Senin, 20 Mei 2013

Al-Khawarij

A.      AL – KHAWARIJ
1. Latar Belakang Kemunculan Khawarij
            Secara etimologis kata Khawarij berasal dari bahasa Arab kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak[1]. Berdasarkan etimilogis pula, Khawarij juga berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam[2].
Dalan terminologi Ilmu Kalam, yang dimaksud dengan Khawarij adalah suatu sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib  yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang siffin pada tahun 37 H/ 648 M dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah[3] Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani,  bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam[4] yang telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa khulafaurrasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik.
            Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana, baik dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.
Pada masa-masa perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat. Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok jazirah Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai tempat dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan pandangan di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.
Awal mulanya kaum Khawarij adalah suatu gerakan kaum muslimin dalam bidang politik yang kemudian beralih pada bidang teologi. Mereka adalah orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali, akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, menerima tahkim yang sangat mengecewakan[5], sebagaimana mereka membenci Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali sebagai khalifah yang sah. Mereka menyatakan konfrontasinya dengan fihak Mu’awiyah. Mereka juga menuntut agar Sayyidina Ali mengakui kesalahannya karena mau menerima tahkim. Jika Sayyidina Ali mau bertaubat, maka mereka bersedia untuk bergabung kembali kebarisan Ali untuk melawan Mu’awiyah. Namun bila tidak, orang-orang khawarij akan menyatakan perang kepadanya dan kepada Mu’awiyah.
            Kemudian awal mula penyebab kemunculan kaum Khawarij adalah kekecewaan mereka terhadap keputusan Ali yang menerima tahkim yang sangat mengecewakan dan berbau kelicikan dari Mu’awiyah. Sehingga Sayyidina Ali mendapatkan kekalahan dalam perang Siffin. Namun karena Ali menerima perjanjian damai yang ditawarkan oleh pihak Mu’awiyah, maka Sayyidina Ali berbalik memperoleh kekalahan yang seharusnya mereka dapatkan dan telah berada di depan mata.
            Ali sebenarnya telah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Mu’awiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu, namun karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’at bin Qois, Mas’ud bin Fudaki At-Tamami, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan komandan pasukan perang untuk menghentikan peperangan[6].
            Setelah menerima ajakan damai tersebut, Mu’wiyah mengirimkan Amr bin Al-Asy sebagai utusannya untuk melakukan perundingan perdamaian. Demikian juga Ali yang mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, namun orang-orang Khawarij  menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari golongan Ali sendiri. Sehingga pada akhirnya Ali mengirimkan Abu Musa Al-Asy’ari sebagi delegasi juru damainya, dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.
            Keputusan dari tahkim yang dilakukan oleh pihak Ali dan Mu’awiyah mengakibatkan diturunkannya Ali dari jabatan Khalifah, dan Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah sebagai pengganti Ali. Hasil tahkim yang di umumkan ini tidak lepas dari adanya kecurangan dan tipu muslihat dari pihak Mu’awiyah yang menyelewengkan hasil kesepakatan tahkim yang dilakukan secara tertutup dari kaum muslimin. Dengan menerimanya Ali dengan hasil tahkim yang penuh dengan kecurangan dan mengecewakan ini, kontan membuat orang-orang Khawarij kecewa dan menyatakan diri untuk keluar dari barisan Ali karena menganggap Ali tidak menggunakan hukum Allah dalam mengambil keputusan. Sehingga menyebabkan sebutan kafir bagi Ali dan Mu’awiyah, serta mereka kontan memberikan pernyataan perang melawan keduanya.
            Setelah orang-orang Khawarij menyatakan keluar dari golongan Ali, kemudian dengan jumlah pengikut sekitar 12.000 orang mereka pergi menuju Hurura. Oleh sebab itu mereka disebut juga dengan nama Hururiyah. Dalam perjalanan ke Hurura mereka dipandu oleh Abdullah Al-Kiwa. Dan di hurura inilah mereka melanjutkan perlawanan mereka terhadap Ali dan Mu’awiyah dengan mengangkat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi[7].
2. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij
Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka berusaha untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini[8] :
1.        Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
2.         Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
3.   Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
4.  Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
5.         Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
6.    Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
     Selain pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki pandangan atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
1.        Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
2.         Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri islam.
3.         Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
4.         Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka).
5.         Amar ma’ruf nahi munkar.
6.         Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan.
7.         Qur’an adalah makhluk,
8.      Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar). 
   Bila dianalaisis lebih mendalam, ternyata doktrin yang dikembangkan oleh kaum Khawarij dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yakni politik, teologi[9], dan sosial. Dari ketiga doktrin tersebut, doktrin sentral aliran Khawarij adalah terletak pada bidang politik. Hal ini terbukti bahwa mereka memiliki pemikiran yang radikal dalam bidang politik. Namun, dari sifat yang radikal tersebut membuat mereka menjadi fanatik dalam manjalankan agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang Khawarij adalah orang yang bersifat keras dalam menjalankan ajaran agama.
B.     AL – MURJI’AH
1.     Asal-usul Kemunculan Murji’ah
            Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pangampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah  artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
            Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
            Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
            Rohison Anwar dan Abdul Razak, dalam bukunya mengatakan bahwa ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Kelompok ini diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.
            Dilain fihak, gagasan irja’ diperkirakan muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang dibawa oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiah sekitar pada tahun 695M. Dalam teori ini dikisahkan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah dunia islam dikoyak oleh pertikaian sipil karna telah terjadi perpecahan umat. Menanggapi hal ini Al-Hasan kemudian memberikan sikap politik sebagai upaya penanggulangan perpecahan uma islam tersebut, sehingga kemudian ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang dibawa oleh Al-Mukhtar, yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari kaum Khawarij yang menolak kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan dari pendosa.
            Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukan lah tahkim atas usulan Amr bin Asy, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Pada saat itu kelompok ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok yang mendukung dan menentang Ali.  Kelompok yang menentang Ali pada akhirnya keluar dan membentuk sebuah kelompok bernama Murji’ah. Golongan yang keluar dari barisan Ali ini menganggap bahwa keputusan tahkim tidak berdasarkan hukum Allah, melainkan bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat yang kemudian disebut dengan Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Allah akan mengampuninya atau tidak.
2. Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah
            Doktrin-doktrin aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
            Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
            Berdasarkan itu, maka inti faham atau doktrin-doktrin Murji’ah adalah sebagai berikut :
1.      Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
2.      Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.
Rohison dan Abdul Rozak dalam bukunya mengatakan bahwa gagasan irja banyak diaplikasikan kedalam bidang politik dan teoligi. Dalam bidang politik kaum Murji’ah banyak dikenal sebagai The Queietists (kelompok bungkam) karena sikap netral mereka pada permasalahan politik dan sikap mereka yang selalu diam dalam persoalan politik.
            Dalam bidang teologi, pemikiran mereka cenderung mengacu kepada permasalahan iman, kufur, dosa besar, dosa ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, ada yang kafir di generasi awal islam, tobat, hakekat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan.         
C.    QODARIYAH
1.      Asal Usul Kemunculan Qodariyah
Qodariyah berasal dari kata qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan[10], secara terminologi qodariyah adalah aliran yang percaya bahwa tindakan manusia tidak diinvestasikan oleh Tuhan[11]. Kaum Qodariyah memiliki keeyakinan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dunia ini murni berdasarkan atas kemampuan dan kekuatan manusia itu sendiri, lepas dari pegaruh Tuhan
Kapan Qodariyah muncul dan siapa tokoh-tokhnya? Hal ini merupakan permasalahan yang masih diperselisihkan, menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qodariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma`bad Al-Juhani dan Ghailan Adilan Ad-Dimasyky[12]. Ma`bad adalah seorang taba`i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Bashri[13]. Sedangkan Ghailan adalah orator dari Damasykus yang Ayahnya merpakan maula Utsman bin Affan.
2.      Doktrin Qodariyah
Qodariyah Mempunyai doktrin yang sama Mu`tazilah, yaitu percaya bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan, sehingga seraing kali orang menamakan Qodariyah dengan Mu`tazilah,. Manusia memiliki daya selama dia masih hidup, dan selama itu dia berkuasa atas paerbuatannya[14].
D.    JABARIYAH
1.    Asal-usul Pertumbuhan  Jabariyah
Kata Jabariyahberasal dari kata jabara yangberarti memaksadan mengharuskan sesuatu. Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al- jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. dengan kata lain manusia mengerjakan  perbuatannya dalam keadaan terpaksa .
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan.dalam sejarah teologi Islam Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’Dirrar.
sebenarnya faham al-jabar sudah ada sejak awal periode Islam. Namun al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan. baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah. tetapi ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermadzhab Qurra dan Kristen yang bermadzhab yacobit. namun tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga dikalangan umat Islam. di dalam al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini, misalnya:
ما كا نوا ليؤمنواالا أ ن يشاء الله
Artinya :
“ Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendak “
(Q.S. Al-An’am:111)
والله خلقكم وما تعملون
Artinya :
“Allah menciptakan kamu dan apa  yang yang kamu perbuat.”
(Q.S.Ash-Shoffat:96)
Dari ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah, dan mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir aliran jabariyah masih ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada.


[1] Abdu Al Qohir bin Thohir bin Muhammad Al-Baghdady, Al-Farq bain Firaq. Al-Azhar, Mesir, 1037,hlm. 75.
[2] Ali Mushtafa A-Ghuraby, tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah wan nasy`atu `Ilmil Kalam, Haidah Al-Azhar, Mesir1985, hlm. 264.
[3] Harun Nasution, Teologi Uslam: Aliran Sejarah Analisa Peerbandingan, UI. Press, 1985, hlm. 11.
[4]Abi Fath Muhmmad Abd Jarim As-Syahrastany, Al-Milal wa An Nihal, Dar Al-Fikr , Libanon, Beirut, hlm. 114
[5]Dr. Rosihon Anwar, Dr. Abd Rozak, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm. 50.
[6]Ibid
[7] Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam .........., hlm. 51.
[8]Ibid
[9]Dr. Rosihon, Ilmu Kalam ......, hlm. 52.
[10]Luwis Ma`luf Al-Yusu`i, Al-Munjid, Bairut, 1945, hlm. 436.
[11]Dr. Rosihon Anwar, Dr. Abd Rozak, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm. 70.
[12]Ahmad Amin, Fajar Al-Islam, Maktabah An=Nahdlah, Kairo, 1924, hlm. 284.
[13]Ibid
[14]Dr. Rosihon Anwar, Dr. Abd Rozak, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm. 73.

0 comments: