Senin, 21 Juli 2014

Peningkatan Kemampuan Membaca Referensi Arab Pada Santri Penghafal Al Qur'an

Di Indonesia, bahasa arab di gunakan sebagai mata pelajaran pada semua jenjang pendidikan islam. Dalam kenyataannya, mempelajari bahasa arab di anggap sulit di sebabkan berbagai problem baik bersifat linguistik maupun non linguistik. Di antara problem linguistik adalah pelafalan huruf dengan beberapa harokatnya.
Dalam proses belajar mengajar bahasa arab terdapat empat keterampilan berbahasa yang pada hakikatnya tidak dapat di pisahkan, yaitu istima’ (menyimak), kalam (berbicara), qiro’ah (membaca), dan kitabah (menulis). Pada tingkat dasar dan menengah, keterampilan tersebut diajarkan secara terpadu (nadhariyah wahdah).
Di antara keempat keterampilan bahasa tersebut, membaca merupakan faktor dasar dalam membina dan memperhalus kepribadian seseorang. Membaca dapat  menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Siapa yang tidak membaca dengan baik, tidak akan memperoleh hasil yang baik. Membaca adalah jendela ilmu pengetahuan bagi santri. Dengan perantara membaca, ia dapat mengerti kebudayaan islam dan arab. Oleh karena itu, membaca merupakan alat utama untuk mewujudkan keinginan dan memberikan pemahaman kepada siswa asing (non arab) yang mempelajari pemikiran bangsa arab dan buku-buku mereka.[1]
Informasi tentang perkembangan dalam berbagai segi kehidupan disebarluaskan melalui berbagai media, termasuk media cetak. Untuk memahami semua jenis yang termuat dalam berbagai bentuk tulisan di perlukan kegiatan membaca, disertai kemampuan untuk memahami isinya. Kemampuan memahami isi bacaan menjadi tujuan pokok dari pengajaran membaca.[2].
Bahasa Arab bukan hanya sekedar bahasa komunikasi  antar bangsa, lebih jauh dari itu bahasa arab merupakan bahasa kunci bagi umat islam guna mendalami Islam dari sumber-sumbernya yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits. Perlu diketahui pula, dalam mempelajari Al-Qur’an itu membutuhkan kemampuan berbahasa arab. Hal ini menyebabkan bahasa arab menjadi wajib hukumnya dalam memahami makna perkataan dan retorika Al-Qur’an dalam ta’bir (pengungkapan) serta ushlub (gaya bahasa) dalam menjelaskam sesuatu.[3]
Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah sekaligus mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbahasa arab yang sampai kepada manusia dengan cara mutawatir (langsung atau melalui lisan Nabi Muhammad SAW kepada orang banyak) yang kemudian termaktub dalam bentuk mushaf, dimulai surat Al-fatihah dan di tutup dengan surat An-Nas.[4]
Salah satu keistimewaan Al Quran adalah bahwa Al Quran di jamin keotentikannya oleh Allah, sehingga terpelihara kandungannya sampai hari akhir. Kebenaran dan keterpeliharaannya ini terbukti dalam beberapa ayat yang salah satu artinya adalah :
Artinya :     Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya[5]

