Senin, 23 Juli 2012

Klasifikasi Hadits

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Orang yang melakukan studi secara kritis akan mengetahui bahwa asas serta prisip-prinsi pokok ulumul hadits (kaidah-kaidah menerima dan menyampaikan hadits) itu benar-benar terdapat dalam kitab al qur’an yang mulia, serta terdapat dalam sunah nabawiah, Alloh berfirman: wahai orang-orang yang beriman, jika dating orang fasik dengan mambawa suatu berita kepada kalian, maka hendaklah kalian menelitinya dalam aha melaksanakan perintah Alloh dan RasulNya, maka para sahabat telah menetapkan ketentuan-ketentuan dalam menyampaikan suatu berita sekaligus dalam hal enerimanya, terutama ketika meragukan tehadap kejujuran orang yang yang menympaikan berita tersebut. Atas dasar ini, maka nampak jelaslah kedudukan serta nilai sanad dalam rangka untuk menerima atau menolak suatu berita. Sehubungan dengan berkembangnya zaman banyak macam-macam hadits yang kita dapati saat ini, di setiap hadits itupun terdapat penjelasan dan hokum yang berbeda, dari situlah penulis ingin memaparkan secara singkat mengenai kehashohian,  hasan, kedloifan dan kemaudlhu’an hadits.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengkalasifikasian hadits dan sanad berdasarkan konteks maqbul dan mardudnya?
2.      Bagaimana ciri keshohian hadits itu?
3.      Bagaimana kedudukan sebuah hadits itu?

1.3  Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih sistematis tentang pengkalasifikasian hadits dan sanad berdasarkan konteks maqbul dan mardudnya
2. Untuk mengetahui kehashohian, hasan, kedloifan dan kemaudlhu’an            hadits.
3. Untuk mengetahui kualitas hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Klasifikasi  hadits ditinjau dari segi kualitas (maqbul dan mardud.)[1]
Hadits maqbul : hadits yang diterima sebagai hujjah atau dalil serta dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Para ulama’ membagi hadits maqbul menjadi dua bagian pokok : Shohih dan hasan. Masing-masing dari keduanya terbagi menjadi dua bagian, lidzati dan lighoirihi, kemudian untuk yang maqbul secara tuntas terbagi menjadi empat:
1.      Shohih lidzati
2.      Shohih ligoirihi
3.      Hasan lidzati
4.      Hasan lighoirihi 

2.2  Hadits Shohih[2]
A.    Definisi
1.      Imam al Atsqolani
Hadits shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari perowi yang adil lagi dlobit serta terhindar dari kejanggalan-kejanggalan dan ilat.
2.      Definisi Abu  Amr Ibn ash-Sholah
Abu Amr Ibn ash-Sholah mengatakan:
Hadits shohih adalah musnad yang sanadnya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhobit(pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak mualal(terkena ilat)
3.      Definisi imam Nawawi, imam Nawawi meringkas definisi Ibnu ash-sholah. Beliau mengatakan:
Hadits shohih adalah hadits yang muttasil sanadnya melalui (periwayatan) tentang orang adil lagi dhobit tanpa syadz dan ilat.
            Yang dimaksud orang-orang adil lagi dhobit adalah para perowi dalam sanad itu yakni diriwayatkan oleh perowi yang adil lagi dhobit dari perowi yang adil lagi dhobit (pula) dari awal sampai akhirnya.
Secara singkat hadits shohih harus memenuhi lima syarat:
a)      Muttasil sanadnya. Dengan syarat ini, dikecualikan hadits mungqati’, mu’dhal, mu’alaq, muddalas dan jenis-jenis lain yang tidak memenuhi kriteria muttasil ini.
b)      Perowi-perowinya adil. Yang dimaksud adil adalah orang yang lurus agamanya, baik pekertinya, dan bebas dari kefasikan serta bebas dari hal-hal yang menjatuhkan muru’ahnya.
c)      Perowi-perowinya dhobit. Yang dimaksud dhobit adalah orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadits, paham ketika mendengarnya, dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya. Yakni perowi harus hafal dan mengerti apa yag harus diriwayatkannya(bila dia meriwayatkan dari hafalannya) serta memahaminya(bila meriwayatkannya secara ma’na). Serta harus menjaga tulisannya dari perubahan, penggantian ataupun penambahan, bila dai meriwayatkan dari tulisannya. Syarat ini pengecualian periwayatan perowi yang pelupa dan sering melakukan kesalahan.
d)      Yang diriwayatkan tidak syadz. Syadz adalah penyimpangan oleh perowi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya.
e)      Yang diriwayatkan terhindar dari ilat qodhihah(ilat yang mencacatkannya), seperti yang memursalkan yang maushul, memutasilakan yang mungqoti’ ataupun memarfu’kan yang mauquf ataupun yang sejenis.
Jadi diambil kesimpulan bahwa hadits shohih adalah hadits yang muttasil sanadnya melalui periwayatan tsiqat dari perowi(lain) yang tsiqat pula sejak awal sejak awal sampai akhir tanpa syadz dan tanpa ilat.
            Contoh :ما اخرجه البخري في صحىحه قا ل:حدثنا عبد الله ابن يسف قال اخبرنا مالك ابني شهاب عن محمد ابن جبيربن مطعم عن ابيه قال سمعت رسول الله  ص م "قراء في المغرب بالطور"

2.3  Pembagian hadits shohih[3]
Hadits shohih terbagi menjadi 2: shohih li dzatihi dan shohih li ghoirihi.
v  Shohih li dzati adalah hadits yang sanadnya bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari orang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak mengandung sanad.
Contoh hadits shohih lidzati adalah:
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhori dan muslim, dari jalur al a’raj, dari Abu Huroiroh r.a, sesunguhnya Rasulullah SAW. bersabda:
لولا ان اشق على امتي لا امرتهم بالسواق عند كل صلاة
Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku pasti aku memerintahkan mereka agar bersiwak setiap kali handak mengerjakan sholat.
v  Sedangkan hadits shohih li ghoirihi adalah hadits yang keshohiannya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadits kategori ini pada mulanya, memiliki kelemahan pada aspek kedlobitan dan perowinya(qolil adha-dlobith). Diantara perowinya ada yang kurang sempurna kedlobitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadits shohi. Baginy semula hanya sampai pada derajat atau kategori hadits hasan li dzati.[4]

2.4  Kehujahan Hadits Shohih
Para ulama’ sependapat bahwa hadits ahad yang shohih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat Islam. Namun mereka berbeda pendapat, apabila hadits kategori ini dijadikan hujjah, untuk menetapkan soal-soal aqidah.
Perbedaan ini mengarah pada penilaian tentang faidah yang diperoleh dari hadits ahad dan shohih, apakah hadits ini memberi faidah qoth’i atau dzonni?
§  Ulama’ yang menganggap hadits seperti itu(ahad dan shohih)adalah memberi faidah qoth’i jadi bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah akidah. Sebagaimana hadits mutawatir.
§  pendapat lain hanya menganggap memberi faidah dzonni, berarti hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hijjah untuk menetapkan soal akidah.
·         Para ulama’ dalam hal ini berpendapat bahwa hadits shohih tidak memberikan faidah qoth’i sehingga tidak bisa dijakan hujjah untuk menetapkan soal akidah.
·         Sebagian ahli hadits, sebagaimana dikatakan imam An Nawawi, memandang bahwa hadits-haduts shohih riwayat Al Bukhori dan Muslim memberikan faidah qoth’i
·         Sebagian ulama’ lainnya, Ibni Hazn, bahwa semua hadits shohih memberikan faidah qoth’i, tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama’ di atas atau bukan. Menurut Ibnu Hazn, tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan siapa yang meriwayatkannya. Semua hadits, jika memenuhi syarat keshohihannya, adalah sama dalam memberikan faidahya.

2.5  Hadits Hassan dan permasalahannya[5]
1.      Latar belakang munculnya istilah Hadits Hassan
Pada mulanya Hadits itu terbagi kepada Shohih dan Dha’if. Yang shohih, yaitu memenuhi kriteria maqbul, dan yang dho’if, yang tidak memenuhi kriteria itu, atau dengan kata lain yang memenuhi kriteria mardud.
Diantara para ulama’ ada yang menemukan adanya kriteria yag kurang sempurna dalam kedhobitannya. Artinya, terdapat para perowi yang kualitas hafalannya dibawah para perowi yang shohih akan tetapi diatas para perowi yang dho’if dengan kata lain, tingkat kedhobitannya menengah antara yang shohih dan yang dho’if padahal, pada kriteria-kriteria lainnya terpenuhi dengan baik atau sempurna,
  Untuk itu kedudukan para perowi yang memilii kualitas hafalannya menengah tertampung disini, tidak dimasukkan dalam kelompok shohih juga tidak pada kelompok dho’if. Mereka menduduki posisi apa adanya, dengan memiliki sebutan tersendiri dan kemampuannya dihargai.

2.6  Definisi Hadits Hasan[6]
Hadits hasan adalah hadits yang mutasil sanadnya yang diriwayatkan oleh perowi hadits yang adil yang lebih rendah kedlobitannya tanpa syadz dan tanpa illat.
Dari sini jelaslah perbedaan antara hadits shohih dan hadis hasan, yaitu bahwa dalam hadits shohih disyaratkan dlobit yang sempurna, sedang dalam hadits hasan disyaratkan dlobit dasar.
Contoh:   ما اخرجه الترمذيحدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليما ن الضبعي عن ابي عمران الجونى عن ابي بكر بن ابي موسي العشعري قال : سمعت ابي بحضرة العدو يقول: قال رسول ص م : ان ابواب الجنت تحت ظلال السيوف الحديث     ما اخرجه الترمذي قال

2.7  Jenis-jenis Hadits Hasan[7]
Hadits hasan ada dua:
v  Hasan lidzati adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, tidak mengandung cacat dan tidak ada kejanggalan.
Contoh : hadits yang diriwayatkan oleh Atturmudzi, dari jalur Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Huroiroh r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW.bersabda:
لولا ان اشق على امتي لا امرتهم بالسواق عند كل صلاة
Dalam sanad hadits riwayat imam At Turmudzi tersebut terdapat rowi bernama Muhammad bin Amr. Menurut ulama’ ahli hadits, dia dinilai kurang kuat hafalannya.
v  Hadits hasan lighirihi adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau orang yang kurang baik hafalannya dan lain-lainnya.
Hadist hasan lighoirihi ini harus memenuhi tiga syarat:
1.      Bukan pelupa yang banyak salahnya dalam hadits yang diriwayatkan.
2.      Tidak tampak ada kefasikan pada diri perowinya.
3.      Hadits yang diriwayatkan benar-benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang serupa dengannya atau semakna yang diriwayatkan dari satu jalur atau lebih.
Contoh: hadist yang diriwayatkan oleh At Turmudzi dan dihasankan melalui jalan Su’bah dari A’syim bin Ubaidillah dari Abdulloh bin Amir bin Robiah dari bapaknya bahwa seorang perempuan dari bani fazaroh dinikahi dengan dua sandal, maka Rasulullah bersabda padanya:
  Apakah kamu ridlo dari dirimu dan hartamu dengan dua sandal? Maka ia menjawab” ya “lal beliau membolehkannya. At Tirmidzi berkata dalam bab tersebut terdapat jalan lain dari Umar dari Abu Hurairah dari Abi Hadrad ”sementara A’syim adalah dlo’if” karena jelek hafalannya, tapi At Tirmidzi menghasankan hadist ini karena kedatangannya dari arah yang lainnya[8].

2.8  Hadits Dlo’if dan permasalahannya[9]
1.      Pengertian hadits dlo’if secara etimologi berarti yang lemah, sebagai lawan kata dari qowy sebagai lawan dari shohih, kata dlo’if juga berarti saqim(yang sakit) maka sebutan hadist dlo’if secara etimologi berarti hadist yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat.
2.      Secara terminologi, para ulama’ mendifisikannya dengan redaksi yang berbeda-beda akan tetapi, pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Beberapa definisi diantaranya:
·         Imam Nawawi : bahwa hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan yang lain menyebutkan bahwa hadist dho’if ialah segala hadits yang didalamnya tidak berkumpul sifat-sifat maqbul.
3.      Definisi yang disebut kedua ini sama dengan definisi yang menyebutkan, sebagai berikut, hadits yang didalamnya tidak terkumpul hadist-hsdist shohih dan hasan.

2.9  Pembagian hadits dlo’if
v  Hadits dlo’if dari sudut sandaran matannya bahwa hadits ini dilihat dari sudut sandarannya terbagi kepada tiga yaitu:
1.      Hadits mauquf, secara bahasa adalah yang dihentikan atau ang diwakafkan. Maka hadits mauquf dalm pengertian ini, berarti hadits yang dihentikan
Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan dari para shohabat berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya.
2.      Hadits maqthu’ menurut bahasa berarti yang dipotong ya’ni dipotong sandarannya hanya pada tabiin. Menurut istilah hadits yang diriwayatkan dari tabiin, berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya.
3.      Hadits maqlub, menurut bahasa diputar balikkan atau ditukarkan tempatnya. Menurut istilah mandahulukan (menta’dimkan) kata kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis dibelakang, dan mengakhirkan(menta’hirkan)kata, kalimat, atau nama yang seharusnya didahulukan.[10]

2.10          Hadits maudzu’[11]
Hadits maudlu’ secara etimologi adalah isim maf’ul dari kata kerja dalam kalimat wadla’asy-syi’a artinya” menurunkannya, disebut demikian karena turun tingkatannya”.
Menurut terminolagi adalah kedustaan yang diciptakan lagi dibuat-buat lalu dinisbatkan pada Rasululloh.

Hadits maudzu’ ialah hadits yng paling jelek dan paling buruknya dari sekian hadits banyaknya hadits dzoif, dan sebagian ulama’ ada yang menyatakan sebagai suatu bagian yang terpisah dan bukan merupakan salah satu  cabang hadits-hadits dzo’if. Para ulama’ sepakat menyatakan tidak halal meriwayatkan hadits dzo’if bagi seoarang yang telah mengetahui keadaannya dalam arti apapun, kecuali bila disertai menjelaskan kedzo’ifannya. Berdasarkan hadits muslim: barang siapa menceritakan suatu hadits dariku sementara diketahui dia adalah diketahui bahwa dia adalah dusta maka dia adalah salah satu dari para pendusta.
  
BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
v  Klasifikasi  hadits ditinjau dari segi kualitas (maqbul dan mardud.)
Hadits maqbul : hadits yang diterima sebagai hujjah atau dalil serta dapat dijadikan sebagai landasan hukum.
·         Para ulama’ membagi hadits maqbul menjadi dua bagian pokok : Shohih dan hasan. Masing-masing dari keduanya terbagi menjadi dua bagian, lidzati dan lighoirihi, kemudian untuk yang maqbul secara tuntas terbagi menjadi empat:
1.      Shohih lidzati
2.      Shohih ligoirihi
3.      Hasan lidzati
4.      Hasan lighoirihi 
Hadits shohih adalah hadits yang muttasil sanadnya melalui (periwayatan) tentang orang adil lagi dhobit tanpa syadz dan ilat.
·         Secara singkat hadits shohih harus memenuhi lima syarat:
1.      Muttasil sanadnya.
2.      Perowi-perowinya adil.
3.      Perowi-perrowinya dzobith
4.      Yang diriwayatkan tidak syadz
5.      Yang diriwayatkan terhindar dari ilat qodhihah(ilat yang mencacatkannya)
·         Hadits hasan adalah hadits yang mutasil sanadnya yang diriwayatkan oleh perowi hadits yang adil yang lebih rendah kedlobitannya tanpa syadz dan tanpa illat.
v  Pengertian hadits dlo’if secara etimologi berarti yang lemah, sebagai lawan kata dari qowy sebagai lawan dari shohih, kata dlo’if juga berarti saqim(yang sakit) maka sebutan hadist dlo’if secara etimologi berarti hadist yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat.
Secara terminologi, para ulama’ mendifisikannya dengan redaksi yang berbeda-beda akan tetapi, pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Beberapa definisi diantaranya:
§  Imam Nawawi : bahwa hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan yang lain menyebutkan bahwa hadist dho’if ialah segala hadits yang didalamnya tidak berkumpul sifat-sifat maqbul.
v  Pembagian hadits dlo’if dari sudut sandaran matannya bahwa hadits ini dilihat dari sudut sandarannya terbagi kepada tiga yaitu:
1.      Hadits mauquf
2.      Hadits maqtu’
3.      Hadits maqlub
v  Hadits maudlu’ secara etimologi adalah isim maf’ul dari kata kerja dalam kalimat wadla’asy-syi’a artinya” menurunkannya, disebut demikian karena turun tingkatannya”.
Menurut terminolagi adalah kedustaan yang diciptakan lagi dibuat-buat lalu dinisbatkan pada Rasululloh.

3.2  SARAN DAN KRITIK
 Orang yang melakukan studi secara kritis akan mengetahui bahwa asas serta prinsip-prinsip pokok ulumul hadits (kaidah-kaidah menerima danmenyampaikan hadits) itu benar-benar terdapat dalam kitab al-qur’an dan as-sunnah. Jadi sudah jelaslah bahwa ketentuan mengenai pengambilan suatu berita sekaligus cara malakukan tabayyun (memperjelas) serta menelitinya dan agar hati-hati dalam menyampaikan pada orang lain. Maka dalam rangka usaha melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya itu, hendaklah kita harus hati-hati untuk menerapkannya, karena banyak sekali pemalsuan hadits-hadits saat ini. Wallahu ‘Alam bissoab.  

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Mahmud Tohhan,  Ulumul Hadits, 
Dr. Utang Ranuwijaya, MA. Ulumul Hadits.
Hafidz Hasan Al-Mas’udi, Minhatul Mughits,
Ajaj al-Khathib, Ushul
Dr. Mahmud Tohhan,  Ulumul Hadits



[1]Dr. Mahmud Tohhan,  Ulumul hadits,  hal: 41
[2] Dr. Utang Ranuwijaya, MA. Ulumul Hadits. Hal:155-164
[3] Hafidz Hasan Al-Mas’udi, minhatul mughits, hal:11
[4] Dr. Utang Ranuwijaya, MA. Ulumul Hadits.op.cit, hal: 166-167
[5] Ibid hal: 168
[6] Ajaj al-Khathib, Ushul, hal:299
[7] Hafidz Hasan Al-Mas’udi, minhatul mughits, op.cit. hal:13-15
[8] Dr. Mahmud Tohhan,  Ulumul hadits, hal:57-58
[9] Dr. Utang Ranuwijaya, MA. Ulumul Hadits, hal:176-178
[10] Ibid, hal:181
[11] Dr. Mahmud Tohhan,  Ulumul hadits, op.cit,  hal:88-92

0 comments: