Teori-Teori Belajar
Dalam psikologi, teori belajar selalu dihubungkan dengan stimulus respons dan teori-teori tingkah laku yang menjelaskan respons makhluk hidup ungkan dengan stimulus yang didapat dalam lingkungannya. Proses menunjukkan hubungan yang terus-menerus antara respons yang muncul serta rangsangan yang diberikan dinamakan suatu proses belajar (Tan, 1981:91).
Untuk
lebih memperjelas pengertian kita mengenai proses belajar yang merupakan hasil
penyelidikan para ahli psikologi. Berikut ini, kita perlu mengenal beberapa
teori belajar. Teori belajar yang dimaksud ialah: (1) teori conditioning, (2)
teori connectionism, dan (3) teori psikologi
Gestalt.
1. Teori Conditioning
Bentuk
paling sederhana dalam belajar ialah conditioning. Karena
conditioning sangat sederhana bentuknya dan sangat luas sifatnya, para ahli mengambilnya
sebagai contoh untuk menjelaskan dasar-dasar dari semua proses belajar.
Meskipun demikian, kegunaan conditioning sebagai contoh bagi belajar, masih
menjadi bahan perdebatan
(Walker, 1967).
- Conditioning Klasik (Classical Conditioning)
Conditioning adalah suatu
bentuk belajar yang kesanggupan untuk berespons terhadap stimulus tertentu dapat dipindahkan pada
stimulus lain.
Percobaan
mengenai anjing yang mengeluarkan air liur oleh Pavlov, dikutip karena dianggap
sebagai salah satu bentuk percobaan conditioing formal yang pertama.
Prinsip
dasar dari model conditioning klasik adalah sebuah unconditioned
stimulus (US), unconditioned
response (UR), dan
conditioned stimulus (CSI) US
merupakan objek dalam lingkungan orgariisme yang secara otomatis diperoleh
tanpa harus mempelajarinya terlebih dahulu atau bisa dikatakan sebagai suatu
proses yang nyata (UR).
Sebagai contoh, seekor anjing meneteskan air liurnya (UR)
melihat sebuah tulang (US);
seorang anak menangis (UR) ketika ia melihat
seekor gorila (US); seorang
anak tertawa (UR)
ketika ia melihat badut (US). UR terbentuk
secara otomatis ketika respons tersebut berhadapan dengan US. Reaksi atau respons ini
dinamakan respons alami
Pavlov
adalah seorang psikolog yang mengadakan pengamatan terhadap refleks pengeluaran
air liur pada anjing. Pada bagian dari percobaann dirancanglah sebuah alat
untuk mengukur banyaknya sekresi air liur yang dikeluarkan seekor anjing. Kemudian
diungkapkannya bahwa taraf pengeluaran air liur anjing akan meningkat bilamana
anjing tersebut melihat asisten laboratorium membawa ember berisi makanan
baginya; juga bilamana anjing tersebut sebenarnya tidak melihat ada tidaknya
makanan di dalam ember.
Dalam
keadaan normal, anjing akan mengeluarkan air liur hanya pada saat melihat,
membaui, dan merasakan makanan, namun, anjing pada percobaan ini pasti
mengeluarkan air liur pada saat dia melihat ember. Pavlov ingin mengetahui
mengapa anjing tersebut menunjukkan penyimpangan perilaku , dari perilaku
normalnya. la berpikir bahwa apabila dapat menghubungkan antara ember dan
makanan, tentu anjing tersebut dapat juga menghubungkan antara makanan dan
beberapa benda atau kejadian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
makanan, sehingga anjing tersebut mulai erespons dengan mengeluarkan air liur.
Langkah
berikutnya, dibunyikan lonceng beberapa saat sebelum makanan dihadapkan kepada
anjing itu. Setelah dilakukan beberapa kali, makanan tidak diletakkan di
hadapan anjing itu, tetapi lonceng tetap dibunyikan. Ternyata, anjing tersebut
mengeluarkan air liur sebagai reaksi hadap bunyi lonceng, sekalipun tidak ada
makanan.
Dari
percobaan ini, dapat diketahui bahwa ternyata anjing bisa memperlihatkan
reaksi-reaksi (dalam hal ini air liur) melalui proses-proses persyaratan (conditioning).
Artinya, dari satu rangsangan (stimulus) dipindahkan ke rangsangan yang
lain (makanan – lonceng, dan lonceng at diteruskan dengan lampu). Dengan
demikian, juga terjadi pemindahan satu refleks ke refleks yang lain.
Berdasarkan
contoh tersebut, bisa disimpulkan mengenai hal belajar 2ai berikut.
1. Laku yang satu (perbuatan
maupun refleks) bisa dipindahkan ke laku yang lain. Demikian pula terjadi dalam
pembentukan kebiasaan dan juga kemampuan-kemampuan lain seperti kemampuan
mengingat.
2. Belajar erat hubungannya
dengan prinsip penguatan kembali atau dengan perkataan lain, ulangan-ulangan
dalam hal belajar adalah penting.
Prosedur
conditioning Pavlov disebut "klasik", karena merupakan suatu penemuan
bersejarah dalam psikologi. Barangkali yang menyebabkan conditioning tersebut
terkenal ialah kita sering pula merasakan diri kita terkondisi pada macam-macam
penglihatan dan bunyi, misalnya: air liur keluar karena melihat, mencium, ataupun memikirkan
makanan lezat.
Berbagai istilah yang
menggambarkan conditioning dapat digambarkan percobaan Pavlov. Tepung daging
yang menyebabkan keluarnya air liur tanpa latihan disebut uncontioned
stimulus (US) yang menimbulkan suatu uncontioned
respons (UR). Setelah
prosedur conditioning; bunyi lonceng yang menyebabkan keluarnya air liar
disebut sebagai conditioned stimulus yang
menimbulkan conditioned respons (CR). (Sebelum ada
condition.: bunyi lonceng tidak menimbulkan respons yang kita kehendaki. Oleh karena itu, ia disebut sebagai
stimulus netral).
Watson
mengadakan berbagai eksperimen mengenai "perasaan takut". anak dengan
menggunakan tikus dan kelinci. Dari hasil percobaannya, ditarik kesimpulan
bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah dilatih. Anak percobaan Watson yang mula-mula tidak takut kepada
kelinci, dibuat menjadi takut kepada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya
ula sehingga tidak menjadi takut lagi kepada kelinci.
Begitulah, menurut teori conditioning, belajar
adalah suatu proses perubahan yang
terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan respons. Untuk
menjadikan seseorang itu belajar, ia harus memberikan syarat-syarat tertentu.
Yang terpenting dalam belajar, menurut teori conditioning, ialah adanya
latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar
yang terjadi secara otomatis.
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah
laku manusia juga tidak lain merupakan hasil dari conditioning,
yakni hasil dari latihan-latihan atau
kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat atau perangsang- perangsang tertentu
yang dialaminya dalam kehidupannya.
Kelemahan conditioning klasik,
antara lain, adalah sebbagai berikut
(Purwanto, 1995):
1. Teori ini menganggap bahwa belajar hanyalah terjadi secara otomatis;
keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya.
2. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan; sedangkan kita tahu
bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak sematamata bergantung pada
pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih
dan menentukan perbuatan serta reaksi apa yang akan dilakukannya.
3. Teori conditioning memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan
binatang. Namun, pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal
belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak
kecil.
b. Conditioning Operan (Operant Conditioning)
Istilah conditioning operan (operant
conditioning) diciptakan oleh
Skinner dam memiliki arti umum
conditioning perilaku. Istilah "operan" di berarti operasi (operation) yang pengaruhnya mengakibatkan organisme melakukan
suatu perbuatan pada lingkungannya
misalnya (Hardy & ..es, 1985; Reber, 1988).
Respons dalam conditioning operan terjadi tanpa
didahului stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan , reinforcer.
Reinforcer itu sendiri
sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah
respons tertentu, akan tetapi tidak sengaja diadakan
sebagai pasangan stimulus lainnya se dalam classical respondent conditioning.
Penelitian
conditioning operan dimulai pada awal abad ini dengan sejumlah
eksperimen oleh Thorndike (1898). Ia, yang banyak dipengaruhi oleh teori
evaluasi Darwin,
mencoba menunjukkan bahwa proses belajar pada hewan merupakan proses yang
terus-menerus, sama seperti proses belajar pada manusia.
Thorndike
mempelajari pemecahan masalah pada kucing dan berhasil merancang sebuah
"kotak teka-teki", sehingga kucing yang diletakkan dalam kotak
tersebut dapat keluar dari kotak dengan cara menarik simpul tali, baik dengan
menggunakan kaki maupun dengan mulut. Dengan menarik simpul tali, kait akan
terlepas dan pegas akan menarik pintu sehingga pintu terbuka. Setelah
meletakkan seekor kucing di dalam kotak, Thorndike mencatat waktu yang
dibutuhkan kucing untuk keluar dari kotak
tersebut. Jika berhasil keluar, kucing tersebut dimasukkan lagi dalam kotak
untuk dicatat lagi waktu keberhasilan kucing keluar dari kotak. Ketika hasil pencatatan
waktu ini digambarkan, Thorndike melihat bahwa pada umumnya hewan tersebut
membutuhkan waktu yang lebih singkat pada setiap percobaan berikutnya. Sesudah
kira-kira dua puluh kali percobaan, kucing mampu meloloskan diri secepat ketika
dimasukkan ke dalam kotak. Thorndike kemudian mengemukakan hipotesisnya:
apabila suatu respons berakibat menyenangkan, ada kemungkinan respons yang lain
cenderung berakibat sama. Hipotesis kemudian dikenal sebagai hukum efek
(Law of Effect).
Meskipun
Thorndike yang menjadi pelopor dalam pengkajian bagaimana rasa puas mendorong
pembelajaran, Skinner-lah yang menyelidiki kerja terinci "hukum efek"
(Sylva & Lunt, 1986). B.F.
Skinner dianggap sebagai Bapak conditioning operan. Walaupun hasil
karyanya didasarkan pada hukum efek yang dikemukakan oleh Thorndike, Skinner
telah memasukkan unsur penguatan dalam hukum efek tersebut (Hardy & Heyes,
1985: 42).
Seperti
sudah disinggung di muka, conditioning operan adalah nama yang digunakan oleh
Skinner (1938) untuk suatu prosedur yang menyebabkan individu bisa mengontrol
tingkah laku organisme melalui pemberian ganjaran yang bijaksana dalam
lingkungan yang relatif bebas.
Perbedaan
antara proses belajar klasik dan belajar operan adalah adanya stimulus
diskriminan tersebut, yaitu
yang membedakan antara kondisi saat suatu perilaku berhasil secara efektif dan
kondisi perilaku tidak akan efektif (Sarwono, 1997:69).
Skinner
sependapat dengan Watson bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor
luar (faktor lingkungan, rangsangan, atau stimulus). Ia mengatakan bahwa dengan
memberikan ganjaran positif (pocitive reinforcement), suatu perilaku akan
ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatif
(negative reinforcement), suatu perilaku akan dihambat.
Sebagai
contoh, anak yang buang air di celana, selalu dimarahi ibunya (ganjaran
negatif). Sebaliknya, jika ia mengatakan terlebih dahulu kepada ibunya bahwa ia
akan buang air sehingga ibu bisa membawanya ke WC, anak itu akan dipuji ibunya
(ganjaran positif). Lama-kelamaan anak itu belajar buang air di WC saja, bukan
di sembarang tempat. Di pihak lain, jika anak itu mengatakan bahwa ia ingin
buang air, padahal ia tidak sakit perut, ibunya juga akan memarahinya karena
setelah berepot-repot mendudukkannya di WC, anak itu tidak mau buang air.
Dengan demikian, anak itu belajar bahwa ia hanya boleh mengatakan "mau
buang air" jika sakit perut. Proses belajar seperti ini oleh Skinner
dinamakan proses belajar operan.
Meskipun
begitu, penekanan pada eksperimen laboratorium terkendali, selain memiliki
kekuatan, juga kelemahan. Di antara kelemahan-kelemahan teori tersebut adalah
sebagai berikut (Syah, 1995:108).
(1) Proses belajar dapat diamati secara langsung,
padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari
luar, kecuali sebagai gejalanya.
(2) Proses belajar bersifat
otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti gerak mesin dan robot, padahal
setiap individu memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self
control (pengendalian diri) yaang bersifat kognitif, sehingga ia bisa menolak
untuk merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau
berlawanan dengan kata hati.
(3) Proses belajar manusia
yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat
mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.
2. Teori Psikologi Gestalt
Teori
belajar menurut psikologi Gestalt sering kali disebut insight full learning
atau field theory. Ada
pula istilah lain yang sebetulnya identik dengan teori ini, yaitu organismic,
pattern, holistic, integration, configuration, dan closure.
Jiwa
manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur atau merupakan suatu sistem,
bukan hanya terdiri atas sejumlah bagian atau unsur yang satu sama lain
terpisah, yang tidak mempunyai hubungan fungsional. Manusia adalah individu
yang merupakan berbentuk jasmani-rohani. Sebagai individu, manusia itu
bereaksi, atau lebih tepatnya berinteraksi, dengan dunia luar, dengan
kepribadiannya, dan dengan cara yang unik pula. Sebagai pribadi, manusia tidak
secara langsung bereaksi terhadap suatu perangsang, dan tidak pula reaksinya
itu dilakukan secara trial and error seperti dikatakan oleh penganut teori
conditioning. Interaksi manusia terhadap dunia luar bergantung pada cara ia
menerima stimulus dan bagaimana serta apa motif-motif yang ada padanya. Manusia
adalah makhluk yang memiliki kebebasan. la bebas memilih cara bagaimana ia
berinteraksi; stimulus mana yang diterimanya dan mana yang ditolaknya.
Atas
dasar itu, maka belajar, dalam pandangan psikologi Gestalt, bukan sekadar
proses asosiasi antara stimulus-respons yang kian lama kian kuat disebabkan
adanya berbagai latihan atau ulangan-ulangan. Menurut aliran ini, belajar itu
terjadi apabila terdapat pengertian (insight). Pengertian ini muncul jika
seseorang, setelah beberapa saat, mencoba memahami suatu problem, tiba-tiba
muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu
dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut-pautnya, untuk kemudian dimengerti
maknanya.
Prinsip-prinsip
belajar berikut ini lebih merupakan rangkuman atau kesimpulan dari teori
psikologi Gestalt:
(1) Belajar
dimulai dari suatu keseluruhan, kemudian baru menuju bagian-bagian. Dari
hal-hal yang sangat kompleks menuju hal-hal yang lebih sederhana.
(2) Keseluruhan
memberi makna pada bagian-bagian. Bagian-bagian terjadi dalam suatu
keseluruhan. Bagian-bagian itu hanya bermakna dalam rangka keseluruhan
tersebut.
(3) Belajar
adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Seseorang belajar jika ia dapat
bertinak dan berbuat sesuai dengan yang dipelajarinya.
(4) Belajar
akan berhasil bila tercapai kematangan untuk memperoleh pengertian. Pengertian
adalah kemampuan hubungan antara berbagai faktor dalam situasi yang
problematis.
(5) Belajar
akan berhasil jika ada tujuan yang berarti bagi individu.
(6) Dalam proses belajar itu,
individu selalu merupakan organisme yang aktif, bukan bejana yang harus diisi
oleh orang lain.
0 comments:
Posting Komentar