Jumat, 21 Oktober 2011

Teori-Teori Belajar


Teori-Teori Belajar

            Dalam psikologi, teori belajar selalu dihubungkan dengan stimulus respons dan teori-teori tingkah laku yang menjelaskan respons makhluk hidup ungkan dengan stimulus yang didapat dalam lingkungannya. Proses menunjukkan hubungan yang terus-menerus antara respons yang muncul serta rangsangan yang diberikan dinamakan suatu proses belajar (Tan, 1981:91).
            Untuk lebih memperjelas pengertian kita mengenai proses belajar yang merupakan hasil penyelidikan para ahli psikologi. Berikut ini, kita perlu mengenal beberapa teori belajar. Teori belajar yang dimaksud ialah: (1) teori conditioning, (2) teori connectionism, dan (3) teori psikologi Gestalt.

1.      Teori Conditioning

Bentuk paling sederhana dalam belajar ialah conditioning. Karena conditioning sangat sederhana bentuknya dan sangat luas sifatnya, para ahli mengambilnya sebagai contoh untuk menjelaskan dasar-dasar dari semua proses belajar. Meskipun demikian, kegunaan conditioning sebagai contoh bagi belajar, masih menjadi bahan perdebatan (Walker, 1967).
  1. Conditioning Klasik (Classical Conditioning)
Conditioning adalah suatu bentuk belajar yang kesanggupan untuk berespons terhadap stimulus tertentu dapat dipindahkan pada stimulus lain.
Percobaan mengenai anjing yang mengeluarkan air liur oleh Pavlov, dikutip karena dianggap sebagai salah satu bentuk percobaan conditioing formal yang pertama.
Prinsip dasar dari model conditioning klasik adalah sebuah unconditioned stimulus (US), unconditioned response (UR), dan conditioned stimulus (CSI) US merupakan objek dalam lingkungan orgariisme yang secara otomatis diperoleh tanpa harus mempelajarinya terlebih dahulu atau bisa dikatakan sebagai suatu proses yang nyata (UR). Sebagai contoh, seekor anjing meneteskan air liurnya (UR) melihat sebuah tulang (US); seorang anak menangis (UR) ketika ia melihat seekor gorila (US); seorang anak tertaw­a (UR) ketika ia melihat badut (US). UR terbentuk secara otomatis ketika respons tersebut berhadapan dengan US. Reaksi atau respons ini dinamakan respons alami
Pavlov adalah seorang psikolog yang mengadakan pengamatan terhadap refleks pengeluaran air liur pada anjing. Pada bagian dari percobaann dirancanglah sebuah alat untuk mengukur banyaknya sekresi air liur yang dikeluarkan seekor anjing. Kemudian diungkapkannya bahwa taraf pengeluaran air liur anjing akan meningkat bilamana anjing tersebut melihat asisten laboratorium membawa ember berisi makanan baginya; juga bilamana anjing tersebut sebenarnya tidak melihat ada tidaknya makanan di dalam ember.
Dalam keadaan normal, anjing akan mengeluarkan air liur hanya pada saat melihat, membaui, dan merasakan makanan, namun, anjing pada percobaan ini pasti mengeluarkan air liur pada saat dia melihat ember. Pavlov ingin mengetahui mengapa anjing tersebut menunjukkan penyimpangan perilaku , dari perilaku normalnya. la berpikir bahwa apabila dapat menghubungkan antara ember dan makanan, tentu anjing tersebut dapat juga menghubungkan antara makanan dan beberapa benda atau kejadian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan makanan, sehingga anjing tersebut mulai erespons dengan mengeluarkan air liur.
Langkah berikutnya, dibunyikan lonceng beberapa saat sebelum makanan dihadapkan kepada anjing itu. Setelah dilakukan beberapa kali, makanan tidak diletakkan di hadapan anjing itu, tetapi lonceng tetap dibunyikan. Ternyata, anjing tersebut mengeluarkan air liur sebagai reaksi hadap bunyi lonceng, sekalipun tidak ada makanan.
Dari percobaan ini, dapat diketahui bahwa ternyata anjing bisa memperlihatkan reaksi-reaksi (dalam hal ini air liur) melalui proses-proses persyaratan (conditioning). Artinya, dari satu rangsangan (stimulus) dipindahkan ke rangsangan yang lain (makanan – lonceng, dan lonceng at diteruskan dengan lampu). Dengan demikian, juga terjadi pemindahan satu refleks ke refleks yang lain.
Berdasarkan contoh tersebut, bisa disimpulkan mengenai hal belajar 2ai berikut.
1.  Laku yang satu (perbuatan maupun refleks) bisa dipindahkan ke laku yang lain. Demikian pula terjadi dalam pembentukan kebiasaan dan juga kemampuan-kemampuan lain seperti kemampuan mengingat.
2.  Belajar erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali atau dengan perkataan lain, ulangan-ulangan dalam hal belajar adalah penting.
Prosedur conditioning Pavlov disebut "klasik", karena merupakan suatu penemuan bersejarah dalam psikologi. Barangkali yang menyebabkan conditioning tersebut terkenal ialah kita sering pula merasakan diri kita terkondisi pada macam-macam penglihatan dan bunyi, misalnya: air liur keluar  karena melihat, mencium, ataupun memikirkan makanan lezat.
Berbagai istilah yang menggambarkan conditioning dapat digambarkan percobaan Pavlov. Tepung daging yang menyebabkan keluarnya air liur tanpa latihan disebut uncontioned stimulus (US) yang menimbulkan suatu uncontioned respons (UR). Setelah prosedur conditioning; bunyi lonceng yang menyebabkan keluarnya air liar disebut sebagai conditioned stimulus yang menimbulkan conditioned respons (CR). (Sebelum ada condition.: bunyi lonceng tidak menimbulkan respons yang kita kehendaki. Oleh karena itu, ia disebut sebagai stimulus netral).
Watson mengadakan berbagai eksperimen mengenai "perasaan takut". anak dengan menggunakan tikus dan kelinci. Dari hasil percobaannya, ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah dilatih. Anak percobaan Watson yang mula-mula tidak takut kepada kelinci, dibuat menjadi takut kepada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya ula sehingga tidak menjadi takut lagi kepada kelinci.
Begitulah, menurut teori conditioning, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan respons. Untuk menjadikan seseorang itu belajar, ia harus memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar, menurut teori conditioning, ialah adanya latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis.
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain merupakan hasil dari conditioning, yakni hasil dari latihan-latihan atau kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat atau perangsang- perangsang tertentu yang dialaminya dalam kehidupannya.
Kelemahan conditioning klasik, antara lain, adalah sebbagai berikut (Purwanto, 1995):
1.  Teori ini menganggap bahwa belajar hanyalah terjadi secara otomatis; keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya.
2. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan; sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata­mata bergantung pada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan serta reaksi apa yang akan dilakukannya.
3. Teori conditioning memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Namun, pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.

b. Conditioning Operan (Operant Conditioning)
Istilah conditioning operan (operant conditioning) diciptakan oleh Skinner dam memiliki arti umum conditioning perilaku. Istilah "operan" di berarti operasi (operation) yang pengaruhnya mengakibatkan organisme melakukan suatu perbuatan pada lingkungannya misalnya (Hardy & ..es, 1985; Reber, 1988).
Respons dalam conditioning operan terjadi tanpa didahului stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan , reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, akan tetapi tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya se dalam classical respondent conditioning.
Penelitian conditioning operan dimulai pada awal abad ini dengan ­sejumlah eksperimen oleh Thorndike (1898). Ia, yang banyak dipengaruhi oleh teori evaluasi Darwin, mencoba menunjukkan bahwa proses belajar pada hewan merupakan proses yang terus-menerus, sama seperti proses belajar pada manusia.
Thorndike mempelajari pemecahan masalah pada kucing dan berhasil merancang sebuah "kotak teka-teki", sehingga kucing yang diletakkan dalam kotak tersebut dapat keluar dari kotak dengan cara menarik simpul tali, baik dengan menggunakan kaki maupun dengan mulut. Dengan menarik simpul tali, kait akan terlepas dan pegas akan menarik pintu sehingga pintu terbuka. Setelah meletakkan seekor kucing di dalam kotak, Thorndike mencatat waktu yang dibutuhkan kucing untuk keluar dari kotak tersebut. Jika berhasil keluar, kucing tersebut dimasukkan lagi dalam kotak untuk dicatat lagi waktu keberhasilan kucing keluar dari kotak. Ketika hasil pencatatan waktu ini digambarkan, Thorndike melihat bahwa pada umumnya hewan tersebut membutuhkan waktu yang lebih singkat pada setiap percobaan berikutnya. Sesudah kira-kira dua puluh kali percobaan, kucing mampu meloloskan diri secepat ketika dimasukkan ke dalam kotak. Thorndike kemudian mengemukakan hipotesisnya: apabila suatu respons berakibat menyenangkan, ada kemungkinan respons yang lain cenderung berakibat sama. Hipotesis kemudian dikenal sebagai hukum efek (Law of Effect).

Meskipun Thorndike yang menjadi pelopor dalam pengkajian bagaimana rasa puas mendorong pembelajaran, Skinner-lah yang menyelidiki kerja terinci "hukum efek" (Sylva & Lunt, 1986). B.F. Skinner dianggap sebagai Bapak conditioning operan. Walaupun hasil karyanya didasarkan pada hukum efek yang dikemukakan oleh Thorndike, Skinner telah memasukkan unsur penguatan dalam hukum efek tersebut (Hardy & Heyes, 1985: 42).
Seperti sudah disinggung di muka, conditioning operan adalah nama yang digunakan oleh Skinner (1938) untuk suatu prosedur yang menyebabkan individu bisa mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian ganjaran yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif bebas.
Perbedaan antara proses belajar klasik dan belajar operan adalah adanya stimulus diskriminan tersebut, yaitu yang membedakan antara kondisi saat suatu perilaku berhasil secara efektif dan kondisi perilaku tidak akan efektif  (Sarwono, 1997:69).
Skinner sependapat dengan Watson bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor lingkungan, rangsangan, atau stimulus). Ia mengatakan bahwa dengan memberikan ganjaran positif (pocitive reinforcement), suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatif (negative reinforcement), suatu perilaku akan dihambat.
Sebagai contoh, anak yang buang air di celana, selalu dimarahi ibunya (ganjaran negatif). Sebaliknya, jika ia mengatakan terlebih dahulu kepada ibunya bahwa ia akan buang air sehingga ibu bisa membawanya ke WC, anak itu akan dipuji ibunya (ganjaran positif). Lama-kelamaan anak itu belajar buang air di WC saja, bukan di sembarang tempat. Di pihak lain, jika anak itu mengatakan bahwa ia ingin buang air, padahal ia tidak sakit perut, ibunya juga akan memarahinya karena setelah berepot-repot mendudukkannya di WC, anak itu tidak mau buang air. Dengan demikian, anak itu belajar bahwa ia hanya boleh mengatakan "mau buang air" jika sakit perut. Proses belajar seperti ini oleh Skinner dinamakan proses belajar operan.
Meskipun begitu, penekanan pada eksperimen laboratorium terkendali, selain memiliki kekuatan, juga kelemahan. Di antara kelemahan-kelemahan teori tersebut adalah sebagai berikut (Syah, 1995:108).
(1) Proses belajar dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah ­proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar, kecu­ali sebagai gejalanya.
(2) Proses belajar bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti gerak mesin dan robot, padahal setiap individu memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yaang bersifat kognitif, sehingga ia bisa menolak untuk merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.
(3)  Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu ­sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.

2.  Teori Psikologi Gestalt

Teori belajar menurut psikologi Gestalt sering kali disebut insight full learning atau field theory. Ada pula istilah lain yang sebetulnya identik deng­an teori ini, yaitu organismic, pattern, holistic, integration, configuration, dan closure.
Jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur atau merupakan suatu sistem, bukan hanya terdiri atas sejumlah bagian atau unsur yang satu sama lain terpisah, yang tidak mempunyai hubungan fungsional. Manusia adalah individu yang merupakan berbentuk jasmani-rohani. Sebagai individu, manusia itu bereaksi, atau lebih tepatnya berinteraksi, dengan dunia luar, dengan kepribadiannya, dan dengan cara yang unik pula. Sebagai pribadi, manusia tidak secara langsung bereaksi terhadap suatu perangsang, dan tidak pula reaksinya itu dilakukan secara trial and error seperti dikatakan oleh penganut teori conditioning. Interaksi manusia terhadap dunia luar bergantung pada cara ia menerima stimulus dan bagaimana serta apa motif-motif yang ada padanya. Manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan. la bebas memilih cara bagaimana ia berinteraksi; stimulus mana yang diterimanya dan mana yang ditolaknya.
Atas dasar itu, maka belajar, dalam pandangan psikologi Gestalt, bukan sekadar proses asosiasi antara stimulus-respons yang kian lama kian kuat disebabkan adanya berbagai latihan atau ulangan-ulangan. Menurut aliran ini, belajar itu terjadi apabila terdapat pengertian (insight). Pengertian ini muncul jika seseorang, setelah beberapa saat, mencoba memahami suatu problem, tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut-pautnya, untuk kemudian dimengerti maknanya.
Prinsip-prinsip belajar berikut ini lebih merupakan rangkuman atau kesimpulan dari teori psikologi Gestalt:
(1)  Belajar dimulai dari suatu keseluruhan, kemudian baru menuju bagian-bagian. Dari hal-hal yang sangat kompleks menuju hal-hal yang lebih sederhana.
(2)  Keseluruhan memberi makna pada bagian-bagian. Bagian-bagian terjadi dalam suatu keseluruhan. Bagian-bagian itu hanya bermakna dalam rangka keseluruhan tersebut.
(3)  Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Seseorang belajar jika ia dapat bertinak dan berbuat sesuai dengan yang dipelajarinya.
(4) Belajar akan berhasil bila tercapai kematangan untuk memperoleh pengertian. Pengertian adalah kemampuan hubungan antara berbagai faktor dalam situasi yang problematis.
(5)   Belajar akan berhasil jika ada tujuan yang berarti bagi individu.
(6) Dalam proses belajar itu, individu selalu merupakan organisme yang aktif, bukan bejana yang harus diisi oleh orang lain.

0 comments: