A. FUNGSI AKAL DAN WAHYU
a.
Akal
Akal,
dalam pengertian Islam, tidaklah otak, tetapi adalah daya berfikir yang
terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang sebagai digambarkan dalam al Qu’ran,
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya, dan juga daya yang
berfungsi untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan.
Kata-kata
yang dipakai dalam al Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan
hanya ‘aqala (عقل) tetapi juga kata-kata
berikut:
1. Nazara
(نظر)
melihat secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan, terdapat dalam 30
ayat lebih, salah satunya:
الانسان
ممّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ
والتَّرَائِبِ(7). [ الطَّارِق] فَلْيَنْظُرِ
Maka hendaklah manusia merenungkan
dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang ditumpahkan keluar dari
antara tulang punggung dan tulang rusuk.
2. Tadabbara
(تدبر)
merenungkan, terdapat dalam beberapa ayat:
يَتَدَبَّرُوْنَ
الْقُرْأنَ اَمْ عَلى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهاَ [محمّد 24] اَفَلاَ
Tidaklah
mereka merenungkan al Qur’an ataukah hati telah terkunci?
3. Tafakkara
((تفكر
berfikir.
الله
الذي سخّر لكم البحر لِتَجْريَ الفلكُ فيه بامرهِ ولتبْتغوا من فضله ولعلّكم تشكرون-وسخّر
لكمْ ما في السّماواتِ وما في الأرض جميعاً منهُ انّ في ذلك لأيتٍ لِقَومٍ
يتفكّرونَ (الجاثية 12-13)
Tuhanlah
yang membuat laut bagimu tunduk agar padanya kapal-kapal berlayar atas
perintah-Nya dan kamu cari karunia-Nya, semoga kamu berterima kasih. Ia buat
segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi tunduk bagimu, semuanya
adalah dari pada-Nya, pada-Nya sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau
berfikir.
4. Faqiha (فه), mengerti, faham.
السّموات له
تسبّح السّبعُ والأرض ومن فيهنّ وانْ منْ شئٍ الاّ
يسبحُ بحمدهِ ولكنْ لاتفقهونَ تسبحهون انّه كان حليماغفورا
Langit yang tujuh serta bumi dan
yang ada pada keduanya memujaNya dan tidak ada suatupun yang tidak memujaNya
dengan pujian tetapi kamu tidak mengerti pujaan mereka. Sungguh Ia Maha
Penyantun dan Pengampun
b.
Wahyu
Wahyu
berasal dari kata arab al wahy dan al wahy adalah kata asli arab
dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan
kecepatan. Disamping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan
kitab. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam
arti “apa yang disampaikan kepada nabi-nabi”. Dalam islam, wahyu atau
sabda Tuhan yang disampaikan pada Nabi Muhammad SAW terkumpul dalam al Quran. Penjelasan
tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi telah dijelaskan
dalam al Quran surat as-syuraa 42-51.
Ada
tiga cara, pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua
dari belakang tabir seperti yang terjadi dengan Nabi Musa, ketiga melalui
utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Seorang
Nabi, kata Ibn Sina dianugrahi Tuhan akal yang mempunyai daya tangkap luar
biasa, sehingga tanpa latihan ia dapat mengadakan komunikasi langsung dengan
Jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci (qudsiyyah) ang lebih kuat
dari akal demikian.
Menurut
ajaran tasawwuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa
manusia yang berpusat dihati sanubari, dengan cara menjauhi hidup kematerian
dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa (banyak beribadah-
mengingat Allah. Serang sufi akan melakukan shalat, puasa, membca al Quran dan
mengingat Tuhan. Dalam hal itu komunikasi antara sufi dengan Tuhan tidak sampai
mengambil bentuk wahyu. Wahyu adalah khusus bagi Nabi-Nabi.
Penglihatan
dan pendengaran makhluk Allah mengandung
arti materi yang dapat dilekatkan pada diri Tuhan yang bersifat immateri,
karena dalam diri Tuhan “sifat-sifat” itu tidak mesti mempunyai bentuk jasmani.
Berlainan dengan manusia, Tuhan tidak berhajat pada mata dan telinga jasmani untuk
mendengar dan melihat.
Ditinjau dari perkembangan masalah
materi dan immateri ini, timbul pertanyaan tentang bagaimana wahyu yang
bersifat immateri bisa berubah menjadi materi. Para Psikologi menyebut adanya Extrasensory
Perception, disingkat ESP, yang dapat diartikan penyerapan atau perolehan
pengetahuan tidak melalui indera pada umumnya[1].
Dalam penjelasan J.B. Rhine, ESP mencakup telepati, mind reading (mengetahui
apa yang ada dalam pemikiran orang lain) clair voyance (kesanggupan
melihat apa yang basanya tidak dapat dilihat orang lain).
B. MU’MIN DAN KAFIR
a.
Sejarah ringkas timbulnya konsep iman dan kufur
Perbincangan tentang iman dan kufur ini timbulnya pada
masa pemerintahan Ali Ibn Abi Talib. Pada waktu itu terjadi pertempuran antara
Sayyidina Ali dengan Mu’awiyya Ibn Abi Sufyan. Mu’awiyyah adalah gabenur
Damaskus yang tidak setuju pemerintahan Sayyidina Ali. Pertempuran ini terkenal
dengan peperangan Siffin (659 M.).Ketika pasukan Saidina Ali hampir memenangi
pertempuran tersebut, pembantukanan Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn Al-‘As yang terkenal
sebagai orang licik, memintaberdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurra
yang ada di pihak Saidina Alimendesak Saidina Ali supaya menerima tawaran itu,
dan dengan demikian dicarilahperdamaian dengan mengadakan pengantara
(arbitrasi). Sebagai pengantara dilantikdua orang, iaitu:- ‘Amr Ibn Al-‘As di
pihak Mu’awiyyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kesimpulan dari
arbitrasi tersebut merugikan pihak Ali dan meng-untungkan pihak Mu’awiyyah,
lalu Mu’awiyyah dengan sendirinya dianggap menjadikhalifah tidak
rasmi.Sebahagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara (arbitrasi)
tersebutdan kerana itu mereka meninggalkan barisan Saidina Ali. Golonganmereka
inilahdalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij[2].Dalam
teologi islam yang pertama muncul tidak lain adalah iman dan kufur. Dan yang
melopori itu tadak lain adalah kelompok khowarij. Ketika khowarij
mencap kafir sejumlah sahabat nabi SAW. Yang telah telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin
Abi Ash, Muawiyah bi Abi Shofwan, Zubair bin Awam, dan Aisyah, istri Rasululloh[3].
Dalam hala iman
dan kafir ini menjadi perbincangan antar banyak doktrin islam yang ada di dunia
ini antara lain Murji’ah, Mu’tazilah,
Asy’ariyyah,dan Matridiyyah. Perbincanan konsep ima dan kafir menurut
teologi islam[4].
Menurut Hasan Hanafi, ada empat ada empat istilah kunci yang
biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam dalam membicarakan iman,
yaitu:
1.
Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui
degan akal)
2.
Amal, (perbuatan baik
atau patuh)
3.
Iqrar, (pengakuan
secara lisan), dan
4.
Tashdiq,(membenarkan
dengan hati, termasuk pula didalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahi
degan hati)[5]
Keempat
istilah misalnya terdapat pada hadits Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh
Muslim bin Abu Sa’id al- Khudri:
من راى منكم منكرا
فليغيّره بيده فانلم يستطع فبلسانه فانللم يستطع فببقلبه ووذلك اضعف
الايمان (رواه مسلم)
Artinya:
“Barang
siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklan mengambil tindakan
secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itupun
tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (akan tetapi yang terakhir) ini
merupakan iman yang paling lemah.”(H.R. Muslim)
b.
Perbandingan konsep dalam aliran-aliran ilmu kalam dalam perspektif
mu’min kafir.
1.
Aliran Khawarij
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pebndirian teologis
khawarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur. Khawarij
mula-mula memunculkan persoalan teolgis seputar masalah, “apakah Ali Dan
pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?” “ apakah Mu’awiyyah dan
pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?”
muawiyah dan Ali dan para pendukungnya telah melakukan tahkim. Bearti
mereka telah dosa besar, menurut semua Khawarij, adalah kafir dan akan disiksa
dineraka selamanya[6].
Iman pada pandangan khawarij,tidak semata-mata percaya kepada Allah.
Mengerjakan segala perintah kewajiban agama jga merupakan bagian dari keimanan.
Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk
didalamnya maslah kekuasaan adalah bagian dari keimanan. Dengan demikian,
siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan nabi Muhammad adalah
utusan Allah, akan tetapi dia tidak menjauhi lrnan Allah dan menjalankan
perintahnya, maka mereka adalah tergolong orang kafir, menurul aliran khawarij.[7]
2.
Aliran
Murji’ah
Menurut Harun Nasution dan Abu Zahra murji’ah
dikelompokkan kedalam dua bagian yaitu murji’ah moderat (murji’ah sunnah) dan
murji’ah ekstrim (murji’ah bid’ah).
Murji’ah
moderat menurut Harun Nasution bahwasannya
mereka-mereka yang dikatakan tiadalah kafir orang-orang yang meakukan dosa
besar, meskipun kelak akan masuk neraka orang yang melakukan dosa besar.
Kendatipun demikian, kata mereka masih ada kemungkinan bahwa tuhan akan
mengampuni dosanya, sehinga bebas dari siksa neraka.[8]
Murji’ah
Ekstrim menurut Harun Nasution bahwasannya
mereka-mereka yang bepandangan bahwa keimanan terletak dalam kalbu. Adapun
ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanan, bahkan keimanannya
masih sempurna dalam pandangan Tuhan.[9]
3.
Aliran Mu’tazilah
Kemunculan aliran ini tak jauh beda dengan permasalahan dalam aliran dua
tadi yang telah dijelaskan diawalpembahasan, yaitu tentang setatus pelaku dosa
besar. Yang dipermasalahkan apakah dikatakan beeriman ataukah sudah tergolong
kafir pelaku dosa besar tersebut. Khowarij mengkafirkan orang yang telah
berbuat dosa besartersebut, dan murji’ah memeliharan keimanan pelaku dosa besar
tersebut, sedangkan mu’tazilah tidak menantukan apa status pelaku dosa besar
tersebut, kecuali memberi sebutan kepada mereka dengan sebutan al-manzilah
bain al-manzilatain ( menempati posisi tengah-tengah diantara kafir dan
mukmin). Jika meninggal dunia orang tersebut, maka akan dimasukkan neraka
selamanya. Namun, siksaan yang akan diterimanya lebih ringan dari pada siksaan
orang kafir.[10]
4.
Aliran Asy’ariyah
Agak sulit untuk memahami makna iman yang diberikan oleh Abu al-Hasan
al-Asy’ari sebab, didalam karya-karyanya seperti maqalat, al-Ibanah, dan
al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam maqalat,dan
al-Ibanah disebutkan bahwa, iman adalah qawl dan amal, dan
dapat bertambah atau berkurang.[11]
Sedangkan dalam al-Luma, iman diartikannya sebagai tasdiq bi Allah.
Argumentasinya adalah bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam surat yusuf ayat tujuh yang mempunyai hubungan makna
dengan kata siddiqin. Dengan demikian menurut Asy’ari, iman adalah tashdiq
bi al-qalb ( membenarkan dengan hati ).[12]
Disamping itu pengertian islam jauh lebih luas dari pada iman, tetapi
tidaklah setiap muslim itu mukmin, iman itu meliputi juga perkataan dan
perbuatan yang ditambah dan dikurang. Ia pun yakin bahwa hati manusia itu
berbolak balik antara kekuasaan Allah, seperti mana bolak-baliknya langit dan
bumi dalam genggamannya.
Orang mukmin yang berbuat dosa besar tidaklah kafir, tapi jika melakukan
dosa besar didasari dengan keyakinan bahwa perbuatan tersebut itu dosa, maka ia
kafir.orang yang mukmin dan melakukan dosa besar adalah fasik dan bukan kafir.[13]
5.
Aliran Maturidiyah
Dalam masalah iman, alairan maturidiyah
Samarkan berpendapat bahu wasannya
iman adalah tashdiq bi al-qalb, dan bukan semata-mata iqrar bi
al-lisan.[14]
Pengertian ini dikemukakan oleh Maturidi sebagai bantahan terhadap
al-Karamiyah, salah satu subsekte murji’ah. Ia beragumentasi dengan ayat
al-Qur’an surat al- Hujarot 14. Ayat ini dipahami al-Maturidi adalha
suatu penegas bahwasannya ayat ini sebagai penegas dari suatu pernyataan iman
itu tidak cukup hanya degan perkataan saja, akan tetapi juga harus jga diyakini
dalam hati. Apa yang telah diucapkan olehan akan gugur atau tidak sah keimannan
tersebut, kalau tidak diyakini degan hati.
C. SIFAT-SIFAT ALLAH
Allah memiliki sifat-sifat
atau tidak ini, menimbulkan Pertentangan paham antara kaum mu’tazilah, Asy
‘ariyah, Maturidiyah, dan kaum-kaum lain.
a.
Kaum mu’tazilah
Kaum mu’tazilah mengatakan
tuhan tidak memiliki sifat. Dengan alasan jika tuhan mempunyai sifat, sifat itu
mestilah kekal seperti halnya dzat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang
bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya
sifat-sifat membawa pada faham banyak yang kekal.[15]
Lebih jauh lagi, Washil bin Atha
menegaskan bahwa siapa saja menetapkan asalnya sifat qodim bagi
Allah, ia telah menetapkan adanya dua tuhan.[16]
An nazhzham mengatakan jika di tetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang satu,
berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qodim yang di tetapkan
sebenarnya adalah dzat-Nya(bukan sifat-Nya). Hingga dinafikan pula dari-Nya
kebodohan, kelemahan, kematian, tuli dan buta. Demikian pula sifat-sifat Allah
yang lain.[17]
Di samping itu, Tuhan juga tidak
memiliki pengetahuan, tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki hajat dan
sebagainya. Namun bagi mereka, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mengetahui,
tidak berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya, bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya “ Tuhan
mengetahui”, kata Abu al Husain, Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan
dan itu adalah Tuhan sendiri.[18]
Aliran mu’tazilah yang
memberikan daya yang besar kepada akal bependapat bahwa tuhan tidak dapat di
katakana memiliki sifat-sifat jasmaniyah. Jika tuhan dikatakan mempunyai sifat
jasmani, seperti yang di ucapkan al Jabbar, tentulah Tuhan memiliki ukuran
panjang, lebar dan dalam, atau tuhan di ciptakan sebagai kemestian dari suatu
yang besifat jasmani.
b.
Kaum Asy ‘ariyah
Kaum asy ‘aryah memiliki
pemahaman yang berbeda dengan kaum mu’tazilah. Menurut pemaham kaum asy‘ariyah,
Allah memiliki sifat. dan hal ini tidak dapat di ingkari, karena di samping menyatakan
bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga menyatakan
bahwa ia memiliki pengetahuan, kemauan dan daya. Dan menurut al Baghdadi,
terdapat consensus di kalangan kaum asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat,
kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda tuhan adalah kekal. Uraian-uraian
ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum
asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah tuhan, tatapi tidak pula
lain dari tuhan. Karena sifat tidak lain dari tuhan, adanya sifat tidak membawa
kepada paham banyak kekal.
Asy’ariyah mengatakan
“sifat” mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan “keadaan” mengandung arti
berubah. Selanjutnya sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung
arti lemah. Oleh karena itu, mengatakan Tuhan memiliki sifat, tetapi hanya
memiliki keadaan, tidaklah segaris dengan konsep kekuasaan dan kehendak muthlaq
tuhan. Untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak muthlaq tuhan, Tuhan mesti
mempunyai sifat-sifat yang kekal.[19]
Tentang sifat jasmaniyah
Allah, asy’ariyah juga menetapkan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, dan mata,
namun wujudnya tidak dapat disamakan dengna wujud yang di miliki oleh manusia.[20]
Mereka berpendapat bahwa kata-kata ini tidak boleh diberi interprentasi lain.
Seperi, tuhan memiliki dua tangan, titapi tidak boleh di artikan rahmat atau
kekuasaan tuhan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tuhan hidup dengan hayat, tetapi
hayat-Nya tidak sama dengan hayat manusia. Dan mempunyai dua tangan, tetapi
tangan-Nya tidak sama dengan tangan manusia. Pernyaan ini menimpulkan
pertanaan, jika tidak sama dengan yang ada pada manusia, maka bagaimana sifat
tangan, mata, muka dan sebagainya itu?. kaum asy’ariyah menjawab: “ tuhan
memiliki mata dan tangan, yang tak dapat di beri gambaran atau definisi”.[21]
c.
Kaum Maturidiyah
Berkaitan dengan masalah
sifat Tuhan, antara Maturidiyah dan al Asy’ariyah memiliki persamaan dalam
pemikiran, seperti halnya bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’,
bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian al Maturidiyah tentang
sifat tuhan berbeda dengan asy’ariyah. Karena asy’ariyah mengarikan sifat tuhan
sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat dalam dzat itu sendiri. Sedangkan menurut Maturidiyah, sifat-sifat
tuhan itu mulazamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah.[22]
Yakni, sifat bukan dzat dan bukan pula selain dzat, tidak melekat pada tzat dan
tidak terpisah dengan dzat, sifat bukanlah yang tegak atau melekat pada dzat,
sehingga tidak bisa dikatakan bahwa berbilangannya sifat akan mengakibatkan
kepada ta’adudu al qudama’.[23]
Kaum maturidiyah golongan
Bukhori, juga mempertahankan kekuasaan muthlaq tuhan, berpendapat bahwa tuhan
memiliki sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka menyelasaikan dengan
mengatakan bahwa sifat-sifat tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapa dalam
esensi tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan
mengatkan bahwa tuhan besama-sama sifatnya kekal, tetapi sifat-sifat itu
sendiri tidaklah kekal.[24]
Dalam sifat-sifat jasmaniyah,
kaum maturidiyah berpendapat yang di maksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki
adalah kekuasaan tuhan. Tuhan tidak memliki badan, sungguhpun tidak sama dengan
badan jasmaniyah, karena badan tersusun dari substansi. Manusia berhajat pada
anggota badan karena tanpa tangan anggota badan manusia menjadi lemah, adapun
tuhan, tanpa anggota badan, ia tetap Maha Kuasa.[25]
[1]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam:UI-Press, 1986, hlm. 20.
[2] Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press,hlm. 5
[6][6][6]
Abu al- Hasan al-Asy’ari, maqalat al-
Islamiyah wa ikhtilaf al-Mushollin,Wiesbaden Franz Steiner Verlag CBHN,
1963,hlm.85
[7]
Asy-Asy’ar,op,cit.,hlm.110.
[8]
Asy-Syahrastain,op.cit., hlm.146
[9]
Nasution,op.cit,.hlm.26-28
[15]
DR.
Rosihon Anwar, M. Ag., Drs Abd. Rozaq, M. Ag., Ilmu Kalam, (Bandung; Pustaka
Setia, 2001) hlm. 167
[18] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986).
hlm. 135.
[19]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986).
hlm. 136.
[20] Syuriyah PCNU Jombang dkk, Kumpulan Maklah
Gerakan-Gerakan Dalam Islam,(Jombang; Even Organizer Nadwah Ilmiyah,2007)hlm.
121.
[21]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986).
hlm. 138.
[23]
Syuriyah
PCNU Jombang dkk, Kumpulan Maklah Gerakan-Gerakan Dalam Islam,(Jombang; Even
Organizer Nadwah Ilmiyah,2007)hlm. 127.
[24]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986).
hlm. 137.
DAFTAR RUJUKAN
Syuriyah PCNU Jombang dkk, Kumpulan Makalah Gerakan-Gerakan
Dalam Islam,(Jombang; Even Organizer Nadwah Ilmiyah,2007)
DR. Anwar, Rosihin, M. Ag., Ilmu Kalam,
(Bandung; CV Pustaka setia, 2010)
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI-Press, 1986)
Abu al- Hasan al-Asy’ari, maqalat al- Islamiyah wa
ikhtilaf al-Mushollin,Wiesbaden (Franz Steiner Verlag CBHN, 1963)
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam(Jakarta;
UI-Press, 1986)
Hasan Hanafi. Min al- Aqidah Ila AS-Saurah, Maktabah
maduba
Drs. Maman Abd. Djaliel-Studio Ryhan
0 comments:
Posting Komentar