Diantara perangkat untuk memeliharanya adalah dengan menyiapkan orang yang  menghafalkan Al-Qur’an pada setiap generasi. Namun demikian menghafal Al-Qur’an tidaklah sama dengan menghafal hal-hal yang lain seperti bait-bait, sya’ir, nastar (prosa) dan karya-karya sastra yang lainnya. Menghafal Al-Qur’an perlu mempersiapkaan diri baik lahir maupun batin secara seksama dan niat kesungguhan yang optimal. Oleh karena itu proses yang dijalani dalam penghafalan harus melalui berbagai macam  unsur dan tahapan yang harus ditempuh agar dapat menghafal dengan baik dan benar.
Untuk menghafal Al-Qur’an sudah barang tentu diperlukan metode yang dapat memudahkan usaha-usaha dalam menghafal, sehingga dapat berhasil dengan baik dan dapat selesai dalam waktu yang relatif singkat. Agar dapat menghafal Al-Qur’an dengan benar, maka disamping mempraktekkan setiap hari. Faktor kemampuan berbahasa arab seseorang  juga merupakan penunjang yang kuat dan dapat mempengaruhi usaha dan hasil yang dicapai dalam aktifitas menghafal Al-Qur’an, karena bahasa arab merupakan kebutuhan mutlak untuk memahami sumber hukum islam.
Namun dalam kehidupan orang Indoneseia yang notabene orang non arab, mengkaji dan memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits maupun buku-buku keislaman yang berbahasa arab bukanlah suatu hal yang mudah. Mempelajari bahasa arab tentunya menjadi suatu keharusan bagi seorang muslim untuk dapat mengkaji dan memahami ajarannya.
Berangkat dari asumsi tersebut salah satu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan pendalaman islam adalah pesantren. Dalam dunia salafi,[6] pembelajaran bahasa arab lebih berorientasi pada reading teks, hal ini karena kitab-kitab yang diajarkan ditulis tanpa syakal sehingga untuk dapat membacanya dengan benar
 penguasaan ilmu alat seperti : nahwu, shorof, balaghoh, dan mantiq menjadi syarat wajib untuk dipelajari terlebih dahulu.
       Hal ini bisa dilihat pada faktor pengajaran metode pengajaran pesantren terkenal klasik seperti sorogan, bandongan, halaqoh dan hafalan. Teknik penyajian metode tersebut secara umum adalah seorang kyai dan santri masing-masing memegang sebuah kitab berbahasa arab. Guru membacakan dan mengartikan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dengan terjemahannya, sementara para santri menyimak bacaan guru dan menuliskan terjemahannya kedalam kitab mereka, atau dalam istilah lain seperti “jenggot”, karena kata-kata dalam bahasa daerah ditulis dibawah teks asli yang menyerupai jenggot.[7]
Sistem pengajaran bahasa arab semacam ini dipandang kurang efektif dan efisien dalam penguasaan bahasa asing karena memerlukan waktu yang lama. Disamping itu strategi dan metode tersebut output pesantren terkesan berwatak lamban, pasif, kurang peka terhadap masalah karena kurang terlatih. Dari hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan penulis tertarik untuk mengangkat pondok pesantren …………………….. sebagai obyek penelitian. Hal ini karena pesantren tersebut merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal dibawah naungan yayasan ............................ yang memberikan kontribusi dalam meningkatkan salah satu kemahiran bahasa arab yaitu kemahiran membaca Al-Qur’an dan kitab kuning.
Pembelajaran bahasa arab di madrasah diniyah Pondok Pesantren ............................lebih menekankan dengan pelajaran nahwu shorof sebagai salah satu upaya untuk lebih mempermudah dan mempercepat pembelajaran membaca referensi arab dan menghapal Al Quran, hal ini bertujuan sebagai bekal santri untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits serta teks-teks arab lainnya. Namun demikian, bukan berarti kegiatan belajar mengajar hanya terbatas pada kemahiran membaca. Kemahiran yang lainnya seperti mendengar, berbicara, dan menulis juga diberikan meskipun dalam porsi yang terbatas karena dalam praktek pembelajaran didalam kelas tidak mungkin terjadi pemisahan keempat kemahiran berbahasa.
Dari uraian diatas maka idealnya sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa arab di madrasah diniyah Pondok Pesantren ............................ bisa membaca kitab referensi arab dengan baik, tetapi pada kenyataannya tidak semua santri yang belajar bahasa arab bisa membaca referensi arab dan masih ada beberapa santri yang belum bisa membaca referensi arab. Hal ini terlihat ketika penulis mengamati pelaksanaan latihan membaca referensi arab pada saat evaluasi belajar.[8]
Melihat fenomena ini, tentunya ada permasalahan yang cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam. Penulis ingin mengetahui sejauh mana keberhasilan pengajaran bahasa arab melalui madrasah diniyah di Pondok Pesantren Roudlotu Tahfidzil Qur’an. Sehingga peneliti mengangkat sebuah judul : Peningkatan Kemampuan Membaca Referensi Arab  Pada Santri Penghafal Al-Qur’an


[1] Abdullah dan nashir Abdullah Al Ghali, Usus I’dad al Kutub Al Ta’limiyah li ghor al Nathiqhin (riyadh:Dar Al-I’tisham), hal. 57
[2] M. Soenardi Djamaliddin, tes bahasa dalam pengajaran (bandung ITB,1996),hal 62-63
[3] Abdurrahman Abdul Khaliq, Raghib As-Sirjani, Cara Cerdas Hafal Al-Qur’an, Solo: Aqwam, 2007, hlm. 19.
[4] M. Quraish Syihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, Jakarta :Pustka Firdaus, 1997, hlm. 391
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, hlm.209.
[6] yang dimaksud dengan pesantren salafi disini adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan pesantren. lihat zamahsyari dhofier. tradisi pesantren study tentang pandangan hidup kyai(Jakarta LP3ES, 1984) hlm. 41.
[7] Radliyah Zainudin, Metodologi Dan Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab (Jakarta: Pustaka Riflah Group, 2005), hlm. 5-6
[8] Wawancara dengan Alumni PPP. Roudlotul Tahfidil Qur’an Bapak Yusuf Hidayat, Hari Jum’at tanggal 6 Juni 2014 di Sentul Tembelang Jombang 

0 comments: