Senin, 22 Agustus 2011

Takhrijul-Hadis Sebagai Langkah Awal Kegiatan Penelitian Hadis

Takhrijul-Hadis Sebagai Langkah Awal Kegiatan Penelitian Hadis

A.     Pengertian Takhrijul-Hadis

Dr. mahmud at-Tahhan menjelaskan bahwa kata at-takhrij menurut pengertian asal bahasanya ialah “Berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Kata at-takhrij sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian; dan pengertian-pengertian yang popular untuk kata at-takhrij itu ialah : (1) al-istimbat (hal mengeluarkan); (2) at-tadrib (hal melatih atau hal membiasakan); dan (3) at-taujih (hal memperhadapkan).
Menurut istilah dan yang biasa dipakai oleh ulama hadis, kata at-takhrij mempunyai beberapa arti, yakni :
1.  Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2.  Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telag dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan).
4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.
5.  Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sandnya masing-masing; kemudian, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.

Pengertian yang dikehendaki untuk penelitian
Bila kelima pengertian tkhrij itu diperhatikan, maka pengertian yang dikemukakan butir pertama merupakan salah satu kegiatan yang telah dilakukan oleh para periwayat hadis yang menghimpun hadis ke dalam kitab hadis yang mereka susun masing-masing, misalnya Imam al-Bukhari dengan kitab shahih-nya, Imam Muslim dengan kitab shahih-nya, dan Abu Daud dengan kitab Sunan-nya.
Pengertian at-takhrij yang dikemukakan pada butir kedua telah dilakukan oleh banyak ulama hadis, misalnya oleh Imam al-Baihaqi, yang telah banyak “mengambil” hadis dari kitab as-Sunan yang disusun oleh Abul-Hasan al-Basri as-Saffar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanad-nya sendiri.
Pengertian at-takhrij pada butir ketiga banyak dijumpai pada kitab-kitab himpubab hadis, misalnya Bulughul-Maram susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Dalam melakukan pengutipan hadis pada karya tulis ilmiah, mestinya diikuti pengertian at-takhrij pada butir ketiga tersebut, dengan dilengkapi data kitab yang dijadikan sumber. Dengan demikian, hadis yang dikutip tidak hanya matan-nya saja, tetapi minimal juga nama mukahrrij-nya dan nama periwayat pertama (sahabat Nabi) yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan.
Pengertian istilah at-takhrij yang dikemukakan pada butir keempat, biasanya digunakan oleh ulama hadis untuk menjelaskan berbagai hadis yang termuat di kitab tertentu, misalnya kitab Ihya’ ‘Ulumud-Din susunan Imam al-Ghazali (wafat 5050 H / 1111 M), yang dalam penjelasannya itu dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadis dan kualitasnya masing-masing. Zainud-Din ‘Abdir-tahman bin al-Husain al-‘Iraqi (wafat 806 H / 1404 M) telah menyusun kitab takhrij hadis untuk kitab Ihya’ ‘Ulumud-Din dengan judul Ikhbar al-Ihya’ bi Akhbar al-Ihya’, sebanyak empat jilid.
Adapun pengertian at-takhrij yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis lebih lanjut ialah pengertian yang dikemukakan pada butir kelima. Berangkat dari pengertian itu, maka yang dimaksud dengan takhrijul-hadis dalam hal ini ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matn dan sanad hadis yang bersangkutan.

B.     Sebab-sebab Perlunya Kegiatan Takhrij Hadis

Bagi seorang peneliti hadis, kegiatan takhrijul-hadis sangat penting. Tanpa dilakukan kegiatan takhrijul-hadis terlebih dahulu maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadis itu, dan ada atau tidaknya korroborasi (syahid atau mutabi’) dalam sanad bagi hadis yang ditelitinya. Dengan demikian, minimal ada hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrijul-hadis dalam melaksanakan penelitian hadis. Berikut ini dikemukakan ketiga hal tersebut.
1.   Untuk mengetahui asal-usul riwaat hadis yang akan diteliti
Suatu hadis akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila terlebih dahulu tidak diketahui asal-usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matn yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa diketahui susunan sanad dan matn-nya secara benar maka hadis yang bersangkutan akan sulit diteliti secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asal-usul hadis yang akan diteliti itu, maka kegiatan takhrij perlu dilakukan lebih dahulu.
2.   Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti
Hadis yang akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin saja, salah satu sanad hadis itu berkualitas daif, sedang yang lainnya berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas daif dan yang berkualitas sahih maka terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadis yang bersangkutan. Dalam hubunganya untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang sedang akan diteliti, maka kegiatan takhrij perlu dilakukan.
3.   Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti
ketika hadis diteliti salah satu sanad-nya, mungkin ada periwayat lain yang sanad-nya mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan (corroboration) itu bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat sahabat Nabi, disebut sebagai syahid, sedang bila terdapat dibagian bukan periwayat tingkat sahabat disebut sebagai mutabi’.  Dalam penelitian sebuah sanad, syahid yang didukung oleh sanad kuat dapat memperkuat sanad yang sedang diteliti. Begitu pula mutabi’ yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkankan kekuatannya oleh mutabi’ tersebut. Untuk mengetahui, apakah suatu sanad memiliki syahid atau mutabi’, maka seluruh sanad hadis itu harus dikemukakan. Itu berarti, takhrijul-hadis, harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa kegiatan takhrijul-hadis, tidak dapat diketahui secara pasti seluruh sanad untuk hadis yang sedang diteliti. 

C.     Metode Takhrijul-Hadis

1.   Kitab atau buku yang menjelaskannya
Menelusuri hadis sampai kepada sumber asalnya tidak semudah menelusuri ayat al-Qur’an. Untuk menelusuri ayat al-Qur’an, cukup diperlukan sebuah kamus al-Qur’an, misalnya kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazil-Qur’anil Karim susunan Muhammad Fu’ad ’Abdul-Baqi’, dan sebuah kitab rujukan berupa mushaf al-Qur’an. Untuk menelusuri hadis, tidak cukup hanya menggunakan sebuah kamus dan sebuah kitab rujukan berupa kitab hadis yang disusun oleh mukahrrij-nya. Yang menyebabkan hadis begitu sulit untuk ditelusuri sampai sumber asalnya karena hadis terhimpun dalam banyak kitab.
Dengan dimuatnya hadis Nabi di berbagai kitab hadis yang jumlahnya banyak, maka sampai saat ini belum ada sebuah kamus yang mampu memberi petunjuk untuk mencari hadis yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada. Kamus hadis yang telah ada hanya terbatas untuk memberi petunjuk pencarian hadis yang termuat di sejumlah kitab hadis saja. Dari sebagian kamus hadis itu pun ada yang tidak menjelaskan cara penggunaanya.
Untuk mengetahui kitab-kitab kamus hadis yang bermanfaat bagi kegiatan takhrijul-hadis dan sekaligus untuk memahami cara penggunaan dari kamus-kamus itu, perlu dibaca beberapa kitab atau buku, misalnya :
1.  Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid (Halb : al-Matba’ah al-’Arabiyyah, 1398 H / 1972 M), susunan Dr. Mahmud at-Tahhan.
2.  Cara Praktis Mencari Hadis (Jakarta : Bulan Bintang, 1412 H / 1991 M), susunan Dr. M Syuhudi Isma’il
Kedua buku itu, atau salah satu diantaranya, dapat membantu bagaimana cara yang harus dilakukan dalam melaksanakan kegiatan takhrijul-hadis.

2.  Macam-macam metode yang dapat dipakai
Dalam buku Cara Praktis Mencari Hadis dikemukakan bahwa metode takhrij ada dua macam, yakni takhrijul-hadis bil-lafz dan takhrijul-hadis bil-maudu’. Takhrij yang disebutkan pertama berdasarkan lafal dan takhrij ang disebutkan kedua berdasarkan topik masalah. Berikut ini dijelaskan kedua macam metode takhrij itu sepintas lalu.
a.  Metode Takhrijul-Hadis bil Lafz
Ada kalanya hadis yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja dari matn-nya. Bila demikian, maka takhrij melalui penelusuran lafal matn lebih mudah dilakukan.

Kitab-kitab yang diperlukan
Untuk kepentingan takhrijul-hadis berdasarkan lafal tersebut, selain diperlukan kitab kamus hadis, juga diperlukan kitab-kitab yang menjadi rujukan dari kitab kamus itu. Kitab kamus hadis yang termasuk agak lengkap untuk kepentingan kegiatan ini adalah kitab susunan Dr. AJ. Wensinck dan kawan-kawan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu’ad ’Abdul-Baqi dengan judul : المعجم المفهرس لألفاظ الحديث النبوي.
Kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan kamus hadis tersebut ada sembilan buah, yakni Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan at-Turmuzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan ibni Majah, Sunan ad-Darimi, Muatta’ Malik, dan Musnad Ahmad bin Hambal. Untuk hadis yang termuat di luar kesembilan hadis tersebut, perlu digunakan kamus lainnya yang merujuk kepada kitab yang bersangkutan.

Kemungkinan hasilnya
Setelah kegiatan takhrij dilakukan, mungkin belum semua riwayat telah dicakup. Untuk itu, hadis yang telah di-takhrij tadi. Lafalnya yang lain peru dicoba dipakai untuk men-takhrij- lagi. Dengan demikian, akan dapat diketahui semua riwayat berkenaan dengan hadis yang ditelusuri tadi.
Adakalanya, semua lafal dalam matn hadis telah dipakai sebagai acuan untuk melakukan kegiatan takhrij, tetapi hasilnya masih belum lengkap juga, maka dalam hal ini masih perlu dipakai kamus hadis lainnya yang mungkin dapat melengkapinya.
Contoh Umpama saja hadis yang diingat hanyalah bagian lafal matn yang berbunyi من رأى منكم منكرا. Dengan modal lafal منكرا, maka lafal itu ditelusuri melalui halaman kamus yang memuat lafal نكر. Setelah diperoleh, lalu dicari kata منكرا. Dibagian itu ada petunjuk bahwa hadis yang dicari memiliki sumber yang cukup banyak, yakni :
1.  Sahih Muslim, kitan Iman, nomor hadis 78.
2.  Sunan Abi Daud, kitab Shalat, bab 242; dan kitab Malahim bab 17.
3.  Sunan at-Turmuzi, kitab Fitan, bab 11.
4.  Sunan an-Nasa’i, kitab Iman, bab 17.
5.  Sunan Ibni Majah, kitab Iqamah, bab 155; dan kitab Fitan, bab 20.
6.  Musnad Ahmad bin Hambal, juz III, halaman 10, 20, 49, dan 52-53.
Apabila akan dilakukan penelitian, maka semua riwayat yang dikemukakan oleh keenam kitab di atas perlu dikutip secara cermat. Tentu saja, untuk menghindari adanya riwayat yang tidak tercakup, kegiatan takhrij dengan mengacu kepada lafal-lafal yang lain yang terdapat dalam matn yang sama perlu dilakukan. Untuk contoh hadis di atas, setelah ditelusuri semua kata yang termuat dalam matn, ternyata diperoleh tambahan keterangan bahwa hadis tersebut termuat juga di Musnad Ahmad bin Hambal, juz III, halaman 92, yakni dengan menelusuri melalui kata قلب. Untuk penelusuran kata رأى data yang tercantum pada kamus terdapat banyak kesalahan, sedang untuk kata-kata lainnya, yakni يغير, يده, dan لسانه, data yang dikemukakan justru kurang lengkap.
Berdasarkan data dari kitab al-mu’jam tersebut, ternyata jumlah riwayat untuk hadis yang di-takhrij di atas ada 14 macam, masing-masing terletak di kitab-kitab :
1.  Sahih Muslim                    : dua riwayat, pada juz I, h, 69.
2.  Sunan Abi Daud                : dua riwayat, pada juz I, h. 297; dan juz IV h. 123.
3.  Sunan at-Turmuzi             : satu riwayat, pada juz III, hh. 317-218
4.  Sunan an-Nasa’i               : dua riwayat, pada juz VIII, hh. 111-112.
5.  Sunan Ibni Majah             : dua riwayat, pada juz I, h. 406; dan juz II, h. 1330
6.  Musnad Ahmad                 : lima riwayat, pada juz III, hh. 10,20,49,52-53, dan 92
Apabila hadis tersebut akan diteliti, maka seluruh riwayat hadis dikutip secara cermat, baik sanad-nya maupun matn-nya. Susunan kalimat pada matn memang terdapat perbedaan, namun maknanya sama. Hal itu wajar terjadi sebab dalam periwayatan hadis, sebagaimana telah dibahas pada uraian terdahulu, telah terjadi periwayatan secara makan. Dalam bab V, seluruh riwayat di atas dikutip secara lengkap untuk bahan penelitian kualitas sanad hadis yang bersangkutan.

b.  Metode takhrijul-hadis bil maudu’ (penelusuran hadis melalui topik masalah)
Mungkin saja hadis yang akan diteliti tidak terikat pada bunyi lafal matn hadis, tetapi berdasarkan topik masalah. Misalnya, topik masalah yang akan diteliti adalah hadis tentang kawin kontrak atau nikah mut’ah. Untuk menelusurinya, diperlukan bantuan kitab kamus ataupun semacam kamus yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai riwayat hadis tentang topik tersebut.

Kitab-kitab yang diperlukan
Sesungguhnya cukup banyak kitab yang menghimpun berbagai hadis berkenaan dengan topik masalah. Hanya saja, pada umumnya kitab-kitab tersebut tidak menyebutkan data kitab sumber pengambilannya secara lengkap. Dengan demikian, bila hadis-hadis yang bersangkutan akan diteliti, masih diperlukan penelusuran tersendiri.
Untuk saat ini, kitab kamus yang disusun berdasarkan topik masalah yang relatif agak lengkap adalah kitab susunan Dr. A.J. Wensinck dkk. yang berjudul : مفتاح كنوز السنة.
Kitab-kitab yang menjadi rujukan kitab kamus tersebut ada 14 macam kitab, yakni kesembilan macam kitab yang menjadi rujukan المعجم sebagaimana telah dikemukakan di atas ditambah lagi dengan Musnad Zaid bin ‘Ali, Musnad Abi Daud at-Tayalisi, Tabaqat Ibn Sa’ad, Sirah Ibn Hisyam, dan Magazi al-Waqidi.

Kemungkinan hasilnya
Data yang dimuat oleh kitab Miftah tersebut memang sering tidak lengkap, begitu juga topik yang dikemukakannya. Walaupun begitu, kitab kamus tersebut cukup membantu untuk melakukan kegiatan takhrij hadis berdasarkan topik masalah. Untuk melengkapi data yang dikemukakan oleh kitab kamus itu, dapat dipakai sejumlah kitab Himpunan hadis yang disusun berdasarkan topik masalah, misalnya Muntakhab Kanzil-‘Ummal, susunan ‘Ali bin Hisam ad-Din al-Mutqi, yang kitab rujukannya lebih dari dua puluh macam kitab.
Contoh : untuk contoh topik yang berkenaan dengan nikah mut’ah itu, kamus Miftah Kunuzis-Sunnah mengemukakan data hadis yang bersumber kepada kitab-kitab antara lain Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan at-Turmuzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibni Majah, Sunan ad-Darimi, Muatta’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abi Daud at-Tayalisi, Musnad Zaid bin ‘Ali, dan Tabaqat Ibn Sa’ad. Pada masing-masing kitab dibubuhkan data tentang letak hadis yang bersangkutan.
Apabila seluruh hadis yang berkenaan dengan topik nikah mut’ah itu akan diteliti, maka terlebih dahulu seluruh riwayatya harus dikutip secara cermat, baik sanad-nya maupun matn-nya. Untuk melengkapi bahan penelitian, berbagai matn yang telah dikutip itu dapat dilakukan takhrij melalui lafal.


1 comments:

Ihda Ins Ide mengatakan...

assalamu`alaikum yaa akhi...afwan sebelumnya..boleh ndak saya minta risensinya sampai akhir kalo dibuku sampai hal. 41 sampe 90 kalo gag salah dari BAB IV...sukron..