Kamis, 18 Oktober 2012

Politik Hukum Dan Kebijakan Pendidikan Nasional


A.    Pengertian Politik Hukum
Politik hukum adalah ”legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Menurut Patmo Wahjono dalam politik hukum Moh. Mahfud MD (2009:1) mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Sedangkan Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktifitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu :
1.     Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada.
2.    Cara-cara apa yang yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut
3.    Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah.
4.  Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dan merumuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.
Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum didalam pembukaan UUD 1945.

B.     Politik Hukum Nasional
Hukum aalah sebagai alat, sehingga secara praktis politik hukum jga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Berdasarkan pada kenyataan bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan dan penidakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.
Politik hukum di Indonesia ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodik. Yang bersifat permanen misalnya permberlakuan prinsip perjanjian yudisial, ekonomi, kerakyatan, keseimbangan antara  kepastain hukum. Keadilan dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dianut dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hukum.
Adapun yang bersifat periodik adalah politik hukum yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode tertentu baik yang akan memberlakukan maupun yang akan dicabut misalnya pada periode 1973 – 1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Pada periode 1983 – 1988 ada politik hukum untuk membentuk peradilan tata usaha negara, dan pada periode 2004 – 2009 ada lebih dari 250 rencana pembuatan UU yang dicantumkan di dalam program legislasi Nasional  (PROLEGNAS)
PROLEGNAS adalah daftar rencana UU yang akan dibentuk selama satu periode pemerintahan untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi pada periode yang bersangkutan. Prolegnas ditetapkan oleh Ketua DPR berdasar kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Prolegnas mempunyai dua fungsi yakni sebagai potret tentang rencana materi hukum-hukum (dalam arti undang-undang) yang akan dibuat dan sebagai prosedur atau mekanisme pembuatan UU itu sendiri.
Politik hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi :
1.    Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan
2.   Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka dengan undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasarnya. Proklamasi kemerdekaan merupakan tindakan perombakan secara total yang telah membawa dan mengubah tradisi masyarakat Indonesia pada idealita dan realita hukum dari keadaan terjajah menjadi masyakat pendidikan nasional.

C.    Konstitusi yang menjamin pendidikan Nasional
Mengembangkan satu sistem pendidikan adalah salah satu langkah penting yang diambil oleh negara-negara modern sebagai upaya untuk dapat mengontrol dan keluar dari krisis motivasi. Dengan mengemban nilai-nilai, ideologi dan kepentingan-kepentingan negara.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan nasional melalui standar-standar (peraturan pemerintah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan) yang telah disepakati. Standar-standar itu antara lain berupa penyusunan kurikulum nasional. Sistem akreditasi dan evaluasi nasional. Sistem pemerataan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Konstitusi yang menjamin pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 :
1)      Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2)      Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
3)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
4)      Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5)      Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Titik awal dari manajemen akar rumput (grass root) pendidikan dan pelatihan ialah lembaga pendidikan dengan mengikutsertakan masyarakat sebagai salah satu stakeholder dari penyelenggaraan pendidikan. 

