Senin, 20 Mei 2013

Pemikiran Ulama Moderen

A.    Syekh Muhammad Abduh
1.      Riwayat singkat Abduh
Syekh Muhammad Abduh dengan nama lengkap Muhammad bin abduh bin hasan khoirullah dilahirkan didesa mahallat nashr kabupaten al-buhairoh, mesir pada tahun 1849 M. dia bukan berasal dari ketrunan orang kaya dan bukan pula ketrurnan bangsaewan namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[1]
Mula-mula abduh dikirim ayahnya ke masjid ahmadi tanta. Belakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain al-azhar, namun metode pengajaran disana sangat membuatnya bosan sehingga setelah dua tahun disana dia memutuskan kembali ke desanya untuk bertani seperti mayoritas keluarganya. Dia dinikahkan pada usia 16 tahun, semula dia berisi keras untuk tidak melanjutkan studinya tetapi dia kembali belajar karena dorongan pamannya (syeikh darwish) yang banyak mempengaruhi kehidupan abduh sebelum bertemu dengan djamalludin al-afghani. Atas jasanya itu abduh berkata  “dia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan.”setelah menyelesaikan studinya dibawah pamannya dia melanjutkan studi di al-azhar pada bulan februari tahun 1866.
2.      Pemikiran-pemikiran kalam Muhammad abduh
a.       Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yamg menjadi focus utama pemikiran abduh sebagaimana diakuinya sendiri[2], yaitu:
1)      Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taklid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah  (ulama sebelum abad ke III H) sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokok al-qur’an.
2)      Memperbaiki gaya bahasa arab baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan itu muncul saat dia meratapi perkembangan umat islam. Sebagaimana yang dijelaskan sayyid kutub. Kondisi umat saat itu dapat digambarkan sebagai suatu masyaraat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syare’at awal atau mengistinbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud).
            Atas dasar kedua focus pikirannya itu syeikh abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal.begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa syeikh abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada mu’tazilah. Menurut syeikh abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini[3]:
1.      Tuhan dan sifat-sifatNya
2.      Keberadaan hidup di akhirat
3.     Kebahagiaan jiwa di akhrat bergantung pada upaya mengenal tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal tuhan dan melakuka perbuatan jahat.
4.      Kewajiban manusia mengenal tuhan
5.  Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat
6.      Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
            Dengan memperhatikan pandangan Syeikh Abduh tentang peranan akal di atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahuicara beribadah serta berterimakasih kepada Tuhan. Dengan demikian , wahyu menurut Syeikh Abduh berfungsi sebagai konfirmasi yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
            Menurut Syeikh Abduh, menggunakan akal merupakan salah satu dasar islam. Iman seseorang tidak akan sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Islam adalah agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Kepercayaan pada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu yang dibawa nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. Kalau ternyata terdapat pertentangan , maka terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
b.      Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada pada diri manusia. Kalau sifat daar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mangambil keputusan dengan kamauannya sendiri dan mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
c.       Sifat-sifat Tuhan
d.      Kehendak Mutlak Tuhan
e.       Kadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Syeikh Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam ini bukan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak memberi manfaatbagi manusia. Adapun masalah keadilan Tuhan,ia memandang bukan hanya dari segi kemahasempurnaan-Nya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
f.       Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Syeikh Abduh yang member kekuatan besar pada akal berpendapat bahwa, tidak mungkin asensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk, dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang arab kepadanya. Dengan demikian al-arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan, al-kursy berarti pengetahuan.
            g.      Melihat Tuhan
Syeikh Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak. Ia menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata.
h.      Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa dada perbuatan tuhan yang wajib, syekh abduh sefaham dengan mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi tuhan untuk berbuatb apa yang terbaik bagi manusia.[4]

B.     SAYYID AHMAD KHAN
1.      Riwayat singkat Sayyid Ahmad
            Sayyid Ahmad lahir di Delhi pada tahun 1517. Menurut suatu keterangan, ia berasal dari keturunan HUsein cucu Rosul melalui Fatimah dan Ali. Sejak kecil dia mendapat pendidikan tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar bahasa arab dan Persia. Dia rajin membaca buku dalam bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia 18 tahunia bekerja pada sarikat india timur. Kemudian bekerja sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali ke Delhi dan mempergunakan kkesempatan itu untuk belajar . semasa di Delhi, ia mulai mengarang. Karaya pertamanya adalah Atsat as-Sanadid. Pada tahun 1855 ia pindah ke Pijnore. Disini ia tetap mengarang buku-buku penting islam di India.
2.      Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad
            Pemikiran beliau sama dengan pemikiran M.Abduh di Mesir. Hal ini dapat di lihat dari beberapa ide yang di kemukakannya, terutama tentang pemikiran akal yang di junjung tinggi olehnya. Namun dia tetap berpendapat bahwa dalam islam akal bukanlah hal yang nomer satu dan kekuatan akalpun terbatas.
            Keyakinannya akan kekuatan akal membuatnya percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarati bahwa pemahamannya sama dengan paham Qadariyah. Menurutnya manusia telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya baik berupa akal ataupun fisik. Hal ini mengakibatkan dia dianggap kafir oleh sebagian orang islam, bahkan ketika ia datang ke India Djamaluddin menerima keluhan itu. Dan sebagai tanggapan atas tuduhan itu dia mengarang kitab ‘ar-Radd ad-Dahriyah.
            Sejalan dengan faham Qadariyah dia menentang keras faham taqlid. Khan berpendapat umat islam mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman sehingga mereka tidak menyadari adanya perkembangan di daerah Barat. Peradaban berkenbang dengan dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, hal itu membuat mereka berkmbang dengan pesat.
            Khan juga berpendapat bahwa Allah telah menetapkan tabiat atau nature yang tetap dan tidak bisa berubah bagi setiap makhluknya. Baginya, islam adalah agama yang sesuai dengan hukum Alam karena Alam adalah ciptaan Allah dan Al-qur’an adalah firmannya, maka sudah pasti keduanya sejalan tanpa ada pertentangan.
            Khan juga tidak mau pemikirannya terganggu otoritas hadits dan fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik rasional, ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mengambil al-qur’an sebagai pedoman Islam. Alasan penolakannya terhadap hadits karena dia menganggap hadits hanya berisi tentang moralitas social dari masyarakat Islam pada abad pertama dan kedua. Sedangkan hukum fiqh menurutnya berisi tentang moralitas masyarakat berikutnya sampai timbul madzhab-madzhab. Sebagai penolakannya terhadap taklid, khan memandang ijtihad perlu diadakan untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran islam mengikuti kondisi masyarakat.

C.    MUHAMMAD IQBAL
      1.      Riwayat hidup M.Iqbal
            Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari keluarga kasta brahmana Khasmir . ayahnya benama Nur Muhammad yang terkenal shaleh. Pada awalnya iqbal di didik oleh ayahnya sendiri kemudian ia dimasukkan maktab untuk mempelajari al-qur’an. Setelah itu ia dimaskkan di Scottish Mission School. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sialkot ia melanjutkan ke Lahore, disini ia melanjutkan di Government College. Disini ia bertemu dengan Thomas Arnold,seoran orientalis yang menjadi guru besar filsafat disana. Setelah itu dia melanjutkan ke Inggris untuk belajar filsafat pada Universitas Cambridge. 2 tahun setelah itu dia melanjutkan ke Munich Jerman.
Pada tahun 1935 dia jatuh sakit dan bertmbah parah setelah istrinya meninggal pada tahun itu pula. Dan ia meninggal pada tanggal 20 april 1935.
      2.      Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
            Daripada, teolog sebenarnya M.Iqbal lebih terkenal sebagai seorang filosof eksistensialis. Oleh karena itu agak sulit menemukan pandangannya sebagai wacana-wacana kalam klasik. Seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban tuhan. Namun ia sering menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah islam.
            Sebagai seorang pembaharu, dia menyadari akan adanya kemunduran umat islam . katanya, kemunduran itu bersumber dari kebekuan umat islam dan tertutupnya pintu ijtihad. Mereka menolak kebiasaan berpikir rasional kaum mu’tazilah karena hal tersebut dianggap membawa disintegrasi umat islam dan membahayakan kestabilan politik mereka. Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangat islam, semangat dinamis dan kreatif.
            Dalam pandangan iqbal , islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat statis. Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika islam dan membuang kelakuan serta kejumudan hukum islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut iqbal,pengalihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam system hukum islam yang selama ini hilang dari umat islam.
a.       Hakikat Teologi
      Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi ketauhidan. Pandangannya tentang ontologi tologo membuatnya berhasil melihat anomaly yang melekat pada literature ilmu kalam klasik.
b.      Pembuktian Tuhan
      Dalam membuktikan eksisitensi tuhan iqbal menolak argument kosmologis maupun ontologism. Ia juga menolak argument teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi  tuhan yang mengatr ciptaanya dari sebelah luar. Walaupun demikian dia tetap menerima landasan teleologis yang imanen. Untuk menopang hal ini, iqbal menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan whitehead tentagnya sebagai struktur kejadian dalam alira dinamis yang tidak terhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan iqbal dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson.
c.       Jati diri manusia
      Paham dinamisme iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Pada hakikatnya menafikan diri bukanlah ajaran islam karena hakikat hidup adalah bergerak,  bergerak adalah perubahan. Filsafat khudinya tampaknya merupakan reaksi terhadap kondisi umat islam yang ketika itu telah dibawa oleh kaum sufi semakin jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya.
d.      Dosa
      Dalam hubungan ini, ia mengembangkan  cerita tentang kejatuhan adam (karena memakan buah terlarang) sebagau kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang dikuasai hawa nafsu naluriyah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diprolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang “dan” timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih”.” Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini , menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini.
e.       Surga dan Neraka
      Surga dan neraka , kata iqbal adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya didalam al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya, neraka , menurut rumusan al-qur’an, adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung keatas hati “, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surge adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju perpecahan. Dan tidak ada kutukan abadi dalam islam.



[1] Quraishshihab, studi kritis tafsir al-mannar, putaka hidayah, bandung.1994,hlm:12
[2] Ibid,hlm:19
[3] Abdurrazaq dan rosihon anwar,ilmu kalam,pustaka setia,bandung,hlm:214
[4] Ibid,217

0 comments: