Takhrijul-Hadis Sebagai Langkah Awal Kegiatan Penelitian Hadis
A. Pengertian Takhrijul-Hadis
Dr. mahmud at-Tahhan menjelaskan bahwa kata at-takhrij
menurut pengertian asal bahasanya ialah “Berkumpulnya dua perkara yang
berlawanan pada sesuatu yang satu”. Kata at-takhrij sering dimutlakkan
pada beberapa macam pengertian; dan pengertian-pengertian yang popular untuk
kata at-takhrij itu ialah : (1) al-istimbat (hal mengeluarkan);
(2) at-tadrib (hal melatih atau hal membiasakan); dan (3) at-taujih
(hal memperhadapkan).
Menurut istilah dan yang biasa dipakai oleh ulama
hadis, kata at-takhrij mempunyai beberapa arti, yakni :
1. Mengemukakan hadis kepada orang banyak
dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis
itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis
yang telag dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya,
yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya,
atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan asal-usul hadis dan
mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun para mukharrij-nya
langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang
mereka riwayatkan).
4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya
atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan
metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan
para periwayatnya dan kualitas hadisnya.
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal
hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan
hadis itu secara lengkap dengan sandnya masing-masing; kemudian, untuk
kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.
Pengertian yang dikehendaki untuk penelitian
Bila kelima pengertian tkhrij itu diperhatikan, maka
pengertian yang dikemukakan butir pertama merupakan salah satu kegiatan yang
telah dilakukan oleh para periwayat hadis yang menghimpun hadis ke dalam kitab
hadis yang mereka susun masing-masing, misalnya Imam al-Bukhari dengan kitab shahih-nya,
Imam Muslim dengan kitab shahih-nya, dan Abu Daud dengan kitab Sunan-nya.
Pengertian at-takhrij yang dikemukakan pada
butir kedua telah dilakukan oleh banyak ulama hadis, misalnya oleh Imam
al-Baihaqi, yang telah banyak “mengambil” hadis dari kitab as-Sunan yang
disusun oleh Abul-Hasan al-Basri as-Saffar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanad-nya
sendiri.
Pengertian at-takhrij pada butir ketiga banyak
dijumpai pada kitab-kitab himpubab hadis, misalnya Bulughul-Maram
susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Dalam melakukan pengutipan hadis pada karya
tulis ilmiah, mestinya diikuti pengertian at-takhrij pada butir ketiga
tersebut, dengan dilengkapi data kitab yang dijadikan sumber. Dengan demikian,
hadis yang dikutip tidak hanya matan-nya saja, tetapi minimal juga nama mukahrrij-nya
dan nama periwayat pertama (sahabat Nabi) yang meriwayatkan hadis yang
bersangkutan.
Pengertian istilah at-takhrij yang dikemukakan
pada butir keempat, biasanya digunakan oleh ulama hadis untuk menjelaskan
berbagai hadis yang termuat di kitab tertentu, misalnya kitab Ihya’
‘Ulumud-Din susunan Imam al-Ghazali (wafat 5050 H / 1111 M), yang dalam
penjelasannya itu dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadis dan
kualitasnya masing-masing. Zainud-Din ‘Abdir-tahman bin al-Husain al-‘Iraqi
(wafat 806 H / 1404 M) telah menyusun kitab takhrij hadis untuk kitab Ihya’
‘Ulumud-Din dengan judul Ikhbar al-Ihya’ bi Akhbar al-Ihya’,
sebanyak empat jilid.
Adapun pengertian at-takhrij yang digunakan
untuk maksud kegiatan penelitian hadis lebih lanjut ialah pengertian yang
dikemukakan pada butir kelima. Berangkat dari pengertian itu, maka yang
dimaksud dengan takhrijul-hadis dalam hal ini ialah penelusuran atau
pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang
bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matn dan
sanad hadis yang bersangkutan.
B. Sebab-sebab Perlunya Kegiatan Takhrij Hadis
Bagi seorang peneliti hadis, kegiatan takhrijul-hadis
sangat penting. Tanpa dilakukan kegiatan takhrijul-hadis terlebih
dahulu maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadis itu, dan ada atau
tidaknya korroborasi (syahid atau mutabi’) dalam sanad bagi hadis
yang ditelitinya. Dengan demikian, minimal ada hal yang menyebabkan pentingnya
kegiatan takhrijul-hadis dalam melaksanakan penelitian hadis. Berikut
ini dikemukakan ketiga hal tersebut.
1. Untuk mengetahui asal-usul riwaat hadis
yang akan diteliti
Suatu hadis akan sangat sulit diteliti status dan
kualitasnya bila terlebih dahulu tidak diketahui asal-usulnya. Tanpa diketahui
asal-usulnya, maka sanad dan matn yang bersangkutan sulit
diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa diketahui susunan sanad
dan matn-nya secara benar maka hadis yang bersangkutan akan sulit
diteliti secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asal-usul hadis yang akan
diteliti itu, maka kegiatan takhrij perlu dilakukan lebih dahulu.
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi
hadis yang akan diteliti
Hadis yang
akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin saja,
salah satu sanad hadis itu berkualitas daif, sedang yang lainnya
berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas daif dan yang berkualitas sahih
maka terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadis yang bersangkutan.
Dalam hubunganya untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang sedang akan
diteliti, maka kegiatan takhrij perlu dilakukan.
3. Untuk mengetahui ada atau
tidak adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti
ketika
hadis diteliti salah satu sanad-nya, mungkin ada periwayat lain yang sanad-nya
mendukung pada sanad
yang sedang diteliti. Dukungan (corroboration) itu bila terletak pada
bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat sahabat Nabi, disebut sebagai syahid,
sedang bila terdapat dibagian bukan periwayat tingkat sahabat disebut sebagai mutabi’.
Dalam penelitian sebuah sanad, syahid
yang didukung oleh sanad kuat dapat memperkuat sanad yang sedang
diteliti. Begitu pula mutabi’ yang memiliki sanad yang kuat, maka
sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkankan kekuatannya oleh mutabi’
tersebut. Untuk mengetahui, apakah suatu sanad memiliki syahid atau mutabi’,
maka seluruh sanad hadis itu harus dikemukakan. Itu berarti, takhrijul-hadis,
harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa kegiatan takhrijul-hadis, tidak
dapat diketahui secara pasti seluruh sanad untuk hadis yang sedang
diteliti.
C. Metode Takhrijul-Hadis
1. Kitab atau buku yang
menjelaskannya
Menelusuri hadis sampai kepada sumber asalnya tidak
semudah menelusuri ayat al-Qur’an. Untuk menelusuri ayat al-Qur’an, cukup
diperlukan sebuah kamus al-Qur’an, misalnya kitab al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfazil-Qur’anil Karim susunan Muhammad Fu’ad ’Abdul-Baqi’, dan sebuah
kitab rujukan berupa mushaf al-Qur’an. Untuk menelusuri hadis, tidak cukup
hanya menggunakan sebuah kamus dan sebuah kitab rujukan berupa kitab hadis yang
disusun oleh mukahrrij-nya. Yang menyebabkan hadis begitu sulit untuk
ditelusuri sampai sumber asalnya karena hadis terhimpun dalam banyak kitab.
Dengan
dimuatnya hadis Nabi di berbagai kitab hadis yang jumlahnya banyak, maka sampai
saat ini belum ada sebuah kamus yang mampu memberi petunjuk untuk mencari hadis
yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada. Kamus hadis yang telah ada hanya
terbatas untuk memberi petunjuk pencarian hadis yang termuat di sejumlah kitab
hadis saja. Dari sebagian kamus hadis itu pun ada yang tidak menjelaskan cara
penggunaanya.
Untuk
mengetahui kitab-kitab kamus hadis yang bermanfaat bagi kegiatan takhrijul-hadis dan sekaligus untuk memahami cara
penggunaan dari kamus-kamus itu, perlu dibaca beberapa kitab atau buku,
misalnya :
1. Ushul at-Takhrij wa
Dirasat al-Asanid
(Halb : al-Matba’ah al-’Arabiyyah, 1398 H / 1972 M), susunan Dr. Mahmud
at-Tahhan.
2. Cara Praktis Mencari
Hadis (Jakarta :
Bulan Bintang, 1412 H / 1991 M), susunan Dr. M Syuhudi Isma’il
Kedua buku itu, atau salah satu diantaranya, dapat
membantu bagaimana cara yang harus dilakukan dalam melaksanakan kegiatan takhrijul-hadis.
2. Macam-macam metode
yang dapat dipakai
Dalam
buku Cara Praktis Mencari Hadis dikemukakan bahwa metode takhrij
ada dua macam, yakni takhrijul-hadis bil-lafz dan takhrijul-hadis
bil-maudu’. Takhrij yang disebutkan pertama
berdasarkan lafal dan takhrij ang disebutkan kedua berdasarkan topik
masalah. Berikut ini dijelaskan kedua macam metode takhrij itu sepintas
lalu.
a. Metode Takhrijul-Hadis bil Lafz
Ada kalanya
hadis yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja dari matn-nya.
Bila demikian, maka takhrij melalui penelusuran lafal matn lebih
mudah dilakukan.
Kitab-kitab
yang diperlukan
Untuk
kepentingan takhrijul-hadis berdasarkan lafal tersebut, selain
diperlukan kitab kamus hadis, juga diperlukan kitab-kitab yang menjadi rujukan
dari kitab kamus itu. Kitab kamus hadis yang termasuk agak lengkap untuk
kepentingan kegiatan ini adalah kitab susunan Dr. AJ. Wensinck dan kawan-kawan
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu’ad ’Abdul-Baqi dengan
judul : المعجم المفهرس لألفاظ الحديث النبوي.
Kitab-kitab
hadis yang menjadi rujukan kamus hadis tersebut ada sembilan buah, yakni Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan at-Turmuzi, Sunan an-Nasa’i,
Sunan ibni Majah, Sunan ad-Darimi, Muatta’ Malik, dan Musnad Ahmad bin
Hambal. Untuk hadis yang termuat di luar kesembilan hadis tersebut, perlu
digunakan kamus lainnya yang merujuk kepada kitab yang bersangkutan.
Kemungkinan
hasilnya
Setelah
kegiatan takhrij dilakukan, mungkin belum semua riwayat telah dicakup.
Untuk itu, hadis yang telah di-takhrij tadi. Lafalnya yang lain peru
dicoba dipakai untuk men-takhrij- lagi. Dengan demikian, akan dapat
diketahui semua riwayat berkenaan dengan hadis yang ditelusuri tadi.
Adakalanya,
semua lafal dalam matn hadis telah dipakai sebagai acuan untuk melakukan
kegiatan takhrij, tetapi hasilnya masih belum lengkap juga, maka dalam
hal ini masih perlu dipakai kamus hadis lainnya yang mungkin dapat
melengkapinya.
Contoh
Umpama saja hadis yang diingat hanyalah bagian lafal matn yang berbunyi من رأى منكم منكرا.
Dengan modal lafal منكرا, maka lafal itu ditelusuri melalui halaman kamus yang
memuat lafal نكر. Setelah diperoleh, lalu
dicari kata منكرا. Dibagian itu ada
petunjuk bahwa hadis yang dicari memiliki sumber yang cukup banyak, yakni :
1. Sahih Muslim, kitan Iman, nomor hadis 78.
2. Sunan Abi Daud, kitab Shalat, bab 242; dan kitab Malahim
bab 17.
3. Sunan at-Turmuzi, kitab Fitan, bab 11.
4. Sunan an-Nasa’i, kitab Iman, bab 17.
5. Sunan Ibni Majah, kitab Iqamah, bab 155; dan kitab Fitan,
bab 20.
6. Musnad Ahmad bin Hambal, juz III, halaman 10, 20, 49, dan 52-53.
Apabila
akan dilakukan penelitian, maka semua riwayat yang dikemukakan oleh keenam
kitab di atas perlu dikutip secara cermat. Tentu saja, untuk menghindari adanya
riwayat yang tidak tercakup, kegiatan takhrij dengan mengacu kepada
lafal-lafal yang lain yang terdapat dalam matn yang sama perlu
dilakukan. Untuk contoh hadis di atas, setelah ditelusuri semua kata yang
termuat dalam matn, ternyata diperoleh tambahan keterangan bahwa hadis
tersebut termuat juga di Musnad Ahmad bin Hambal, juz III, halaman 92,
yakni dengan menelusuri melalui kata قلب.
Untuk penelusuran kata رأى data yang tercantum
pada kamus terdapat banyak kesalahan, sedang untuk kata-kata lainnya, yakni يغير, يده, dan لسانه,
data yang dikemukakan justru kurang lengkap.
Berdasarkan
data dari kitab al-mu’jam tersebut, ternyata jumlah riwayat untuk hadis
yang di-takhrij di atas ada 14 macam, masing-masing terletak di
kitab-kitab :
1. Sahih Muslim :
dua riwayat, pada juz I, h, 69.
2. Sunan Abi Daud : dua riwayat, pada juz I, h. 297; dan juz IV h.
123.
3. Sunan at-Turmuzi : satu riwayat, pada juz III, hh. 317-218
4. Sunan an-Nasa’i : dua riwayat, pada juz VIII, hh. 111-112.
5. Sunan Ibni Majah :
dua riwayat, pada juz I, h. 406; dan juz II, h. 1330
6. Musnad Ahmad : lima riwayat, pada juz III, hh.
10,20,49,52-53, dan 92
Apabila hadis tersebut akan diteliti, maka seluruh riwayat hadis dikutip
secara cermat, baik sanad-nya maupun matn-nya. Susunan kalimat
pada matn memang terdapat perbedaan, namun maknanya sama. Hal itu wajar
terjadi sebab dalam periwayatan hadis, sebagaimana telah dibahas pada uraian
terdahulu, telah terjadi periwayatan secara makan. Dalam bab V, seluruh riwayat
di atas dikutip secara lengkap untuk bahan penelitian kualitas sanad
hadis yang bersangkutan.
b. Metode takhrijul-hadis bil
maudu’ (penelusuran hadis melalui topik masalah)
Mungkin saja hadis yang akan diteliti tidak terikat pada bunyi lafal matn
hadis, tetapi berdasarkan topik masalah. Misalnya, topik masalah yang akan
diteliti adalah hadis tentang kawin kontrak atau nikah mut’ah. Untuk
menelusurinya, diperlukan bantuan kitab kamus ataupun semacam kamus yang dapat
memberikan keterangan tentang berbagai riwayat hadis tentang topik tersebut.
Kitab-kitab yang diperlukan
Sesungguhnya cukup banyak kitab yang menghimpun berbagai hadis berkenaan
dengan topik masalah. Hanya saja, pada umumnya kitab-kitab tersebut tidak
menyebutkan data kitab sumber pengambilannya secara lengkap. Dengan demikian,
bila hadis-hadis yang bersangkutan akan diteliti, masih diperlukan penelusuran
tersendiri.
Untuk saat ini, kitab kamus yang disusun berdasarkan topik masalah yang
relatif agak lengkap adalah kitab susunan Dr. A.J. Wensinck dkk. yang berjudul
: مفتاح كنوز السنة.
Kitab-kitab yang menjadi rujukan kitab kamus tersebut ada 14 macam kitab,
yakni kesembilan macam kitab yang menjadi rujukan المعجم sebagaimana telah
dikemukakan di atas ditambah lagi dengan Musnad Zaid bin ‘Ali, Musnad
Abi Daud at-Tayalisi, Tabaqat Ibn Sa’ad, Sirah Ibn Hisyam, dan Magazi
al-Waqidi.
Kemungkinan hasilnya
Data yang dimuat oleh kitab Miftah tersebut memang sering tidak
lengkap, begitu juga topik yang dikemukakannya. Walaupun begitu, kitab kamus
tersebut cukup membantu untuk melakukan kegiatan takhrij hadis
berdasarkan topik masalah. Untuk melengkapi data yang dikemukakan oleh kitab
kamus itu, dapat dipakai sejumlah kitab Himpunan hadis yang disusun berdasarkan
topik masalah, misalnya Muntakhab Kanzil-‘Ummal, susunan ‘Ali bin Hisam
ad-Din al-Mutqi, yang kitab rujukannya lebih dari dua puluh macam kitab.
Contoh : untuk contoh topik yang berkenaan dengan nikah mut’ah itu,
kamus Miftah Kunuzis-Sunnah mengemukakan data hadis yang bersumber
kepada kitab-kitab antara lain Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi
Daud, Sunan at-Turmuzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibni Majah, Sunan ad-Darimi,
Muatta’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abi Daud at-Tayalisi, Musnad Zaid bin ‘Ali,
dan Tabaqat Ibn Sa’ad. Pada masing-masing kitab dibubuhkan data tentang
letak hadis yang bersangkutan.
Apabila seluruh hadis yang berkenaan dengan topik nikah mut’ah itu
akan diteliti, maka terlebih dahulu seluruh riwayatya harus dikutip secara
cermat, baik sanad-nya maupun matn-nya. Untuk melengkapi bahan
penelitian, berbagai matn yang telah dikutip itu dapat dilakukan takhrij
melalui lafal.
1 comments:
assalamu`alaikum yaa akhi...afwan sebelumnya..boleh ndak saya minta risensinya sampai akhir kalo dibuku sampai hal. 41 sampe 90 kalo gag salah dari BAB IV...sukron..
Posting Komentar