Senin, 16 Mei 2011

Post Modernisme, Strukturalisme dan Filsafat Hidup

Post Modernisme, Strukturalisme dan Filsafat Hidup

A. Postmodernisme

1. Pengertian

“Post” pada istilah ini banyak menimbulkan perbedaan arti, Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan yang telah sadar diri. Sementara Habernas, satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai. Sementara menurut Tony Cliff, posmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori. Akhiran ”isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjukkan pada kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern.

2. Konteks Sosial yang Melahirkan : ”Penyimpangan Modernisme”

Munculnya pasca modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kita modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap dan progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehidupan disorientasi
”Sisi Gelap” modernisme, menurut Anthony Gidden dalam The Sonsequences of Mpdernity (1990), menimbulkan berkembang biaknya petaka bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk akhir yang menimbulkan petaka tersebut, terutama dipicu oleh : Pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kompetisi tiada akhir akan pertarungan pasar. Kedua, industrialisme yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk memenangkan persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman, rukun, damai dan adil”
Pada taraf prktis, terdapat konsekensi buruk modernisme, antara lain : Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritul-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alm semena-mena. Hal ini telah mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas dan positivis, akhirnya menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkaya bagai mesin. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Keempat, materialisme, yakni orientasi hidup untuk memiliki dan menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah survival of the fittest, atau dalam skala yang besar : persingan pasar bebas. Kelima, militerisme. Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekersan adlah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Setelah perang dingin selesai, kini agama menjadi kategori identits penting yang melegitimasi konflik dan tindak kekerasan. Munculnya fndamentalisme agama adalah contoh dari fenomena ini.
Krisis sains modern yang menimbulkan petaka kehidupan manusia, menyadarkan ilmuan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasar bangunan sains modern. Krisis ini menjadi cikal bakal terjadinya revolusi ilmiah.
Krisis ini metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat digambarkan tahap-tahapnya sebagai berikut :
Tahap I : paradigma ilmiah membimbimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science)
Tahap II : menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiks dan dipercayakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap III : para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya.

Download makalah lengkap disini

0 comments: