Senin, 20 Mei 2013

Akal, Wahyu, Mukmin, Kafir Dan Sifat Allah

A.    FUNGSI AKAL DAN WAHYU
a.         Akal
Akal, dalam pengertian Islam, tidaklah otak, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang sebagai digambarkan dalam al Qu’ran, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya, dan juga daya yang berfungsi untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan.
Kata-kata yang dipakai dalam al Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya ‘aqala  (عقل)  tetapi juga kata-kata berikut:
1.    Nazara (نظر) melihat secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan, terdapat dalam 30 ayat lebih, salah satunya:

الانسان ممّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ والتَّرَائِبِ(7). [ الطَّارِق]  فَلْيَنْظُرِ
Maka hendaklah manusia merenungkan dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk.
2.     Tadabbara (تدبر) merenungkan, terdapat dalam beberapa ayat:

يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْأنَ اَمْ عَلى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهاَ [محمّد 24]  اَفَلاَ
Tidaklah mereka merenungkan al Qur’an ataukah hati telah terkunci?
3.    Tafakkara ((تفكر berfikir.
           الله الذي سخّر لكم البحر لِتَجْريَ الفلكُ فيه بامرهِ ولتبْتغوا من فضله ولعلّكم تشكرون-وسخّر لكمْ ما في السّماواتِ وما في الأرض جميعاً منهُ انّ في ذلك لأيتٍ لِقَومٍ يتفكّرونَ (الجاثية 12-13)         

Tuhanlah yang membuat laut bagimu tunduk agar padanya kapal-kapal berlayar atas perintah-Nya dan kamu cari karunia-Nya, semoga kamu berterima kasih. Ia buat segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi tunduk bagimu, semuanya adalah dari pada-Nya, pada-Nya sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berfikir.

4.    Faqiha (فه), mengerti, faham.

السّموات له تسبّح السّبعُ والأرض ومن فيهنّ وانْ منْ شئٍ الاّ يسبحُ بحمدهِ ولكنْ لاتفقهونَ تسبحهون انّه كان حليماغفورا
                  Langit yang tujuh serta bumi dan yang ada pada keduanya memujaNya dan tidak ada suatupun yang tidak memujaNya dengan pujian tetapi kamu tidak mengerti pujaan mereka. Sungguh Ia Maha Penyantun dan Pengampun
b.         Wahyu
Wahyu berasal dari kata arab al wahy dan al wahy adalah kata asli arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam  arti “apa yang disampaikan kepada nabi-nabi”. Dalam islam, wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan pada Nabi Muhammad SAW terkumpul dalam al Quran. Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi telah dijelaskan dalam al Quran surat as-syuraa 42-51.
Ada tiga cara, pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir seperti yang terjadi dengan Nabi Musa, ketiga melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Seorang Nabi, kata Ibn Sina dianugrahi Tuhan akal yang mempunyai daya tangkap luar biasa, sehingga tanpa latihan ia dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci (qudsiyyah) ang lebih kuat dari akal demikian.
Menurut ajaran tasawwuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari, dengan cara menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa (banyak beribadah- mengingat Allah. Serang sufi akan melakukan shalat, puasa, membca al Quran dan mengingat Tuhan. Dalam hal itu komunikasi antara sufi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu. Wahyu adalah khusus bagi Nabi-Nabi.
Penglihatan dan  pendengaran makhluk Allah mengandung arti materi yang dapat dilekatkan pada diri Tuhan yang bersifat immateri, karena dalam diri Tuhan “sifat-sifat” itu tidak mesti mempunyai bentuk jasmani. Berlainan dengan manusia, Tuhan tidak berhajat pada mata dan telinga jasmani untuk mendengar dan melihat.
Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan immateri ini, timbul pertanyaan tentang bagaimana wahyu yang bersifat immateri bisa berubah menjadi materi. Para Psikologi menyebut adanya Extrasensory Perception, disingkat ESP, yang dapat diartikan penyerapan atau perolehan pengetahuan tidak melalui indera pada umumnya[1]. Dalam penjelasan J.B. Rhine, ESP mencakup telepati, mind reading (mengetahui apa yang ada dalam pemikiran orang lain) clair voyance (kesanggupan melihat apa yang basanya tidak dapat dilihat orang lain).

B.     MU’MIN DAN KAFIR
a.    Sejarah ringkas timbulnya konsep iman dan kufur
Perbincangan tentang iman dan kufur ini timbulnya pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Talib. Pada waktu itu terjadi pertempuran antara Sayyidina Ali dengan Mu’awiyya Ibn Abi Sufyan. Mu’awiyyah adalah gabenur Damaskus yang tidak setuju pemerintahan Sayyidina Ali. Pertempuran ini terkenal dengan peperangan Siffin (659 M.).Ketika pasukan Saidina Ali hampir memenangi pertempuran tersebut, pembantukanan Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn Al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, memintaberdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Saidina Alimendesak Saidina Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilahperdamaian dengan mengadakan pengantara (arbitrasi). Sebagai pengantara dilantikdua orang, iaitu:- ‘Amr Ibn Al-‘As di pihak Mu’awiyyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kesimpulan dari arbitrasi tersebut merugikan pihak Ali dan meng-untungkan pihak Mu’awiyyah, lalu Mu’awiyyah dengan sendirinya dianggap menjadikhalifah tidak rasmi.Sebahagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara (arbitrasi) tersebutdan kerana itu mereka meninggalkan barisan Saidina Ali. Golonganmereka inilahdalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij[2].Dalam teologi islam yang pertama muncul tidak lain adalah iman dan kufur. Dan yang melopori itu tadak lain adalah kelompok khowarij. Ketika khowarij mencap kafir sejumlah sahabat nabi SAW. Yang telah  telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Ash, Muawiyah bi Abi Shofwan, Zubair bin Awam, dan Aisyah, istri Rasululloh[3].
      Dalam hala iman dan kafir ini menjadi perbincangan antar banyak doktrin islam yang ada di dunia ini antara lain  Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah,dan Matridiyyah. Perbincanan konsep ima dan kafir menurut teologi islam[4].
      Menurut Hasan Hanafi, ada empat ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam dalam membicarakan iman, yaitu:
1.      Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui degan akal)
2.      Amal, (perbuatan baik atau patuh)
3.      Iqrar, (pengakuan secara lisan), dan
4.      Tashdiq,(membenarkan dengan hati, termasuk pula didalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahi degan hati)[5]
Keempat istilah misalnya terdapat pada hadits Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh Muslim bin Abu Sa’id al- Khudri:
من راى منكم منكرا  فليغيّره بيده فانلم يستطع فبلسانه فانللم يستطع فببقلبه ووذلك اضعف الايمان (رواه مسلم)
Artinya:
“Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklan mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itupun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah.”(H.R. Muslim)
b.    Perbandingan konsep dalam aliran-aliran ilmu kalam dalam perspektif mu’min kafir.
1.         Aliran Khawarij
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pebndirian teologis khawarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur. Khawarij mula-mula memunculkan persoalan teolgis seputar masalah, “apakah Ali Dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?” “ apakah Mu’awiyyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?”  muawiyah dan Ali dan para pendukungnya telah melakukan tahkim. Bearti mereka telah dosa besar, menurut semua Khawarij, adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya[6].
Iman pada pandangan khawarij,tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama jga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk didalamnya maslah kekuasaan adalah bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah, akan tetapi dia tidak menjauhi lrnan Allah dan menjalankan perintahnya, maka mereka adalah tergolong orang kafir, menurul aliran khawarij.[7]
2.         Aliran Murji’ah
Menurut  Harun Nasution dan Abu Zahra murji’ah dikelompokkan kedalam dua bagian yaitu murji’ah moderat (murji’ah sunnah) dan murji’ah ekstrim (murji’ah bid’ah).
Murji’ah moderat  menurut Harun Nasution bahwasannya mereka-mereka yang dikatakan tiadalah kafir orang-orang yang meakukan dosa besar, meskipun kelak akan masuk neraka orang yang melakukan dosa besar. Kendatipun demikian, kata mereka masih ada kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya, sehinga bebas dari siksa neraka.[8] 
                          Murji’ah Ekstrim menurut Harun Nasution bahwasannya mereka-mereka yang bepandangan bahwa keimanan terletak dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanan, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.[9]
3.         Aliran Mu’tazilah
Kemunculan aliran ini tak jauh beda dengan permasalahan dalam aliran dua tadi yang telah dijelaskan diawalpembahasan, yaitu tentang setatus pelaku dosa besar. Yang dipermasalahkan apakah dikatakan beeriman ataukah sudah tergolong kafir pelaku dosa besar tersebut. Khowarij mengkafirkan orang yang telah berbuat dosa besartersebut, dan murji’ah memeliharan keimanan pelaku dosa besar tersebut, sedangkan mu’tazilah tidak menantukan apa status pelaku dosa besar tersebut, kecuali memberi sebutan kepada mereka dengan sebutan al-manzilah bain al-manzilatain ( menempati posisi tengah-tengah diantara kafir dan mukmin). Jika meninggal dunia orang tersebut, maka akan dimasukkan neraka selamanya. Namun, siksaan yang akan diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.[10]
4.         Aliran Asy’ariyah
Agak sulit untuk memahami makna iman yang diberikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari sebab, didalam karya-karyanya seperti maqalat, al-Ibanah, dan al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam maqalat,dan al-Ibanah disebutkan bahwa, iman adalah qawl dan amal, dan dapat bertambah atau berkurang.[11] Sedangkan dalam al-Luma, iman diartikannya sebagai tasdiq bi Allah. Argumentasinya adalah bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam surat yusuf  ayat tujuh yang mempunyai hubungan makna dengan kata siddiqin. Dengan demikian menurut Asy’ari, iman adalah tashdiq bi al-qalb ( membenarkan dengan hati ).[12]
Disamping itu pengertian islam jauh lebih luas dari pada iman, tetapi tidaklah setiap muslim itu mukmin, iman itu meliputi juga perkataan dan perbuatan yang ditambah dan dikurang. Ia pun yakin bahwa hati manusia itu berbolak balik antara kekuasaan Allah, seperti mana bolak-baliknya langit dan bumi dalam genggamannya.
Orang mukmin yang berbuat dosa besar tidaklah kafir, tapi jika melakukan dosa besar didasari dengan keyakinan bahwa perbuatan tersebut itu dosa, maka ia kafir.orang yang mukmin dan melakukan dosa besar adalah fasik dan bukan kafir.[13]
5.         Aliran Maturidiyah
Dalam masalah iman, alairan maturidiyah  Samarkan berpendapat bahu wasannya iman adalah tashdiq bi al-qalb, dan bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.[14] Pengertian ini dikemukakan oleh Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte murji’ah. Ia beragumentasi dengan ayat al-Qur’an surat al- Hujarot 14. Ayat ini dipahami al-Maturidi adalha suatu penegas bahwasannya ayat ini sebagai penegas dari suatu pernyataan iman itu tidak cukup hanya degan perkataan saja, akan tetapi juga harus jga diyakini dalam hati. Apa yang telah diucapkan olehan akan gugur atau tidak sah keimannan tersebut, kalau tidak diyakini degan hati.
  
C.    SIFAT-SIFAT ALLAH
Allah memiliki sifat-sifat atau tidak ini, menimbulkan Pertentangan paham antara kaum mu’tazilah, Asy ‘ariyah, Maturidiyah, dan kaum-kaum lain.
a.    Kaum mu’tazilah
Kaum mu’tazilah mengatakan tuhan tidak memiliki sifat. Dengan alasan jika tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak yang kekal.[15] Lebih jauh lagi, Washil bin Atha  menegaskan bahwa siapa saja menetapkan asalnya sifat qodim bagi Allah, ia telah menetapkan adanya dua tuhan.[16] An nazhzham mengatakan jika di tetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang satu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qodim yang di tetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya(bukan sifat-Nya). Hingga dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan, kematian, tuli dan buta. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lain.[17]
Di samping itu, Tuhan juga tidak memiliki pengetahuan, tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki hajat dan sebagainya. Namun bagi mereka, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya “ Tuhan mengetahui”, kata Abu al Husain, Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan itu adalah Tuhan sendiri.[18]
Aliran mu’tazilah yang memberikan daya yang besar kepada akal bependapat bahwa tuhan tidak dapat di katakana memiliki sifat-sifat jasmaniyah. Jika tuhan dikatakan mempunyai sifat jasmani, seperti yang di ucapkan al Jabbar, tentulah Tuhan memiliki ukuran panjang, lebar dan dalam, atau tuhan di ciptakan sebagai kemestian dari suatu yang besifat jasmani.
b.    Kaum Asy ‘ariyah
Kaum asy ‘aryah memiliki pemahaman yang berbeda dengan kaum mu’tazilah. Menurut pemaham kaum asy‘ariyah, Allah memiliki sifat. dan hal ini tidak dapat di ingkari, karena di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga menyatakan bahwa ia memiliki pengetahuan, kemauan dan daya. Dan menurut al Baghdadi, terdapat consensus di kalangan kaum asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda tuhan adalah kekal. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah tuhan, tatapi tidak pula lain dari tuhan. Karena sifat tidak lain dari tuhan, adanya sifat tidak membawa kepada paham banyak kekal.
Asy’ariyah mengatakan “sifat” mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan “keadaan” mengandung arti berubah. Selanjutnya sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh karena itu, mengatakan Tuhan memiliki sifat, tetapi hanya memiliki keadaan, tidaklah segaris dengan konsep kekuasaan dan kehendak muthlaq tuhan. Untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak muthlaq tuhan, Tuhan mesti mempunyai sifat-sifat yang kekal.[19]
Tentang sifat jasmaniyah Allah, asy’ariyah juga menetapkan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, dan mata, namun wujudnya tidak dapat disamakan dengna wujud yang di miliki oleh manusia.[20] Mereka berpendapat bahwa kata-kata ini tidak boleh diberi interprentasi lain. Seperi, tuhan memiliki dua tangan, titapi tidak boleh di artikan rahmat atau kekuasaan tuhan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tuhan hidup dengan hayat, tetapi hayat-Nya tidak sama dengan hayat manusia. Dan mempunyai dua tangan, tetapi tangan-Nya tidak sama dengan tangan manusia. Pernyaan ini menimpulkan pertanaan, jika tidak sama dengan yang ada pada manusia, maka bagaimana sifat tangan, mata, muka dan sebagainya itu?. kaum asy’ariyah menjawab: “ tuhan memiliki mata dan tangan, yang tak dapat di beri gambaran atau definisi”.[21]
c.    Kaum Maturidiyah
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, antara Maturidiyah dan al Asy’ariyah memiliki persamaan dalam pemikiran, seperti halnya bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian al Maturidiyah tentang sifat tuhan berbeda dengan asy’ariyah. Karena asy’ariyah mengarikan sifat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat dalam dzat itu sendiri.  Sedangkan menurut Maturidiyah, sifat-sifat tuhan itu mulazamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah.[22] Yakni, sifat bukan dzat dan bukan pula selain dzat, tidak melekat pada tzat dan tidak terpisah dengan dzat, sifat bukanlah yang tegak atau melekat pada dzat, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa berbilangannya sifat akan mengakibatkan kepada ta’adudu al qudama’.[23]
Kaum maturidiyah golongan Bukhori, juga mempertahankan kekuasaan muthlaq tuhan, berpendapat bahwa tuhan memiliki sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka menyelasaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapa dalam esensi tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatkan bahwa tuhan besama-sama sifatnya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.[24]
Dalam sifat-sifat jasmaniyah, kaum maturidiyah berpendapat yang di maksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan tuhan. Tuhan tidak memliki badan, sungguhpun tidak sama dengan badan jasmaniyah, karena badan tersusun dari substansi. Manusia berhajat pada anggota badan karena tanpa tangan anggota badan manusia menjadi lemah, adapun tuhan, tanpa anggota badan, ia tetap Maha Kuasa.[25]



[1] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam:UI-Press, 1986, hlm. 20.
[2] Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press,hlm. 5
[3] Hasan Hanafi. Min al- Aqidah Ila AS-Saurah, Maktabah maduba, ttp., hlm. 11
[4] Drs. Maman Abd. Djaliel-Studio Ryhan,
[5] Hasan Hanafi. Min al- Aqidah Ila AS-Saurah, Maktabah maduba, ttp., hlm. 11
[6][6][6] Abu al- Hasan al-Asy’ari, maqalat al- Islamiyah wa ikhtilaf al-Mushollin,Wiesbaden Franz Steiner Verlag CBHN, 1963,hlm.85
[7] Asy-Asy’ar,op,cit.,hlm.110.
[8] Asy-Syahrastain,op.cit., hlm.146
[9] Nasution,op.cit,.hlm.26-28
[10] Asy- Syahrastani, op. cit., hlm.48
[11] Ibid, hlm. 293
[12] Abu Hasan al- Asy’ari. Al- luma, syirkah Muhammad misriyah. Kairo, 1955, hlm. 123
[13]  Ibid
[14] Asy- Syahrastani, op. cit., hlm.101 
[15]  DR. Rosihon Anwar, M. Ag., Drs Abd. Rozaq, M. Ag., Ilmu Kalam, (Bandung; Pustaka Setia, 2001) hlm. 167
[16]  DR. Anwar, Rosihin, M. Ag., Ilmu Kalam, (Bandung; CV Pustaka Setia, 2010)
[17]  Ibid. hlm. 169.
[18]  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986). hlm. 135.
[19]  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986). hlm. 136.
[20]  Syuriyah PCNU Jombang dkk, Kumpulan Maklah Gerakan-Gerakan Dalam Islam,(Jombang; Even Organizer Nadwah Ilmiyah,2007)hlm. 121.
[21]  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986). hlm. 138.
[22]  DR. Anwar, Rosihin, M. Ag., Ilmu Kalam, (Bandung; CV Pustaka setia, 2010), hlm.177.
[23]  Syuriyah PCNU Jombang dkk, Kumpulan Maklah Gerakan-Gerakan Dalam Islam,(Jombang; Even Organizer Nadwah Ilmiyah,2007)hlm. 127.
[24]  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986). hlm. 137.
[25]  Ibid. Hlm. 139.                                                                                                                              

DAFTAR RUJUKAN

Syuriyah PCNU Jombang dkk, Kumpulan Makalah Gerakan-Gerakan Dalam Islam,(Jombang; Even Organizer Nadwah Ilmiyah,2007)
DR. Anwar, Rosihin, M. Ag., Ilmu Kalam, (Bandung; CV Pustaka setia, 2010)
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986)
Abu al- Hasan al-Asy’ari, maqalat al- Islamiyah wa ikhtilaf al-Mushollin,Wiesbaden (Franz Steiner Verlag CBHN, 1963)
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam(Jakarta; UI-Press, 1986)
Hasan Hanafi. Min al- Aqidah Ila AS-Saurah, Maktabah maduba
Drs. Maman Abd. Djaliel-Studio Ryhan

0 comments: