Konsep Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang dipedomani oleh umat Islam
hingga akhir masa. Al qur’an memberikan bimbingan kepada umat manusia dengn
untuk melaksanakan seruannya melalui dialog dengan manusia sesuai dengan
stratanya. Al Qur’an tidak membedakan stratifikasi dan variasi kondisi mitra
dialognya. Terhadap mereka-mereka itu al Qur’an berupaya menunjukkan mereka
kepada tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupannya. Oleh karena itu al Qur’an
sering mensifati dirinya sebagai petunjuk, peringatan, nasehat dan lain
sebagainya. Ini merupakan penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Implikasi Konsep
Pendidikan Al Qur’an dalam Proses Belajar-Mengajar
Secara
sunatullah, jiwa manusia tercita dengan memiliki dua potensi dan kecenderungan
yang saling berlawanan, taqwa disatu sisi, dan fujur disisi lain.
Oleh karena itu manusia
mempunyai potensi yang sama untuk melakukan kebaikan dan kejahatan, atau untuk
menerima petunjuk maupun menerima kesesatan. Hal ini sebagaimana diungkapkan firman Allah dalam
QS Al-Syams : 7 – 8 yang artinya :
Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya.
Suatu hal
yang tidak bisa diterima akal sehat, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa
dirinya tidak mampu berbuat kebajikan dan menjauhi kejahatan, karena ia merasa
tidak pantas untuk melakukan kebajikan. Sementara, al Qur’an menjelaskan bahwa
pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk
berbuat jahat, tinggal manusianya yang berperan untuk memilih mana yan i
menangkan, berbuat baik atau memilih kejelekan.
Jiwa
manusia bergejolak mengalami pasang surut, sesuai dengan intensitasnya dan
kecenderungan yang dipilihnya. Oleh karena itu ada suatu hal yang harus
diperhatikan jika ia mengalami pasang, maka manusia sebagai empunya (jiwa)
hendaknya ia mengencangkan ikatan semangatnya agar ia selalu dalam kebajikan,
dan jika ketika ia dalam kondisi surut, maka ia harus mengunci rapat-rapat
pintu-pintu setan yang akan masuk menghembuskan isu kesesatan dalam dirinya.
B. Penafsiran Para
Mufassirin
Setelah
itu, Allah melanjutkan sumpah-Nya dengan mengingatkan tentang jiwa manusia –
dan inilah yang dituju – agar menyadari dirinya dan memperhatikan makhluk yang
disebut oleh ayat-ayat yang lalu. Allah berfirman : Dan Aku juga
bersumpah demi jiwa manusia serta penyempurnaan ciptaan-nya
sehingga mampu menampung yang baik dan yang buruk lalu Allah mengilhaminya yakni
memberi potensi dan kemampuan bagi jiwa itu untuk menelusuri jlan kedurhakaan
dan ketakwaannya. Terserah kepada-Nya yang mana di antara keduanya yang
dipilih serta diasah dan diasuhnya.
Kata (arab)
fa alhamaha terambil dari kata (arab) al-lahm yakni menelan
sekaligus. Dari sini lahir kata (arab) ilhaam/ilham. Memang ilham
atau intuisi datang secar tiba-tiba tanpa disertai analisis sebelumnya, bahkan
kadang-kadang tidak terpikirkan sebelumnya. Kedatangannya bagaikan kilat dalam
sinar dan kecepatannya, sehingga manusia tidak dapat menolknya, sebgaimana tak
dpat pula mengundang kehadirannya. Potensi ini ada pada setiap insan, walaupun
peringkat dan kekuatannya berbeda antara seseorang dengan yang lain.
Kata ilham
dipahami dalam arti pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya,
tapa diketahui secara pasti dari mana sumbernya. Ia serupa dengan rasa lapar.
Ilham berbeda dengan wahyu, karena wahyu walaupun termasuk pengetahuan yang
diperoleh namun ia diyakini bersumber dari Allah SWT.
Ibn ’Asyur
memahami kata alhamaha dlm arti anugerah Allah yang menjadikan seseorang
memahami pengetahuan yang mendsar, serta menjangkau hal-hal yang bersifat
aksioma bermula dengan keterdorongan naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat,
seperti keinginan bayi menyusu, dorongan untuk menghindari bahaya, dan
lain-lain hingga mencapi tahap awal dari kemampuan meraih pengetahun yang
bersifat akliah.
Thabathaba’i menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan ”mengilhami jiwa” adalah penyamapaian Allah kepada
manusia tentang sifat perbuatan apakah dia termasuk ketakwaan atau kedurhakaan,
setelah memperjelas perbuatan dimaksud dari sisi substansinya sebagai perbuatan
yang dapat menampung ketakwaan atau kedurhakaan. Memakan harta misalnya adalah
suatu perbuatan yang dapat berbentuk memakan harta anak yatim atau memakan harta
sendiri. Yang pertama dijelaskannya bahwa itu dalah kedurhakaan dan yang kedua
yakni memakan harta sendiri yang halal maka itu adalah ketaqwaan. Pelampiasan
nafsu biologis juga demikian. Ini adalah substansi suatu perbuatan. Allah yang
mengilhami manusia hal itu, dan Allah juga mengilhaminya bahwa apabila
perbuatan tersebut didahului oleh ikatan pernikahan yang sah, maka dia adalah
zina yang merupakan kedurhakaan. Demikian llah mengilhami manusia apa yang
dilakukannya dari aneka perbuatan dan Dia pula yang mengilhaminya sehingga
mampu membedakan mana yang termasuk kedurhakaan mana pula yang merupakan ketakwaan.
Demikian lebih kurang penjelasn Thabathaba’i.
0 comments:
Posting Komentar