D.    Dasar Pendidikan Nasional
Apabila kita ingin menyimak arah kebijakan pendidikan nasional dewasa ini maka kita menggunakan tiga sumber utama. Adapun dasar dari pendidikan nasional kita yaitu :
1.    GBHN 1999-2004 atau TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004 telah dikemukakan visi haluan negara dalam bidang pendidikan dinyatakan bahwa :
a.  Pendidikan yang bermakna diperlukan bagi pengembangan pribadi dan watak bagi hidup kebersamaan dan toleransi.
b.      Kita perlu membangun masyarakat yang demokratis, damai, berkeadilan dan berdaya saing.
Sedangkan misi pendidikan nasional adalah menciptakan suatu sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu.
2.  Program Pembangunan Nasional (Prolegnas 2000-2004) pendidikan terdapat arah dan program-program sebagai berikut :
a.       Memperluas dan pemerataan pendidikan dengan adanya dana yang mencukupi.
b.      Meningkatkan kemampuan dan mutu hidup para pendidika
c.       Membenahi kurikulum
d.      Memberdayakan lembaga pendidikan
e.       Meningkatkan manajemen pendidikan, termasuk upaya desentralisasi dan otonomi pendidikan.
3.      APBN 2001
APBN 2001 pada dasarnya adalah merupakan penjabaran dari propenas yaitu kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran 2001. apabila dicermati APBN 2001 ada 8 kegiatan pokok yaitu :
1)      Pelaksanaan  wajib belajar 9 tahun
2)      Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan
3)      Pendidikan alternatif
4)      Bea siswa
5)      Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
6)      Peningkatan Profesionalisme Guru
7)      Pembenahan Kurikulum
8)      Pelaksanaan Demokrasi Dan Desentralisasi Melalui Komite Sekolah Atau Dewan Sekolah

E.     Tujuan Pendidikan Nasional dalam Islam
Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opvending) kepada jiwa anak didik sehingga menumbuhkan dan mengembangkan fitroh / kemampuan dasar mansuia serta menyiapkan mereka baik dari jasmani, rasio, maupun rohani sehingga menjadi pribadi yang bermanfaat untuk dirinya dan bermanfaat untuk ummat.
Adapun sasaran pendidikan dalam Islam adalah :
1.  Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah makhluk lain, serta tanggung jawab dalam kehidupannya
2. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakatserta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat.
3. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya
4.   Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendoronganya untuk beribadah kepada-Nya. Karena sikap dan watak religiusnya perlu dikembangkan sehingga dapat menjiwai dan mewarnai kehidupannya.
Sedangkan tujuan pendidikan dalam Islam adlaah untuk menumbuhkan pula kepribadian manusia yang kaffah melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indera. Pendidikan melayani manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, ilmiah maupun bahasanya serta pencapaian kesempurnaan hidup.
Mengingat tujuan pendidikan dalam Islam begitu luas, maka tujuan tersebut dibedakan dalam beberapa bidang menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis sebagai berikut :
1)      Tujuan individual yang menyangkut individu
2)      Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan
3)      Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi.
Oleh karena itu, dalam proses pendidikan, ketiga tujuah di atas terkait secara integral, tidak terisah satu sama lain, sehingga dapat mewujudkan tipe-tipe manusia paripurna seperti yang dikehendaki oleh ajaran Islam.

Sumber :
1.      Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, 2007. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta
2.      M. Sirozi, Ph.D. Politik Pendidikan. 2005. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta
3.     Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, M.Sc.Ed. Membenahi Pendidikan Nasional. 2002. PT. Rineka Cipta Jakarta
Read more

Syarat Cara Dan Sunnah Sa'i

Sa’i itu mempunyai ketentuan-ketentuan syarat dan sunnat yang akan dikemukakan secara rinci dalam pendapat berbagai madzhab.
Hanafiyah : Mereka berpndapat bahwa sa’i antara shafa dan Marwah itu mempunyai ketentuan-ketentuan wajib, sunnat dan syarat. Adapun ketentuan-ketentuan wajib sa’i, antara lain adalah :
  1. Melaksanakannya setelah tawaf
  2. Sa’i itu dilakukan sebanyak tujuh kali jalan (tempuh). Setiap satu kali jalan dari yang tujuh itu adalah wajib
  3. Berjalan kaki ketika melaksanakan sa’i, sehingga bila ia bersa’i degan berkendaraan tanpa udzur, maka wajib mengulang atau bayar dam
  4. Memulai sa’inya dari Shafa dan berakhir di Marwah. Yang demikian itu terhitung sekali berdasarkan pendapat yang shahih. Jik aia memulai dari Marwah, yang demikian itu tidak terhitung.
Adapun sunnat-sunnatnya, antara lain adalah :
  1. Antara tawaf dan sa’i dilaksanakan secara runtun (langsung tanpa terpisah). Jika antara keduanya dipisahkan dengan suatu tenggang waktu berarti ia telah meninggalkan sesuatu yang sunnat, yaitu bila jarak waktunya itu lama dan ia tidak dikenai denda
  2. Suci dari dua hadats (besar dan kecil). Maka bagi wanita haid dan nifas sah melaksanakan sa’i tanpa makruh, karena yang demikian udzur.
  3. Mendaki bukit Shafa dan Marwah ketika bersa’i. Dan hendaklah ia bersa’i antara dua mil hijau, yaitu dua pal (tonggak); yang pertama terdapat di bawah menara Babu ’Ali dan satunya lagi terdapat di depan Ribathul ’Abbas.
  4. Berlari kecil antara dua mil tersebut.
  5. Membaca takbir, tahlil (haylalah), shalawat atas Nabi SAW, berdoa apa saja yang ia kehendaki dan menghadap ke Baitullah dari atas Shafa dan Marwah
  6. Memegang (mengusap) Hajae Aswad dengan tangannya sebelum pergi bersa’i. Jika tidak bisa, maka hendaklah ia melakukan apa-apa yang telah dikemukakan terdahulu dalam “Sunnat-Sunnat Tawaf”. Yang lebih utama hendaklah ia keluar dari pintu Dhafa, yaitu pintu Bani Makhzum, dan hendaklah mendahulukan kaki kirinya ketika keluar. Dan disunnahkan (mandub) untuk mengangkat kedua tangannya ke langit ketika berdoa di atas Shafa dan Marwah. Jika iqamah shalat telah dikumandangkan sementara ia sedang melaksanakan tawaf atau sa’i, maka hendaklah shalat dulu, dan setelah shalat ia dapat melanjutkan kembali apa-apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Ketika sa’i dan tawaf dimakruhkan bicara tentang jual-beli dan lain sebagainya.
Adapun syaratnya hendaklah sa’i itu dilaksanakan setelah tawaf. Jika bersa’i terlebih dahulu kemudian bertawaf, maka s’inya tidak diperhitungkan dan ia wajib mengulang selama masih memungkinkan.

Malikiyah : Mereka berpendapat bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah itu merupakan rukun haji sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Rukun ini mempunyai ketentuan-ketentuan syarat sah, sunnat, mandub dan wajib.
Adapun syarat-syarat sahnya antara lain adalah :
  1. Sa’i itu dilaksanakan sebanyak tujuh kali jalan (tempuh). Jika kurang dari jumlah tersebut, maka yang demikian tidak sah; dan ia wajib menyempurnakan, kecuali bila tenggang waktunya belum berlangsung lama, sesuai dengan ’urf. Bila telah berlangsung lama, maka hendaklah mengulang dari awal lagi.
  2. Memulai sa’inya dari Shafa. Bila ia memulai dari Marwah, maka yang demikian itu tidak terhitung. Berangkat dari Shafa menuju Marwah terhitung satu jarak tempuh dan kembali dari Marwah ke Shafa satu jarak tempuh lain.
  3. Muwalat (runtun, berturut-turut) antara satu jarak tempuh dengan lainnya. Jika ia dipisahkan antara satu dengan lainnya dengan tenggang waktu yang lama, maka ia harus memulai dari awal lagi. Sedang memisahkan dengan tenggang waktu yang sedikit, yang demikian itu dimaafkan misalna melaksanakan shalat. Jenazah di tengah-tengah sa’i, atau melakukan kegiatan jual beli yang tidak sampai berlangsung lama sesuai dengan ’urf.
  4. Sa’i itu dilaksanakan setelah tawaf. Baik tawaf rukun ataupun lainnya. Bila sa’i itu dilaksanakan bukan setelah tawaf, maka tidak sah; bila dilaksanakan setelah tawaf, maka sah. Dan ia tidak dituntut mengulanginya bila tawaf yang mendahuluinya itu tawaf ifadhah, atau tawaf yang mendahuluinya itu tawaf rukun, aitu tawaf ifadhah; atau tawaf wajib mandub, seperti tawaf sebagai penghormatan terhadap masjid (tahiyyat al-masjid), maka ia dituntut mengulang sa’inya setelah tawaf qudum, bila mengunlanginya setelah melaksanakan tawaf ifadhah. Karena tawaf qudum itu berarti habis masanya dengan melakukan wuquf. Berdasarkan perincian ini ia dituntut mengulang hanya selama ia masih berada di Mekah atau dekat dari Mekkah, sehingga ia bisa kembali untuk mengulang sa’inya dan hendaklah ia mengulang tawaf ifadhah-nya (terlebih dahulu) untuk dapat mengulang sa’inya. Jika ia Jauh dari Mekah, maka hendaklah diganti dengan mengirim seekor hewan kurban, dan tidak perlu kembali lagi untuk mengulang sa’inya.

Demikian juga ia harus mengulang lagi bila sa’i itu dilaksanakan setelah tawaf rukun sementara ia tidak meyakini bahwa tawaf yang ia laksanakan itu rukun dan tidak pula berniat tawaf rukun; atau sa’i itu dilaksanakan setelah tawaf wajib sementara ia tidak menyakini bahwa tawaf yang dilaksanakanna itu wajib dan tidak juga berniat tawaf wajib.
Adapun sunnat-sunnat sa’i, antara lain adalah :
  1. Mencium hajar Aswad sebelum keluar untuk melaksanakan sa’i yaitu setelah melaksanakan tawaf dan shalat dua rakaat tawaf.
  2. Sa’i itu tidak terpisah dari tawaf, yaitu dengan cara melaksanakannya langsung setelah melaksanakan tawaf dan shalat dua rakaat tawaf.
  3. Mendaki bukit shafa dan Marwah ketika sampai di bukit itu pada setiap kali (menyelesaikan) satu jarak tempuh. Dan hendaklah jangan terlalu lama diam di atas bukit itu seperti sering dilakukan orang-orang. Yang demikian itu hanya disunnatkan bagi laki-laki dan (disunnatkan) juga bagi wanita bila ditempat tersebut tidak sesak dengan laki-laki. Bila sesak dengan laki-laki maka bagi kaum wanita tidak perlu mendaki bukit.
  4. Membaca doa di atas bukit tanpa ada batas tertentu.
  5. Bagi laki-laki disunnatkan berjalan cepat dalam menempuh jarak antara dua mil hijau tadi di atas kecepatan “ramal” yang telah dijelaskan dalam pembahasan tawaf. Yang dimaksud dengan dua mil hijau disini adalah dua tonggak (pal hijau), yang satu terdapat di bawah menara Babu ‘Al dan satunya lagi terdapat di depan Ribhatul ‘Abbas. Kadar kecepatan ini disunnatkan ketika menuju Marwah, sedangkan sekembalinya dari Marwah tidak perlu berjalan cepat berdasarkan pendapat yang rajih (kuat)
Sedangkan hal-hal yang mandub dalam sa’i, antara lain adalah suci dari hadats kecil dan besar, suci dari khubts (kotoran, najis), serta (memperhatikan ketentuan syarat-syarat shalat yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Sedangkan yang tidak mungkinkan, maka tidak mandub, seperti menghadap kiblat, karena yang demikian itu sulit. Sa’i itu tidak mempunyai ketentuan wajib kecuali satu, yaitu berjalan kaki bagi yang mampu.

Hanabilah : Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat sa’i antara shafa dan Marwah ada tujuh :
  1. Niat
  2. Berakal
  3. Beruntun dalam melaksanakan maratib (tahap-tahap) sa’i
  4. Berjalan kaki bagi yang mampu
  5. Sa’i itu dilaksanakan setelah tawaf, sekalipun tawaf itu mandub
  6. Sa’i itu dilakukan sebanyak tujuh kali jalan secara sempurna. Dari Shafa ke Marwah terhitung sekali, dan dari Marwah ke Shafa juga terhitung sekali. Begitu seterusnya hingga sempurna tujuh kali.
  7. Menempuh keseluruhan jarak antara Shafa dan Marwah, yaitu dengan cara menyentuhkan tumit kakinya pada kaki bukit Shafa, kemudian berjalan menuju Marwah hingga jemari kakinya menyentuh bukit Marwah, kemudian hendaklah ia menyentuhkan tumit kakinya pada kaki bukit Marwah ketika hendak kembali menuju Shafa hingga jemari kakinya menyentuh kaki bukit Shafa; dan begitulah seterusnya. Sa’i itu dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwah. Jika ia memulai sa’inya dari Marwah, maka yang sekali itu tidak terhitung sebagai sa’i.
Adapun sunnat-sunnat sa’i, antara lain adalah :
  1. Suci dari hadats dan khubts (kotoran, najis)
  2. Menutup aurat
  3. Melangsungkan antara sa’i dan tawaf
Syafi’iyah : Mereka berpendapat bahwa sa’i mempunyai beberapa ketentuan syarat, mandub dan makruh.
Syarat-syarat sa’i antara lain adalah :
  1. Memulai dari Shafa dan berakhir di Marwah. Perjalanan dari Shafa ke Marwah terhitung satu jarak tempuh, dari Marwah ke Shafa juga terhitung satu jarak tempuh.
  2. Sa’i itu dilaksanakan tujuh kali jarak tempuh dengan yakin. Jika meragukan jumlah yang sudah ia lakukan, maka hendaklah ia mengambil jumlah terkecil, karena itulah yang diyakini. Ia harus menghabiskan jarak yang mesti ditrmpuh dalam setiap kalinya, dan tidak boleh mengalihkan sa’inya pada kegiatan lain selain haji. Jika ia hanya berniat lomba saja (ketika sa’i) maka sainya itu tidak sah.
  3. Sa’i itu dilaksanakan setelah tawaf ifadhah atau qudum, dengan syarat antara tawaf dan sa’i itu tidak dipisah dengan wuquf di Arafah. Jika ia melaksanakan tawaf qudum lalu berwuquf di Arafah, maka ketika itu tidak ada sa’i, melainkan ia tangguhkan hingga sa’i itu dapat dilaksanakan setelah tawaf ifadhah.
Sedangkan hal-hal yang mandub (sunnat) dalam sa’i, antara lain adalah :
  1. Hendaklah ia keluar dari pintu Shafa untuk bersa’i, yaitu salah satu pintu Masjidil Haram
  2. Mendaki ke bukit Shafa hingga dapat melihat Ka’bah. Sedangkan bagi wanita, tidak disunnatkan demikian kecuali bila di tempat itu tidak ada laki-laki asing (bukan mahram)
  3. Membaca doa ketika melakukan masing-masing dari kedua hal tadi yaitu setelah menghadap Ka’bah, baik ia naik ke bukit Shafa ataupun tidak dengan membaca :
الله أكبر 3 x
Lalu diteruskan dengan :
الله أكبر على ما هدانا و الحمد لله على ما أولانا، لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك و له الحمد يحيى و يميت بيده الخير و هو على كل شيء قدير. لا اله إلا الله وحده لا شريك له، أنجز وعده و نصر عبده و هزم الأحزاب وحده. لا اله إلا الله و لا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون
“Alla Maha Besar (3x) segala puji bagi Allah
Allah Maha Besar, yang telah memberikan petunjuk kepada kami, segala puji bagi Allah yang telah menolong kami, tiada Tuhan selain Allah Sendiri tiada sekutu bagi-Nya. Dialah yang memiliki kerajaan dan Dia pula yang memiliki segala pujian, Dia yang menghidupkan dan yang mematikan. Segala kebaikan ada pada kekuasaan-Nya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah Sendiri tiadak sekutu bagi-Nya. Dialah yang menepati janji, Yang menolong hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya dengan sendiri-Nya. Tiada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya dengan mengikhlaskan agama (ketaatan) kepada-Nya sekalipun orang-orang kafir benci”
...kemudian membaca doa apa saja yang ia kehendaki, dan hendaklah mengulang-ulang bacaan dzikir dan doanya itu sebanyak tiga kali.
4.      Suci dari hadatas dan khubts (kotoran, najis) dan dalam keadaan aurat tertutup.
5.      Tidak berkendaraan kecuali karena suatu udzur
6.      Pada pertengahan jarak tempuhnya, disunnatkan bagi laki-laki berlari kecil ketika pergi dan pulangnya. Sedangkan pada awal dan akhir jarak tempuhnya, hendaklah ia berjalan seperti biasanya. Berbeda halnnya dengan wanita, ia sama sekali tidak boleh lari.
(Abdur Rahmah Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab Darul Ulum Press, cetakan ke 3)
Sa’i naik kendaraan tanpa udzur
Menurut Imam Hanafi, sa’i dengan berjalan hukumnya wajib, apabila naik kendaraan tanpa udzur, maka wajib membayar dam.
Menurut Imam Maliki, berjalan ketika sa’i merupakatan syarat sahnya sa’i, apabila naik kendaraan tanpa udzur, maka sa’inya tidak sah dan tidak bisa diganti dengan dam
Menurut Imam Syafi’i, hukumnya sa’i dengan berjalan sunnah, apabila sa’i dengan naik kendaraan tanpa udzur, maka sa’inya sah dan tidak wajib apa-apa.
Menurut Imam Hambali, ada dua pendapat :
1.      Berjalan ketika sa’i termasuk syarat sahnya sa;i
2.      Hanya kesunnahan dalam sa’i
(Abdul Manan, Risalah Haji dan Umroh, PP. Ploso Kediri)

Tambahan rukun haji menurut Imama Syafi’i :
1.      Mencukur atau memotong rambut
2.      Tartib disebagian besar rukun haji

Keterangan :
§  Mencukur atau memotong rambut
Memotong rambut minimal tiga helai bagi laki-laki diperbolehkan dengan cara memotong atau mencukur, sedangkan yang lebih utama mencukur, namun bagi perempuan yang lebih utama dengan memotong. Ketentuan hukum ini berdasarkan pada lafadz jama’ (رءوسكم) yang terdapat pada redaksi Al Qur’an surat Al Fath : 27 yang mana paling sedikitnya jama’ adalah tiga. Yang artinya :
Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya,
Dan berdasarkan haditsnya Sahabat Jabir :
روى جابر أن النبي صلى الله عليه و سلم أمر أصحابه أن يحلقوا أو يقصروا
Artinya : Sahabat Jabir meriwayatkan bahwa Nabi memerintahkan paa sahabat supaya mencukur atau memotong rambutnya.
Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imama Abu Dawud :
روى إبن عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم قال ليس على النساء حلق و لكن التقصير (رواه أبو داود)
Artinya : Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi bersabda : ”Bagi perempuan tidak diwajibkan mencukur rambut, tetapi memotong rambut” (HR Abu Dawud)

§  Tertib disebagian besar rukun haji
Yaitu dengan cara mendahulukan ihrom atas semua rukun, mendahulukan wukuf atas thawaf ifadhah, mendahulukan mencukur atau memotong rambut atas sa’i (jika setelah thawaf quddim belum melakukan sa’i), alasannya karena mengikuti tata cara yang dilakukan Nabi. Ketentuan ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
قال النبي صلى الله عليه و سلم خذوا عني مناسككم (رواه مسلم)
Artinya : Nabi SAW bersabda : ”Laksanakanlah haji sebagaimana aku melakukannya” (HR Muslim)
(Abdul Manan, Fiqh Lintas Madzhab, PP. Al Falah Ploso Kediri)




Read more