Senin, 24 Oktober 2011

Konsep Pendidikan Islam

Konsep Pendidikan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

Al Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang dipedomani oleh umat Islam hingga akhir masa. Al qur’an memberikan bimbingan kepada umat manusia dengn untuk melaksanakan seruannya melalui dialog dengan manusia sesuai dengan stratanya. Al Qur’an tidak membedakan stratifikasi dan variasi kondisi mitra dialognya. Terhadap mereka-mereka itu al Qur’an berupaya menunjukkan mereka kepada tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupannya. Oleh karena itu al Qur’an sering mensifati dirinya sebagai petunjuk, peringatan, nasehat dan lain sebagainya. Ini merupakan penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Implikasi Konsep Pendidikan Al Qur’an dalam Proses Belajar-Mengajar

Secara sunatullah, jiwa manusia tercita dengan memiliki dua potensi dan kecenderungan yang saling berlawanan, taqwa disatu sisi, dan fujur disisi lain. Oleh karena itu manusia mempunyai potensi yang sama untuk melakukan kebaikan dan kejahatan, atau untuk menerima petunjuk maupun menerima kesesatan. Hal ini sebagaimana diungkapkan firman Allah dalam QS Al-Syams : 7 – 8 yang artinya :
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

Suatu hal yang tidak bisa diterima akal sehat, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya tidak mampu berbuat kebajikan dan menjauhi kejahatan, karena ia merasa tidak pantas untuk melakukan kebajikan. Sementara, al Qur’an menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat jahat, tinggal manusianya yang berperan untuk memilih mana yan i menangkan, berbuat baik atau memilih kejelekan.

Jiwa manusia bergejolak mengalami pasang surut, sesuai dengan intensitasnya dan kecenderungan yang dipilihnya. Oleh karena itu ada suatu hal yang harus diperhatikan jika ia mengalami pasang, maka manusia sebagai empunya (jiwa) hendaknya ia mengencangkan ikatan semangatnya agar ia selalu dalam kebajikan, dan jika ketika ia dalam kondisi surut, maka ia harus mengunci rapat-rapat pintu-pintu setan yang akan masuk menghembuskan isu kesesatan dalam dirinya.

B.     Penafsiran Para Mufassirin

Setelah itu, Allah melanjutkan sumpah-Nya dengan mengingatkan tentang jiwa manusia – dan inilah yang dituju – agar menyadari dirinya dan memperhatikan makhluk yang disebut oleh ayat-ayat yang lalu. Allah berfirman : Dan Aku juga bersumpah demi jiwa manusia serta penyempurnaan ciptaan-nya sehingga mampu menampung yang baik dan yang buruk lalu Allah mengilhaminya yakni memberi potensi dan kemampuan bagi jiwa itu untuk menelusuri jlan kedurhakaan dan ketakwaannya. Terserah kepada-Nya yang mana di antara keduanya yang dipilih serta diasah dan diasuhnya.

Kata (arab) fa alhamaha terambil dari kata (arab) al-lahm yakni menelan sekaligus. Dari sini lahir kata (arab) ilhaam/ilham. Memang ilham atau intuisi datang secar tiba-tiba tanpa disertai analisis sebelumnya, bahkan kadang-kadang tidak terpikirkan sebelumnya. Kedatangannya bagaikan kilat dalam sinar dan kecepatannya, sehingga manusia tidak dapat menolknya, sebgaimana tak dpat pula mengundang kehadirannya. Potensi ini ada pada setiap insan, walaupun peringkat dan kekuatannya berbeda antara seseorang dengan yang lain.

Kata ilham dipahami dalam arti pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya, tapa diketahui secara pasti dari mana sumbernya. Ia serupa dengan rasa lapar. Ilham berbeda dengan wahyu, karena wahyu walaupun termasuk pengetahuan yang diperoleh namun ia diyakini bersumber dari Allah SWT.

Ibn ’Asyur memahami kata alhamaha dlm arti anugerah Allah yang menjadikan seseorang memahami pengetahuan yang mendsar, serta menjangkau hal-hal yang bersifat aksioma bermula dengan keterdorongan naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti keinginan bayi menyusu, dorongan untuk menghindari bahaya, dan lain-lain hingga mencapi tahap awal dari kemampuan meraih pengetahun yang bersifat akliah. 
Thabathaba’i menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”mengilhami jiwa” adalah penyamapaian Allah kepada manusia tentang sifat perbuatan apakah dia termasuk ketakwaan atau kedurhakaan, setelah memperjelas perbuatan dimaksud dari sisi substansinya sebagai perbuatan yang dapat menampung ketakwaan atau kedurhakaan. Memakan harta misalnya adalah suatu perbuatan yang dapat berbentuk memakan harta anak yatim atau memakan harta sendiri. Yang pertama dijelaskannya bahwa itu dalah kedurhakaan dan yang kedua yakni memakan harta sendiri yang halal maka itu adalah ketaqwaan. Pelampiasan nafsu biologis juga demikian. Ini adalah substansi suatu perbuatan. Allah yang mengilhami manusia hal itu, dan Allah juga mengilhaminya bahwa apabila perbuatan tersebut didahului oleh ikatan pernikahan yang sah, maka dia adalah zina yang merupakan kedurhakaan. Demikian llah mengilhami manusia apa yang dilakukannya dari aneka perbuatan dan Dia pula yang mengilhaminya sehingga mampu membedakan mana yang termasuk kedurhakaan mana pula yang merupakan ketakwaan. Demikian lebih kurang penjelasn Thabathaba’i.

0 comments: