Pengetahuan Bukanlah Sekedar Memperoleh Informasi, Melainkan Sebuah Proses Transformasi
A. Memahami Keimanan Secara Fundamental
Pengertian iman menurut bahasa adalaH pembenaran
konfirmasi, sedangkan syar' adalah pembenaran konfirmatif rasul terhadap segala
sesuatu yang diketahui sumber kehadirannya secara pasti. Iman merupakan
verbelitas keyakinan, pernyataan merupakan argumen ekplesitasnya dan
praksis-praksis tindakan lahir dari hal yang disebut iman. Mengimani adanya Tuhan tidak cukup hanya sekedar meyakini dan
mengucapkannya, tapi keimanannya itu harus diwujudkan melalui sebuah tindakan
konkrit. Salah satu bukti keimanan itu ialah dapat mewujudkan apa yang telah
diperintah-Nya dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Seperti menolong
terhadap kaum-kaum lemah (mustadafin) yang membutuhkan pertolongan orang
lain. Kaum lemah (mustadafin) mullah terpengaruh oleh godaan duniawi, yang
dapat merusak keimanannya. Jadi harus ada keseimbangan antara hubungan vertikal
dan hubungan horizontal (hablun minallah, hablun minannas).
Jauh atau dekat dengan Tuhan sepenuhnya tergantung
kepada suasana hati seseorang. Hati yang talus dan nurani yang peka tidaklah
sulit untuk mengkomunikasikan dengan Yang Ghaib, karena hati yang bersih, dapat
terjaga dan perbuatan fasiq. Karena fasiq dapat merusak hati manusia yang
beriman terhadap-Nya. Hati yang terjaga dari penyakit hati dapat mempermudah
komunikasi dengan Tuhan dan terasa dekat bila kita selalu mengingat dan
menjalani pesan-pesan-Nya yang tertuang dalam Kitab Suci.
Bagi seorang Muslim, imam adalah bagian paling mendasar
dan kesadaran keagamaannya. Dalam berbagai makna dan tatsirannya, perkataan iman
menjadi bahan pembicaraan yang tak kunjung usai di setiap pertemuan keagamaan
untuk didiskusikan dalam rangka mencapai kepahaman tentang iman, dan yang
selalu disebutkan dalam rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Keteguhan
keimanan seseorang akan membawanya kepada tingkat keimanan yang luhur. Dalam
hal ini manusia itu harus dapat menjaganya dari perbuatan yang dapat
menggoyahkan keimanan. Seperti syirik dan hal-hal yang dapat menjauhkan diri
kita kepada Yang Kuasa.
Dasar keimanan Islam itu memberi kemantapan dan keyakinan
kepada diri sendiri yang sungguh besar. Dengan dasar iman yang kokoh, seorang
Muslim merasa mantap dan aman, betas dari rasa takut dan khawatir. Juga karena
imannya, ia tidak pernah menderita rasa rendah diri berhadapan dengan orang
atau bangsa lain, betapapun hebatnya. Jika iman itu betul-betul menancap pada
diri Muslim, ia mempmaym hanya Tuhanlah yang mempunyai kekuatan dan menjaga
dirinya dan hal-hal yang membahayakan
B. Mengimani Adanya Tuhan Melalui Ciptaan-Nya.
Pada dasarnya tujuan hidup manusia adalah untuk
"mengabdi" kepada Allah atau memperkembangkan potensi-potensinya
sesuai dengan perintah (amr) Allah dengan kemauannya sendiri dan
untuk memanfaatkan alam (yang secara otomatis adalah Muslim, "atau tunduk
kepada Allah), ia pun harus mempunyai cara-cara yang memadai untuk memperoleh
nafkah dan untuk "menemukan jalan yang benar". Mengimani adanya Tuhan
tidak cukup sebatas percaya tanpa ada perenungan yang dapat membuktikan
kebenaran adanya Tuhan. Dalam hal ini Tuhan telah banyak memberikan media untuk
mengetahui-Nya lebih dekat. Media untuk mengenal Tuhan telah di jelaskan
melalui al-Qur’an yaitu membaca ciptan-Nya baik yang ada bumi maupun di langit.
Melalui perenungan terhadap ciptaan-Nya dan femnomena-fenomena yang terjadi
menimpa umat manusia dapat di jadikan ibroh dan memberikan rasa percaya kita
lebih mendalam.
C. Ilmu Pengetahuan Sebagai Media Meraih Keimanan Paripurna
llmu sebagai
hasil aktivitas manusiia yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun realitas
diluar dirinya, sepanjang sejarah perkembangannya sampai saat ini selalu
mengalami ketegangan dengan berbagai aspek lain dari kehidupan manusia. Ilmu
merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Karena tanpa ilmu segala tindakan
manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan. Memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu bererti keyakinan
dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan
pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya untuk mendapatkan ridho-Nya.
Karena setiap perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah, maka akan sia-sia.
D. Pengertian Kata llmu
Ilmu (didefnisikan
sebagai sejenis ilmu pengetahuan, tetapi bukan sembarang pengetahuan, melainkan
pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu berdasarkan kesepakatan diantara
para ilmuwan. Ilmu, yang sudah menjadi bahasa Indonesia, bukan hanya sekedar
Bahasa arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur'an.
Dalam, bahasa arab sehari-hari
sebelum turunnya al-Qur'an, ilmu hanya berarti pengetahuan biasa. Tetapi
melalui al-Qur'an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk
makna dan pengetahuan tersendiri yang terstruktur. Memang kata ilmu itu bisa
sekadar diartikan sebagai "pengetahuan" biasa, tetapi bisa lebih dari
itu, tergantung dari pemahaman orang terhadap makna kata tersebut.
Pengertian
ihnu pengetahuan terdapat pula dalam kata hikmah yang sudah menjadi kata
Indonesia. Biasanya kata hikmah dipakai langsung tanpa terjemahan, dan
pengertiannya adalah pelajaran. Kata ini sering digunakan dalam mengungkapkan
pernyataan yang mengandung pelajaran yang dapat memberikan motivasi hidup
terhadap orang lain. Baik motivasi untuk belajar ilmu pengetahuan maupun motivasi
dalam meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. dan memberi motivasi kepada
orang lain. Dalam al-Quran sendiri kata hikmah memang berkaitan dengan hail
pemikiran, hikmah merupakan sesuatu yang sangat berharga, seperti tercermin
dalam al-Qur ’an :
Allah memberi
hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya Dan barang siapa yang mendapatkan
hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada Yang dapat
megambil pelajaran (dzikir), kecuali orang yang berakal (ulil albab). (Q.S: 2: 268).
Dari ayat di
atas kita memperoleh pula definisi ulil albab, yaitu orang-orang yang
melakukan pemikiran secara berulang-ulang dan terus menerus, sehingga akhirnya
bisa meraih pengetahuan yang tertinggi, atau hikmah. Orang yang memiliki aktivitas mental dan menggunakannya untuk menatap
ayat-ayat Tuhan dan mengaktualisasikan dalam dunia praksis disebut ulil albab.
Tapi setinggi apapun pengetahuan seseorang, jika ia tidak peduli terhadap
realitas sekitarnya, maka dia akan terperosok pada jalan yang salah. Dalam
al-Qur’an juga dapat dijumpai gejala ini:
Sesungguhnya
dalam terciptanya langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, adalah
pertanda (ayat) bagi yang memiliki akal (ulil albab). Yaitu orang-orang yang
refleksi tentang Allah (dzikir), ketika mereka itu sedang berdiri,
sedang duduk, atau sedang berbaring di atas lumbung mereka, dan mereka memikirkan
(tafakkur) tentang kejadian langit dan bumi. (dan mereka pun berkata) : Tuhan
kami, Engkau tidak menciptanya tanpa tujuan, Maha Suci Engkau. Selamatkan kami
dari siksa neraka. (Q.S: 3:190-191).
Maulana
Muhammad Ali dalam tafsirny mengatakan terhadap ayat ini, sebagaimana dinukil
oleh M. Dawam Raharjo, konsekuensi berpikir dan berdzikir adalah menuntut ilmu.
Sedangkan dasar dari ilmu pengetahuan itu, menurut al-Qur’n adalah proses
berpikir, mempergunakan penalaran dan perenungan yang mendalam (dzikir), agar
keimanan yang sejati diperoleh dalam proses perunungan dan dzikir. Namun
intinya adalah bahwa pengetahuan itu dapat diperoleh melalui observasi (bashir)
terhadap segala sesuatu yang merupakan dasar dari pemikiran, penalaran,
perhitungan, pengukuran, dan perenungan. Dengan kata lain adalah sesuatu
pengetahuan yang dapat dijelaskan.
Meskipun manusia tidak mungkin mengetahui Diri dan Hakikat Tuhan, namun manusia
diperintahkan, dan bisa menindakkan, untuk giat memahami alam, sebatas yang mungkin.
Justru adanya kemampuan berilmu inilah yang menjadi dasar penunjukan manusia
menjadi wali penganti Tuhan di bumi. Karena itu, manusia harus aktif berilmu
dan beramal, dalam rangka, tugas kekhalifahan itu. Jika kita menghendaki kebahagian di dunia dan akhirat,
kita harus beriman dan berilmu sekaligus, yang kemudian keduanya, iman dan
ilmu, itu akan mewarnai amal perbuatan kita. Sebab, amal perbuatan kita, berupa
kegiatan keseharian, harus mendapatkan motivasi atau dorongan niat yang benar, sesuai
bunyi hati nurani (kalbu, dhamir, atau fuad) yang telah dipertajam,
di perpeka dan dihidupkan dengan iman dan ibadat atau kegiatan spiritual, dan
diterangi oleh perhitungan ilmiah atau rasional yang tepat. Penggabungan
antarakedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya,
hendaknya ada pada setiap pribadi Muslim.
Karena itu, sepanjang ajaran al Qur’an, jaminan keunggulan dan superioritas,
termasuk kemenangan dan kesuksesan, akan dikaruniakan Allah kepada mereka yang
beriman dan berilmu. (Q.S. 58:11). Beriman dalam arti mempunyai orientasi
Ketuhanan dalam hidupnya, dengan menjadian perkenan Tuhan sebagai tujuan segala
kegiatannya. Dan berilmu berarti mengerti ajaran secara benar, dan memahami
lingkungan hidup di mana dia akan berkiprah, sosial-budaya dan fisik Iman saja memang cukup
untuk membuat orang berkiblat kepada kebaikan, dan mempunyai "itikad baik".
Tapi iman tidak melengkapinya dengan kecakapan dalam bagaimana melaksanakan
semuanya itu jadi tidak menjamin kesuksesan, ilmu saja, mungkin membuat orang
cakap berbuat nyata. Namun tanpa bimbingan iman, justru ilmunya itu akan
membuatnya celaka, lebih celaka lagi pada orang lain yang tidak berilmu. Nabi
saw. bersabda: "Barang siapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya,
make ia tidak bertambah apa-apa kecuali semakin jauh saja dari Allah SWT.
Dan uraian di atas setidaknya dapat memberikan pencerahan kepada kita bahwa
keseimbangan iman (percaya adanya Allah) harus di topang dengan ilmu
pengetahuan yang cukup, agar kita tidak terjebak pada fanatisme dan terhindar
dari tindakan saling mengkafirkan orang lain yang selama ini terjadi. Bila iman
itu telah tertanam di hati kita dengan baik, dan dibungkus dengan ilmu
pengetahuan yang cukup, maka harus diaktualisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Yaitu membantu kaum yang lemah dan memberi pemahaman tentang Tuhan.
0 comments:
Posting Komentar