Rabu, 09 November 2011

Positivisme


Positivisme

A.    Pengertian Positivisme

Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798 – 1857) yang tertuang dalam karya utama Auguste Comte adalah Cours de Philosophic Positive, yaitu Kursus tentang Filsafat Positif (1830 – 1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karyanya yang pantas disebutkan di sini ialah Discour L'esprit Positive (1844) yang artinya Pembicaraan tentang Jiwa Positif. Dalam karya inilah, Comte menguraikan secara singkat pendapat-­pendapat positivis, hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89),
Positivisme berasal dari kata "positif". Kata "positif" disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak oleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu pulalah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan "hakikat" benda-benda atau "penyebab yang sebenarnya", bagi positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja, berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan. Positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89)

B.     Perspektif Positivistik tentang Masyarakat

Meskipun Comte yang memberikan istilah "positivisme", gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan berasal dari dia. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-­hukumnya sudah tersebar luas lingkungan intelektual pada masa Comte. Akan tetapi, sementara kebanyakan kelompok positivis berasal dari kalangan orang-orang yang progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi­-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat menurut hukum alam sehingga menjadi lebih rasional, Comte percaya bahwa penemuan hukum­hukum alam itu akan membukakan batas-batas yang pasti yang (inherent) dalam kenyataan sosial, dan jika melampaui batas-batas itu, usaha pembaharuan akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya. Skeptisisme Comte berhubungan dengan usaha-usaha pembaharuan besar­besaran serta penghargaan terhadap tonggak-tonggak keteraturan sosial tradisional menyebabkan dia dimasukkan ke dalam kategori orang konservatif.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekadar jumlah bagian-bagian yang saling bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris ,harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup per­kembangan dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang posifif. Bidang sosiologi (atau fisika sosial) adalah paling akhir melewati tahap-tahap, ini, karena pokok permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan biologi.

C.    Hukum Tiga Tahap

Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dan masa primitif sampai peradaban Perancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dan gagasan-gagasari teoretis pokok Comte, tidak lagi diterima sebagai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehiquga tidak dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara teliti, yang menuntut Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatakan baj'hwa masyarakat (atau umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, yaitu teologis, metafisik, dan positif.
  1. Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisis yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya, fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak idea itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi. Katolisme pada abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
2.   Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum­hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut­turut dari semangat teologis kepada munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu manifestasi yang serupa dan semangat ini dinyatakan dalam Declaration of Independence: "Kita menganggap kebenaran ini jelas dari dirinya sendiri ...... Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
3. Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan .data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisis rasional mengenai data empiris akhirnya memungkinkan manusia untuk mem­peroleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih daripada kemutlakan metafisik. (Doyle Paul Jhonson, Robert MZ. Lawang, 86)

D.    Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial

Sejalan dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara "bagian-bagian" masyarakat, clan sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali. Sesungguhnya periode sejarah yang lama sudah ditandai oleh stabilitas yang berarti, dan sebagian tugas Comte, yang dia berikan sendiri adalah menemukan sumber-sumber stabilitas ini.
Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan mengguna­kan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.

E.     Tiga Zaman Perkembangan Pemikiran Manusia

Titik tolak ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya atas perkembangan pengetahuan manusia, baik perseorangan maupun umat manusia secara keseluruhan, melalui tiga zaman atau tiga stadia. Menurutnya, perkembangan menurul tiga zaman ini merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman itu ialah zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau positif.
  1. Zaman Teologis

Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis dapat dibagi lagi menjadi tiga periode berikut :
a.  Animisme. Tahap animisme merupakan tahapan paling primitif karena benda-benda dianggap mempunyai jiwa
b. Politeisme. Tahap politeisme merupakan perkembangan dari tahap pertama, pada tahap ini, manusia percaya pada dewa yang masing­masing menguasai suatu lapangan tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya.
c.  Monoteisme. Tahap monoteisme ini lebih tinggi daripada dua tahap sebelumnya, karena pada tahap ini, manusia hanya memandang satu Tuhan sebagai penguasa.
  1. Zaman Metafisis

    Pada zaman ini, kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip yang abstrak, seperti "kodrat" dan "penyedap". Metafisika pada zaman ini dijunjung tinggi.
  1. Zaman Positif

    Zaman ini dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya ialah pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta­fakta yang disajikan kepadanya., Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusla berusaha menetapkan relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Hukum tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai allak manusia berada pada zaman teologis, pada masa remaja, ia masuk-zaman metafisis dan pada masa dewasa, ia memasuki zaman positif. Demikian pula, ilmu pengetahuan berkembang mengikutiiiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada zaman positif. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 90 dan lihat K. Bertens, 73 - 74)

F.     Susunan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan tidak semuanya mencapai kematangan yang sama pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu, memungkinkan untuk melukiskan perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan yang dipelajari di dalamnya. Urutan perkembangan ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa sehingga yang satu selalu mengandalkan ilmu pengetahuan yang lain mendahuluinya. Dengan demikian, Comte membedakan enam ilmu pengetahuan pokok, yaitu: ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan puncaknya pada sosiologi. Semua ilmu pengetahuan, menurut Comte, dapat dijabarkan kepada salah satu dari enam ilmu tersebut.
Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakan juga tentang gerak. Dalam fisika ditambah lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya, kimia membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan dan dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi Yang kini membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan yang diberi nama sosiologi yang mengambil objek' penyelidikannya gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk-makhluk hidup yang merupakan objek biologi, ilmu sebelum sosiologi. Karena istilah sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha ilmiah seluruhnya, sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu-ilmu lain mencapai kematangan. Oleh karena itu, Comte beranggapan bahwa selaku `pencipta' sosiologi, ia menghantarkan ilmu pengetahuan masuk ke tahap positifnya. Dengan demikian, merancang sosiologi, Comte mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum.- hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 92)

Dengan demikian, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu. yang di luar fakta atau kenyataan dikesam­pingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Menurut Auguste Comte (1798 - 1857 M), indra itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan. ukuran-ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur denglan meteran, berat dengan kiloan, clan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas; kopi panas, ketika panas. Kita juga tidak cukup mengatakan palms sekali, panas, tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. 
Positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. la hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen clan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.

0 comments: