Senin, 20 Mei 2013

Muktazilah

A.    Pengertian Dan Sejarah Munculnya mu’tazilah
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir. Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.[1]
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah,
yaitu mengingkari taqdir[2] dan sifat-sifat Allah[3], dan masalah terhadap kepemimpinan dan kepemerintahan[4].[5]
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah ).[6]
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.[7]
B.     Gerakan Kaum Mu’tazilah
1.      Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu :
a.       Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibnu Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil , Hafasah bin Salim dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
b.    Di Bagdad (iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Musdar, Ahmad bin Abi Daud dll.
2.      Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke 2 dan ke 3 H. DI Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini dan mendukunhnya adalah :
a.    Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
b. Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
c. Al- Mu`tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
d. Al- Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
3.    Diantara gembong-gembong ulama Mu`tazilah lainya adalah :
a.  Utsman Al- Jahidz, pengarang kitab Al- Hewan (wafat 255 H)
b.  Syarif Radhi (406 H)
c. Abdul Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi`ul Qudhat.
d. Syaikh Zamakhsari pengarang tafsir Al- Kasysyaf (528 )
e. Ibnu Abil Hadad pengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah (655)

C.    Aqidah dan ajaran mu’tazilah
1.      Lima dasar utama (Al Ushul Al Khomsah) yaitu[8]:
a.       Tauhid[9]
b.      Al-Adlu(keadilan)[10]
c.       Infadzu Al-Wa’id[11]
d.      Al-Manzilah Al-Manzilatain[12]
e.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar[13].
2.      Mengandalkan akal secara penuh da;lam masalah akidah. Mereka mendahulukan akal atas nash, mena’wil ayat yang tak sesuai dengan akal mereka dan menolak hadits yang bertentangan dengan akal menurut anggapan mereka. Mereka terkenal berani dan melampaui batas dan menggunakan akal, karena itu mereka sering disebut sebagai kaum rasionalis[14].
3.      Menghujat dan mencela para sahabat Rasulullah. Mu’tazialah gemar mengkritik dan mencela sahabat dengan tuduhan-tuduhan keji. Tuduhan keji ini menunjukkan bahwa mereka bukan mencari kebenaran, justru menunjukkan niat yang buruk. Mereka mengkritik keras ijtihad yang melakukan para sahabat dengan tuduhan mendahulukan hawa nafsu atas nash[15].
4.      Mengingkari hadits mutawatir
5.      Menolak kehujjahan hadits ahad[16].
D.    Paham Mu’tazialah
      1.      Kalam Allah
Kalam Allah menurut Mu’tazilah adalah makhluk, berupa suara dan huruf. Ada beberapa dalil al Qur’an yang di jadikan pijakan mereka seperti: kholqu tedapat pada surat al An‘am 101,julu’ terdapat pada surat az Zu’ruf 3,huduts terdapat pada surat al Kahfi 6.
Dari premis berikut, terkadang seseorang mempunyai konklusi yang keliru. Ketika ada orng membaca al Qur’an, maka yang akan kita dengar adalah suara yang membaca. Sedangkan suara itu adalah makhluk yang merupakan kalam Allah, jadi kalam Allah adalah makhluk.
Untuklebih memudahkan pemahaman kita, di sini akan kami sampaikan sebuah perumpamaan. Ketika anda mendengar Zaid berkata, kemudian perkataan itu anda tiru atau anda tulis dalam selembar kertas. Setelah ini anda mengatakan,”ini adalah kalam Zaid”. Yang anda kehendaki tentunya bukanlah suara yang telah anda ucapakan atau tulisan yang anda tulis, melainkan makna dan lafadz yang pernah disuarakan atau ditulis oleh Zaid[17].
Al Qur’an adalah kalam Allah. Kalam Allah merupakan salah satu sifat dari beberapa sifat DzatNya. Sifat Allah mustahil berupa makhluk dan hadats (sesuatu yang tidak ada menjadi ada). Allah berfirman,”Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatau apabila kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya:”Kun(jadilah)”, maka jadilah ia” (QS.an Nahl:40). Seandainya al Qur’an itu merupakan makhluk, tentunya al Qur’an akan diciptakan dengan firman Allah “Kun” (jadilah). Mustahil firman Allah “Kun” itu tercipta dengan firman “Kun” yang lain, sebab proses seperti ini terus membutuhkan “Kun” kedua”Kun” ketiga, dan seterusnya. Inilah yang disebut tasalsul(berantai), yang tidak mungkin bagi Allah[18].
Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
              Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan[1], mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi`Allah?
Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah[2]


[1] Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah
[2] http://asysyariah.com/sejarah-munculnya-mu%E2%80%99tazilah.html


[1] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/perkembangan-teologi-rasional-islam.html
[2] Pemikiran mereka  : manusia menciptakan perbuatan mereka sendiri, terlepas ( tidak ada kaitannya ) dengan ketetapan/taqdir  Alloh Azza wa Jalla .
Pemahaman ini mereka ambil dari Firqoh Qodariyah, sehingga dikenallah mu’ tazilah  sebagai kelompok/firqoh Qodariyah dalam masalah pengingkaran terhadap taqdir Alloh Azza wa Jalla .
[3] Pemikiran mereka : Menolak terhadap sifat-sifat Alloh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk
Pemahaman ini mereka ambil dari pemikiran firqoh Jahmiyah (pengikut Jahm bin Shafwan), sehingga dalam masalah asma dan sifat Alloh Azza wa Jalla, Mu’tazilah sependapat dengan pemikiran Jahmiyyah, juga mereka mengingkari bahwa setiap muslim kelak akan melihat Rabb-nya di akhirat dengan mata mereka.
[4] Pemikiran mereka : Amar ma’ruf terhadap pemerintah
yang mereka maksud yaitu wajib memberontak kepada pemerintah muslim yang dzalim terhadap rakyatnya), pemikiran ini mereka ambil dari aqidah Khawarij.
Pemikiran mereka dalam masalah imamah/kepemimpinan : Wajib adanya imam atau khilafah pada setiap masa
pemikiran ini meraka ambil dari firqoh syi’ah.
[5] Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan    Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48
[6] Al-Milal Wan-Nihal, hal.29
[7] Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65
[8]  Tim ulin nuha ma’had ‘aly an nur Dirosatul Firoq Solo. Pustaka Arofah hal. 131
[9]  Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah,  dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
[10] Keadilan versi mereka adalah mereka menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah mendzolimi hambaNya. Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah Dzolim , padahal Allah itu tidak dzolim tapi adil.
[11] Maknanya orang yang berbuat dosa besar bila belum bertaubat sebelum meninggal, pasti kekal di neraka dan tidak ada syafa’at baginya.
[12] Pelaku dosa besar keluar dari imam dan tidak masuk dalam kekafiran
[13] Di antara Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut mereka  seperti boleh memberontak dengan senjata melawan penguasa yang dzolim. Lihat Syrhu Aqidah Thahawiyah hal. 793
[14] Tim Ulin Nuha. hal.133
[15] Tim Ulin Nuha.hal 134
[16] Tim Ulin Nuha. hal 135
[17] Purna siswa Aliyah 2007 Madrasah Hidayatul Mubtadi’in. Polaritas Sekterian. Kediri.Tinta .hal136
[18] Purna siswa.hal137
[19] Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah

0 comments: