Selasa, 20 Desember 2011

Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam Pendidikan Islam

A.    PENGERTIAN PENDIDIK

1.      Secara Etimologi
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan kata Murabbi yang berasal dari rabba, yurabbi, Muallim isim fa’il dari allama, yuallimu sebagaimana ditemukan dalam al-Qur’an (Q.S.2 : 31) sedangkan kata Muaddib, berasal dari addaba, yuaddibu seperti sabda Rasul : “Allah Mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan” . (HR Al Asyhari)
Kata atau istilah “Murabbi” misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang orentasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohan. Sedangkan untuk istilah “mu’allim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan (baca : pengajaran), dari seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah “muaddib”, menurut al-Attas, lebih luas dari istilah “mu’allim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.   

2.      Secara Terminologi
Para pakar menggunakan rumusan yang berbeda tentang pendidik
a.       Ahmad Tafsir mengatakan bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik.
b.      Zakiah Darajat berpendapat bahwa pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta didik.
c.       Moh. Fadhil al-Djamil menyebutkan, bahwa pendidik adalah yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia
Di Indinesia pendidik disebut juga guru yaitu “orang yang di gugu lan di tiru” . menurut Hadari Nawawi guru adalah orang-orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau di kelas khususnya adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membentuk anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. 

B.     KEDUDUKAN PENDIDIK

Jika Allah, Rasul, dan orang tua sebagai pendidik, memang sudah menjadi tanggungjawabnya secara fithri dan panggilan agama, maka hal ini berbeda dengan orang lain (guru) yang ditugaskan mendidik anak orang lain. Orang lain yang mendidik bukan anak sendiri tentu akan lain situasi psikologisnya. Oleh karena itu, agar tugas mendidik tersebut tidak mengendor, maka ajaran agama dan juga praktek dalam sejarah menetapkan beberapa aturan normatif yang dapat memotivasi para guru dalam mendidik. Hal itu antara lain dengan memberikan kedudukan yang tinggi dan terhormat kepadanya.
Dalam berbagai literatur yang membahas masalah pendidikan, Islam selalu dijelaskan tentang guru dari segi tugas dan kedudukannya. Dalam hubungan ini, Asma Hasan Fahmi, misalnya mengatakan barang kali hal yang pertama dan menarik perhatian dalam mengikuti pembahasan orang Islam tentang hal ini ialah penghormatan yang luar biasa terhadap guru, sehingga menempatkannya pada tempat yang kedua sesudah martabat para Nabi. Hasan Fahmi selanjutnya mengutip salah satu ucapan seorang penyair Mesir zaman modern yang berkenaan dengan kedudukan guru. Syair tersebut artinya : Berdirilah kamu bagi seorang guru dan hormatilah dia. Seorang guru itu hampir mendekati kedudukan seorang Rasul.
Penjelasan mengenai kedudukan guru yang demikian tinggi ini selanjutnya diberikan oleh al-Ghazali. Menurutnya sarjana yang bekerja mengamalkan ilmunya adalah lebih baik dari pada seorang hanya beribadah saja, puasa saja setiap hari dan sembahyang setiap malam.
Sejalan dengan itu Athiyah al-Abrasy mengatakan, seseorang yang berilmu dan kemudian ia mengamalkan ilmunya itu, maka orang itulah yang dinamakan orang yang berjasa besar di kolong langit ini. Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan menerangi pula dirinya sendiri, ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun harum. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan, maka sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting, maka hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya itu.
Mengapa kedudukan yang terhormat dan tinggi itu diberikan kepada para guru? Para ulama’ menjelaskannya, karena guru adalah bapak spiritual atau bapak rohani bagi seorang murid. Istilah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya. Atas dasar ini, maka menghormati guru pada hakikatnya adalah menghormati anak-anak kita sendiri, dan penghargaan terhadap guru berarti penghargaan anak-anak kita sendiri. Dengan guru itulah anak-anak dapat hidup dengan baik, dan menyongsong tugas hari depannya dengan gemilang. Jadi, pemberian hormat dan kedudukan yang tinggi kepada guru karena jasanya yang demikian besar kepada putera-puteri kita. Sebagaimana kita memuliakan Tuhan, Rasul, dan orang tua, karena jasa mereka yang luar biasa.
Penghormatan terhadap guru ini berbeda sekali dengan apa yang terdapat di Barat. Rasdhall sebagaimana pendapatnya dikutip Athiyah al-Abrasy menginformasikan tentang para guru besar yang mengajar di universitas-universitas di Eropa pada abad pertengahan. Pada waktu itu para guru besar terpaksa disumpah setia pada dekan fakultas dan patuh pada setiap peraturan yang dibuat oleh universitas, dilarang mengambil cuti, dan para mahasiswa berkewajiban memberikan laporan kalau guru besarnya itu berhalangan hadir. Semua itu terpaksa dipatuhi oleh guru besar karena ia takut kehilangan gajinya.
Hal tersebut berbeda dengan apa yang dilakukan pada lembaga-lembaga pendidikan Timur. Para guru besar mendapat penghormatan dan penghargaan yang tinggi. Sumber-sumber rujukan yang berbahasa Arab, misalnya mengatakan bahwa pada waktu meninggalnya Imam al-Haramain, al-Juwaimi, pasar-pasar ditutup, mimbar di universitas ditutup, dan mahasiswanya sebanyak 400 orang memecahkan tempat tinta dan pena mereka. Mereka dalam keadaan berkabung selama satu tahun.
Penghormatan terhadap guru yang demikian tinggi itu dapat dilihat dari jasanya yang demikian besar dalam mempersiapkan kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Diketahui bahwa suatu bangsa akan menjadi baik apabila sumber daya yang memegang kekuasaan itu berkualitas tinggi. Dan sumber daya berkualitas ini sebagian dibebankan pada peranan yang dilakukan oleh guru. Jasa guru tersebut amat banyak sekali, tetapi yang terpenting adalah : Pertama, guru sebagai pemberi pengetahuan yang benar kepada para muridnya, sedangkan ilmu adalah modal untuk mengangkat derajat manusia, dan dengan ilmu itu pula seorang akan memiliki rasa percaya diri dan bersikap mandiri, dan orang seperti inilah yang diharapkan dapat menanggung beban sebagai pemimpin bangsa. Kedua, guru sebagai pembina akhlak yang mulia, dan ahklak yang mulia merupakan tiang utama untuk menopang kelangsungan hidup suatu bangsa. Banyak bangsa di dunia gagah perkasa, maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi kemudian menjadi bangsa yang hancur dan hidup dalam keadaan sengsara disebabkan oleh akhlak yang rusak. Ketiga, guru pemberi petunjuk kepada anak tentang hidup yang baik, yaitu manusia yang tahu siapa pencipta dirinya yang menyebabkan ia tidak menjadi orang yang sombong, menjadi orang yang tahu berbuat baik kepada Rasul, kepada orang tua, dan kepada orang lain yang berjasa kepada dirinya.

Dengan melihat tugas yang dilakukan oleh guru yang disertai dengan kesabaran, penuh keikhlasan tanpa pamrih itulah yang menempatkan kedudukannya menjadi orang dihormati. Dengan demikian secara filosofis penghormatan yang tinggi kepada guru adalah sesuatu yang logis dan secara moral dan sosial sudah selayaknya harus dilakukan.

0 comments: