Pendidik dalam Pendidikan Islam
A. PENGERTIAN PENDIDIK
1.
Secara Etimologi
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut
dengan kata Murabbi yang berasal dari rabba, yurabbi, Muallim
isim fa’il dari allama, yuallimu sebagaimana ditemukan dalam al-Qur’an
(Q.S.2 : 31) sedangkan kata Muaddib, berasal dari addaba, yuaddibu
seperti sabda Rasul : “Allah Mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku
sebaik-baik pendidikan” . (HR Al
Asyhari)
Kata atau
istilah “Murabbi” misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang
orentasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau
rohan. Sedangkan untuk istilah “mu’allim”, pada umumnya dipakai dalam
membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu
pengetahuan (baca : pengajaran), dari seorang yang tahu kepada seorang yang
tidak tahu. Adapun istilah “muaddib”, menurut al-Attas, lebih luas dari
istilah “mu’allim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.
2.
Secara Terminologi
Para pakar menggunakan rumusan
yang berbeda tentang pendidik
a.
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa
pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik.
b.
Zakiah Darajat berpendapat bahwa
pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan
tingkah laku peserta didik.
c.
Moh. Fadhil al-Djamil menyebutkan,
bahwa pendidik adalah yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik
sehingga terangkat derajat kemanusiannya sesuai dengan kemampuan dasar yang
dimiliki oleh manusia
Di Indinesia pendidik disebut juga guru yaitu “orang
yang di gugu lan di tiru” . menurut Hadari Nawawi guru adalah orang-orang yang
kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau di kelas khususnya
adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut
bertanggung jawab dalam membentuk anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.
B. KEDUDUKAN PENDIDIK
Jika Allah, Rasul, dan orang tua sebagai pendidik,
memang sudah menjadi tanggungjawabnya secara fithri dan panggilan agama, maka
hal ini berbeda dengan orang lain (guru) yang ditugaskan mendidik anak orang
lain. Orang lain yang mendidik bukan
anak sendiri tentu akan lain situasi psikologisnya. Oleh karena itu, agar tugas
mendidik tersebut tidak mengendor, maka ajaran agama dan juga praktek dalam
sejarah menetapkan beberapa aturan normatif yang dapat memotivasi para guru
dalam mendidik. Hal itu antara
lain dengan memberikan kedudukan yang tinggi dan terhormat kepadanya.
Dalam
berbagai literatur yang membahas masalah pendidikan, Islam selalu dijelaskan
tentang guru dari segi tugas dan kedudukannya. Dalam hubungan ini, Asma Hasan
Fahmi, misalnya mengatakan barang kali hal yang pertama dan menarik perhatian
dalam mengikuti pembahasan orang Islam tentang hal ini ialah penghormatan yang
luar biasa terhadap guru, sehingga menempatkannya pada tempat yang kedua sesudah
martabat para Nabi. Hasan Fahmi selanjutnya mengutip salah satu ucapan seorang
penyair Mesir zaman modern yang berkenaan dengan kedudukan guru. Syair tersebut
artinya : Berdirilah kamu bagi seorang guru dan hormatilah dia. Seorang
guru itu hampir mendekati kedudukan seorang Rasul.
Penjelasan mengenai kedudukan guru yang demikian
tinggi ini selanjutnya diberikan oleh al-Ghazali. Menurutnya sarjana yang
bekerja mengamalkan ilmunya adalah lebih baik dari pada seorang hanya beribadah
saja, puasa saja setiap hari dan sembahyang setiap malam.
Sejalan dengan itu Athiyah al-Abrasy mengatakan, seseorang
yang berilmu dan kemudian ia mengamalkan ilmunya itu, maka orang itulah yang
dinamakan orang yang berjasa besar di kolong langit ini. Orang tersebut
bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan menerangi pula dirinya sendiri,
ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun
harum. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan, maka sesungguhnya ia telah
memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting, maka hendaknya ia
memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya itu.
Mengapa kedudukan yang terhormat dan tinggi itu
diberikan kepada para guru? Para ulama’
menjelaskannya, karena guru adalah bapak spiritual atau bapak rohani bagi
seorang murid. Istilah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan
akhlak dan membenarkannya. Atas dasar ini, maka menghormati guru pada
hakikatnya adalah menghormati anak-anak kita sendiri, dan penghargaan terhadap
guru berarti penghargaan anak-anak kita sendiri. Dengan guru itulah anak-anak dapat hidup dengan
baik, dan menyongsong tugas hari depannya dengan gemilang. Jadi, pemberian
hormat dan kedudukan yang tinggi kepada guru karena jasanya yang demikian besar
kepada putera-puteri kita. Sebagaimana
kita memuliakan Tuhan, Rasul, dan orang tua, karena jasa mereka yang luar
biasa.
Penghormatan
terhadap guru ini berbeda sekali dengan apa yang terdapat di Barat. Rasdhall
sebagaimana pendapatnya dikutip Athiyah al-Abrasy menginformasikan tentang para
guru besar yang mengajar di universitas-universitas di Eropa pada abad
pertengahan. Pada waktu itu para guru besar terpaksa disumpah setia pada dekan
fakultas dan patuh pada setiap peraturan yang dibuat oleh universitas, dilarang
mengambil cuti, dan para mahasiswa berkewajiban memberikan laporan kalau guru
besarnya itu berhalangan hadir. Semua itu terpaksa dipatuhi oleh guru besar
karena ia takut kehilangan gajinya.
Hal
tersebut berbeda dengan apa yang dilakukan pada lembaga-lembaga pendidikan
Timur. Para guru besar mendapat penghormatan dan penghargaan yang tinggi.
Sumber-sumber rujukan yang berbahasa Arab, misalnya mengatakan bahwa pada waktu
meninggalnya Imam al-Haramain, al-Juwaimi, pasar-pasar ditutup, mimbar di
universitas ditutup, dan mahasiswanya sebanyak 400 orang memecahkan tempat
tinta dan pena mereka. Mereka dalam keadaan berkabung selama satu tahun.
Penghormatan
terhadap guru yang demikian tinggi itu dapat dilihat dari jasanya yang demikian
besar dalam mempersiapkan kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Diketahui
bahwa suatu bangsa akan menjadi baik apabila sumber daya yang memegang
kekuasaan itu berkualitas tinggi. Dan sumber daya berkualitas ini sebagian
dibebankan pada peranan yang dilakukan oleh guru. Jasa guru tersebut amat
banyak sekali, tetapi yang terpenting adalah : Pertama, guru sebagai
pemberi pengetahuan yang benar kepada para muridnya, sedangkan ilmu adalah
modal untuk mengangkat derajat manusia, dan dengan ilmu itu pula seorang akan
memiliki rasa percaya diri dan bersikap mandiri, dan orang seperti inilah yang
diharapkan dapat menanggung beban sebagai pemimpin bangsa. Kedua, guru
sebagai pembina akhlak yang mulia, dan ahklak yang mulia merupakan tiang utama
untuk menopang kelangsungan hidup suatu bangsa. Banyak bangsa di dunia gagah
perkasa, maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi kemudian menjadi
bangsa yang hancur dan hidup dalam keadaan sengsara disebabkan oleh akhlak yang
rusak. Ketiga, guru pemberi petunjuk kepada anak tentang hidup yang
baik, yaitu manusia yang tahu siapa pencipta dirinya yang menyebabkan ia tidak
menjadi orang yang sombong, menjadi orang yang tahu berbuat baik kepada Rasul,
kepada orang tua, dan kepada orang lain yang berjasa kepada dirinya.
Dengan melihat tugas yang dilakukan oleh guru yang disertai dengan kesabaran,
penuh keikhlasan tanpa pamrih itulah yang menempatkan kedudukannya menjadi
orang dihormati. Dengan demikian secara filosofis penghormatan yang tinggi kepada
guru adalah sesuatu yang logis dan secara moral dan sosial sudah selayaknya
harus dilakukan.
0 comments:
Posting Komentar