat Islam mengadakan penklukan negeri Romawi dan Persia, serta negeri-negeri jajahannya karena; pertama, bangsa Romawi dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam; kedua, semenjak Islam masih lemah Romawi dan Persia selalu berusaha mengancurkan Islam; ketiga, bangsa Romawi dan Persia sebagai negara yang subur dan terkenal kemakmurannya, tidak berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan negeri-negeri Arab; keempat bangsa Romawi dan Persia bersikap ceroboh menghasut suku-suku Badui untuk menentang pemerintahan Islam dan mendukung musuh-musuh Islam; dan Persia sangat strategis untuk kepentingan keamanan dan pertahanan Islam.
Dengan demikian, dapat dikatakan Islam pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khaththab kekutan dua adikuasa dunia dapat diruntuhkan. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan sejarah Islam.

2.      Peradaban pada Masa Khalifah Umar
Peradaban yang paling signifikan pada masa Umar, selain pola dministratif pemerintahan, peperangan dan sebagainya adalah pedoman dalam peradilan. Pemikiran khalifah Umar bin Khaththab khususnya dalam peradilan yang masih berlaku sampai sekarang dikutip M. Fauzan sebagai berikut :
Naskah asas-asas Hukum acara dari Umar Amirul Mukminin kepada Abdullah bin Qais, mudah-mudahan Allah melimphkan kesejahteran dan rahmad-Nya kepada engkau
1)      Kedudukan lembaga peradilan
2)      Memahami kasus persoalan, baru memutuskannya
3)      Samakan pandangan anda kepada kedua belah pihak dan berlaku adilah
4)      Kewajiban pembuktian
5)      Lembaga damai
6)      Perundangan persidangan
7)      Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal
8)      Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis
9)      Orang Islam haruslah berlaku adil
10)  Larangan bersidang ketika sedang emosional

C.    KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN
1.      Utsman diangkat jadi Khalifah
Di waktu Umar kena tikam, beliau tiada bermaksud hendak mengangkat penggantinya. Faktor-faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk penggantinya sudah tidak ada lagi. Bala tentara Islam telah mendapat kemenangan, dan kedilan stabil.
Tetapi kaum muslimin khawatir kalau-kalau terjadi perpecahan sesudah Umar meninggal dunia karena itu mereka mengusulkan agar Umar menunjuk siapa yang akn menjadi pengganti beliau sehingga Umar memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Utsman, Ali dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping itu Umar telah membentuk dewan formatur yang bertugas memilih penggantinya kelak. Dewan formatur yang dibentuk Umar berjumlah 6 orang. Mereka adalah Ali, Utsman Sa’ad bin Abi Waqqash Abd. Ar-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah.
Mekanisme pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut : Pertama, yang berhak menjadi khalifah dalah yang dipilih oleh anggota formatur dengn suara terbanyak; kedua, apabila suara terbagi secara berimbang Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya; ketiga, apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd. Ar-Rhman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah
Setelah itu, Ar-Rahman memanggil Ali dan menanyakan kepadanya, seandainya dia dipilih menjadi khalifah, sanggupkah dia melaksanakan tugasnya berdasarkan al-Qur’an, sunah Rasul, dan kebijaksanaan dua kholifah sebelum dia ? Ali menjawab diriny berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan kemampuannya. Abd. Ar-Rahman berganti mengundng Utsman menjawb, ”Ya ! saya sanggup”. Berdasarkan jawaban itu, Abd. Ar-Rahman menyatakan Utsman sebagai khalifah ke-3 dan segeralah dilaksanakan Baiat.

2.      Perluasan Islam di masa Utsman
Perluasan Islam di masa Utsman dapat disimpulkan pada dua bidang :
1)      Menumpas pendurhakaan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk di bawah kekuasaan Islam di zaman Umar.
2)      Melanjutkan perluasan Islam ke daerah-daerah yang sampai disana yang telah terhenti perluasan Islam dimasa Umar.

D.    KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
1.      Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalin
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatngi para sahabt senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshr dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi Khalifah. Ia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari shabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah mas rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Pada masa awal pemerintahannya, Ali berhasil mengembalikan suasana menjadi lebih kondusif dan stabil. Stabilitas keamanan yang sempat kacau pasca terbunuhnya Utsman berhasil dikendalikan sehingga roda pemerintahan dapat berjalan normal. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, karena banyak diantara sahabat, terutama pihak keluarga Utsman, yang menuntut balas atas kematian Utsman. Sementara Ali sendiri tidak ingin mengungkit-ungkit masalah tersebut dan lebih memilih mendiamkannya agar persoalan tidak berkepanjangan dan umat Islam dapat bersatu kembali. Sayangnya, sikap Ali yang demikian justru menimbulkan kekecewaan beberapa pihak.
Tidak lama setelh itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsmn dan mereka menuntu bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduany mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama “Perang Jamal (Unta)” karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Timbul pertnyaan : Apakah penuntutan bela yang dilakukan Aisyah, karena didorong oleh kepiluan hatinya atas kematian Utsman ? Sebetulnya tidak ! Tetapi ada faktor-faktor lain yang lebih penting dari itu, antaranya :
1)      Sejak dari dahulu telah da ketegangan antara Ali dan Aisyah. Aisyah sendiri pernah berkata : ”Sebenarnya, demi Allah antara saya dengan Ali Tak Ubahnya sebagai orang dengan mertuanya” Mungkin ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa Aisyah tertuduh (Haditsatul : fk)
2)      Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah dulu. Lama Ali baru memberikan bai’ahnya kepada Abu Bakar. Sekarang mengapa Aisyh akan lekas saja membai’ah Ali. Dan mengapa akan dibiarkannya saja Ali menikmati jabatan itu ?
3)      Ada lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah Ibnu Zubair, putera saudaranya yang perempuan bernama Asma. Abdullah ibnu Zubair ini diambil Aisyah dari Asma, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan dididiknya di rumahnya sendiri, karena telah ditakdirkan Tuhan Aisyah tidak dikaruniai Tuhan anak. Oleh karena itu Aisyah biasa dipanggil Ummu Abdillah (Ibunda Abdullah).

Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah, dan Aisyah. Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi disini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbritse), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpech menjadi tiga kekutan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut) Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Muncullah kelompok al-Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat.
Beberapa kecaman yang dapat dihadapkan kepada Ali. Kecaman-kecaman itu antara lain ialah :
1)      Ali berkepercayaan bahwa beliaulah yang berhak menjadi khalifah kaum muslimin sesudah Rsulullah meninggal dunia. Menurut beliau, tidak ada orang yang berhak menduduki kuris khalifah itu selain daripada beliau. Maka memberikan jabatan itu kepada orang lain berarti melanggar hak beliau, dan merupakan suatu perbuatan yang tidak menurut hukum.
2)      Ali kurang mempermusyarahkan urusan-urusan yang penting dengan orang-orang terkemuka di masanya. Sekiranya ada diantara mereka yang mengemukakan pikiran, nasehat-nasehat dan pemandangan-pemandangan, maka nasehat-nsehat itu tidak diperhatikan. Pernh Thalhah dan Zubair mencela sikap Ali yang seperti ini dan Ali menjawab : ”Apakah yang tiada saya ketahui. Makanya saya harus musyawarahkan ?”
3)      Keinginan Ali hendak mengdili perkara Ubaidillah yang membunh Hurmuzun dan hendak menjatuhkan hukuman mati kepadanya, mempunyai efek yang panjang. Utsman sudah mengadilinya du belas tahun yang lalu, tetapi Ali mau menghidupkannya kembali, menyebabkan Ubaidillah melarikan diri ke Syam, lalu menggabungkan diri ke dalam lasykar Mu’awiyah. Ubaidillah menjadi panglima ulung dalam lasykar Mu’awiyah
4)      Ali mudah percaya dan gampang menerima hasutan, sehingga kepala daerah-kepala daerah yang diangkatnya dicurigainya. Abdullah ibnu Abbas tak luput dari curiga, was-was dan syak wasangkany, menyebabkan ia terpaksa melarikan diri dari tempat kedudukannya, yaitu Basrah dan mengasingkan diri ke Mekkah.

E.     BERAKHIRNYA KHULAFA AR-RASYIDIN
Al Khulafaur Rasyidin dipilih dengan cara musyawarah, tetapi sesudah berakhirnya zaman al Khulafaur Rasyidin, mengangkat khalifah tidak dipermusyawarahkan lagi. Khalifah itu telah merupakan kerajaan yang diwrisi oleh anggota suatu keluarga.
Asa syarat-syarat yang harus cukup pad orang-orang yang hendak dipilih menjadi khalifah, atau orang-orang yang ingin jendak menduduki kursi jabatan itu, tetapi syarat-syarat ini telah kabur sesudah zaman Al Khulafaur Rasyidin.
Seorang Khalifah di zaman al Khulafaur Rasyidin tidak pernah bertindak sendirinya saja waktu negara menghadapi sesuatu kesulitan, tetapi kesulitan itu dimusyawarahkan dengan para cerdik pandai dan alim ulama, sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya. Tetpi setelah periode al Khulafaur Rsyidin berakhir, timbullah berbagai macam kesewenang-wenangan dan kedikttoran, seakan-akn di tangan khalifah-khalifah itulah segala sesuatu.
Al Khulafaur Rasyidin menganggap diri mereka sebagai abdi negara Islam. Tetapi khalifah-khalifah yang datang kemudian hanya berebut kekuasaan, dan kemewahan hidup. Mereka menganggap dirinya tuan, dan orang lain hamba sahaya mereka.




DAFTAR PUSTAKA


Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Penerbit Rajawali Pers
Syeh Muhyiddin Al Khoyyat, sejarah Kebangkitan islam dan Situasi Dunia Arab, Penerbit Al Hidayah Surabaya, Cetakan II, tahun 1999
Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, Penerbit : CV Pustaka Setia, 2008
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, PT. Al Husna Zikra, 1997
Kaum Sarungan

0 comments: