Khitbah : Pinangan dalam Hukum Islam
I. Pengantar
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini
mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan
perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13.
keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fqh
madzhab, terutama madzhab Syafi’ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam
kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan
setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur
dalam KHI .
Kami akan menjelaskan pengertian pinangan, hukum peminagan ,
Syarat-Syarat Khitbah, Pembatalan Tali Pertunangan , akibat hukum pinangan.
II. Pembahasan
A.
Pengertian Khitbah
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan
pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara,
bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi
perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan
pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki
terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah"
(melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan
antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan
syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu,
khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan
wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan
perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan
akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan
dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang
intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual
seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita
catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju
pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah
menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir
dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus
tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi
komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah
sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah
bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga
peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang
menghendaki lain.
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih
hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun
keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan
hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan
dalam hadits:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا يَبِيعُ
الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا
تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا
Dari Abu
Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh salah seorang
diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq 'alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang
telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si
pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh
si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad
nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan
kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka
perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara',
maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si
peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.
0 comments:
Posting Komentar